KESATU
Beberapa bundaran sudah kami lalui. Mobil yang dikendalikan oleh Mas Ray akhirnya berbelok ke arah kanan setelah rambu di jalan menunjukkan arah menuju ke Sampit.
Ya, kami menuju ke Sampit. Sebuah kota kecil di Kalimantan Tengah. Sudah enam jam sejak berangkat pukul 7 tadi, aku duduk di samping Mas Ray yang mengemudi dengan santai. Dari Banjarmasin ke Palangkaraya yang semestinya bisa tiba pukul 11 siang namun kami tiba pukul 12 siang. Itupun dua kali persinggahan, salah satunya di Tumbang Nusa, jembatan terpanjang yang terkenal tempat banjir di tahun 90-an.
Sesekali kudengar gumamannya mengikuti lagu yang diputar sepanjang perjalanan kami. Aku sendiri memegang sebuah novel yang terkadang aku baca tetapi lebih banyak kupegang saja sedangkan pikiranku beredar ke beberapa hari yang lalu.
"Bukannya mendadak Din, tetapi kamunya saja mungkin yang lupa bahwa aku pernah cerita Joko akan mengawinkan anaknya bulan April. Dan itu, bulan sekarang," ucap Mas Ray sambil mengayun-ayunkan selembar undangan di tangannya. Mimik wajahnya agak kecewa saat aku menanyakan kenapa mendadak mengajak ke Sampit padahal aku sedang menyelesaikan novel yang sudah kujanjikan bisa terbit di bulan April ini. Mendengar jawaban Mas Ray, aku tidak dapat berkata-kata lagi. Barangkali, memang aku yang lupa.
"Oke deh, kita ke Sampit. Apakah anak-anak ikut serta ?" tanyaku kemudian. Kulihat senyum lebar di bibir Mas Ray. Senang sekali mendengar jawabanku. Tapi, kapan sih aku memberikan jawaban yang tidak menyenangkan bagi dia ? Serasa, sejak menjadi isteri-nya, aku selalu berusaha menyenangkan Mas Ray dengan jawaban-jawaban yang tidak mengecewakan. Kecuali tentang yang satu hal itu.
"Anak-anak biar sama ibu saja Din.....kita berdua saja. Lagian Surya kan sedang menyusun skripsi dan biasanya kalau kakak tidak ikut maka adiknya juga memilih tidak ikut kan ?" jawab Mas Ray sambil duduk di tepian ranjang. Jadi dia mau, anak-anak tinggal saja di Banjarmasin, tidak ikut ke Sampit. Aku melontarkan senyum, bingung sebenarnya. Akan lebih nyaman bila anak-anak ikut karena aku bisa membagi perhatian ke mereka daripada hanya berdua. Karena bila hanya berdua, mau tidak mau aku hanya akan fokus kepada lelaki yang sudah hidup bersamaku hingga dua puluh dua tahun ini. Sudah beberapa bulan ini aku enggan fokus lagi padanya.
"Boleh membawa laptop ?" tanyaku sambil lalu dan berdiri dari meja kerja, tempat buku dan kertas berhamburan menuju ke sisi lain dari tempat tidur berukur besar dengan seprai berwarna biru muda dengan motif bunga besar-besar.
"Please deh Din.....sekali ini saja, kamu lepas dululah laptop-mu itu. Bisa saja kan novel-nya ditulis lagi sesudah kita kembali dari sampit ?' ujar Mas Ray sambil memandang penuh permohonan. Aku sedikit geli melihat caranya memandang itu. Mau sih menampakkan senyumku karena teramat senang dengan permohonannya itu.....tetapi, ah tidak. Aku sedang menjalankan aksi marah besar sehingga hanya kata-kata singkat saja yang kulontarkan dan tanpa senyum.
"Bisa kan Din ya.....kamu tinggalkan sejenak laptop kamu di sini dan kita ke Sampit tanpa laptop" kembali Mas Ray meminta kepastianku. Aku melengos, lalu merebahkan tubuh ke kasur yang empuk.
"Sebaiknya ijinkan aku membawa laptopku.....kalau ingin aku ikut ke Sampit," ujarku setengah memaksa. Kumiringkan tubuhku ke kiri dan itu berarti aku memunggung Mas Ray. Kudengar Mas Ray menghembuskan nafas dan berdiri dari tempat semula dia duduk. Kudengar, dia masuk ke kamar mandi. Aku tahu, hembusan nafas itu akibat ketidak berdayaan. Selama dua puluh tahun lebih, aku tidak pernah mebhasakan diriku dengan sebutan aku dan memanggil Mas Ray dengan sebutan kamu. Mas Ray selalu memanggilku Din, karena dia selalu membahasakan diriku dengan panggilan Adinda. Sedangkan aku juga memanggilnya Mas Ray meskipun saudara-saudara dan teman-temannya memanggil Abang Rizal.
Aku memejamkan mata. Betul, tidak lama kudengar air mengucur dari shower. Dan pembicaraan mengenai keberangkatan ke Sampit terjadi hanya pada hari itu.
"Din, kita menginap di hotel mana ya ?" suara Mas Ray membuyarkan ingatanku tentang kejadi beberapa hari yang lalu.
"Rekomendasi dari Joko, dimana katanya ?" jawabku balik bertanya.
"Ada beberapa sih.....tapi yang kamu perlukan fasilitas yang bagaimana ?"
Upppppsssss.....dia masih dengan kebiasaannya, mendahulukan apa yang menjadi keinginanku. Ada desiran dalam dadaku. Lalu kenapa bulan lalu Mas Ray membicarakan tentang yang satu itu dan benar-benar membuat aku marah. Aku tidak pernah semarah itu, tetapi kali ini aku benar-benar tidak dapat menutupi kemarahanku dan itu masih berlanjut hingga saat ini.
"Aku tidak penting kan ?" jawabku agak sembrono. Rasa marah yang tiba-tiba singgah itu, menghilangkan desiran dalam dadaku dan menghilangkan kebungahan karena keinginanku tetap menjadi prioritas. Gara-gara aku mengingat yang satu itu.
"Nah...koq bisa kamu tidak penting Din ? Ini Sampit lho....." sahutnya santai. mas Ray sekilas menoleh ke arahku kemudian kembali pada kemudi mobil karena jalannya berliku-liku.
Iya, ini Sampit. Gara-gara yang dia ucapkan beberapa bulan lalu itu, Sampit bukan hanya menjadi kota kecil yang penuh kenangan manis bagiku tetapi sekarang menjadi satu hal yang kalau bisa aku hindari. Jadi, bagiku bukan lagi hal yang penting.
"Terserah saja......hotel manapun boleh" jawabku kemudian.
"Nggak perlu fasilitas wifi nih ? Kan kamu bawa laptop untuk mengerjakan novel ?"
Ya ampun !!! Rencananya memang mau bawa laptop sebagai sarana pengalihan agar tidak fokus ke dia. Tetapi saat aku akan memasukkan laptop ke koper, Wulan menatap dengan mata setengah membelalak.
"Mamah.....pergi cuma dua hari untuk kawinan anaknya temen....tetep bawa laptop ? Yang bener aja deh Mah. Coba mamah berhitung dengan bener-bener......perjalanan tujuh jam, sampai di Sampit mungkin sore atau malam....nah lalu apa ndak capek....ndak perlu istirahat......apa segitunya sampai tetep mau bawa laptop ?" kata-kata anak kelas tiga es-em-a itu tidak bisa dihentikan. Mengalir bagai air yang penuh sembilu, menusuk-nusuk ke pikiran dan ke hatiku.
Wulan mengambil laptop di tanganku dan menaruhnya lagi ke dalam lmari kecil yang terdapat di meja kerja dalam kamarku. Aku hanya bisa terdiam dan kemudian menyelesaikan pekerjaan, memasukkan pakaian-pakaian dan kebutuhan selama di Sampit nanti.
"Din.....boleh enggak aku meminta ke kamu ?"
Mas Ray mengajukan pertanyaan dan mengharuskan aku menoleh ke arahnya. Lelaki dengan sedikit brewok tipis menghias di bagian tulang pipinya masih tetap menatap ke arah muka. Aku yakin, dia tahu kalau aku menatapnya dari samping. Menyadari itu dari senyum tipis yang tersungging dari wajahnya, aku kembali mengalihkan padanganku ke depan.
"Apa tuh ?" tanyaku seolah acuh.
"Selama di Sampit......laptopnya nggak usah dibuka ya ?" ucapan dari bibir Mas Ray perlahan terdengar. Hampir tidak terdengar. Ada getar keraguan di pita suaranya. Aku menelan ludah.
Berarti, Wulan tidak cerita ke ayahnya tentang laptop itu. Kedua anak remaja di rumahku itu, tersrnyum-senyum saja saat aku masuk mobil dan menjelang kami berangkat. Mereka tidak mau ditinggal di rumah mertuaku, tetapi tetap di rumah saja. Kesepakatannya, mertuaku yang akan datang ke rumah kami yang hanya beberapa blok saja jauhnya. Bahkan Surya berkomentar yang membuat ayahnya tertawa ngakak
"Bulan madu ya ayah ?!" ujarnya saat mobil mulai bergerak keluar dari garasi. Anak-anak itu memang tidak tahu kalau sudah hampir satu bulan ini aku menjaga jarak dengan ayahnya. Gara-gara yang satu hal itu.
"Gimana Din ?" Mas Ray minta kepastian. Sekali ini aku menghela nafas dan menoleh lagi ke arahnya.
"Kompensasinya apa ?" aku balik bertanya
"Waduh......apakah permintaan suami harus dikenakan kompensasi ?"
"Suami ?" aku mengulang satu kata itu.
"Lho, yang minta kan .....suami kamu, Din ?" kali ini suara Mas Ray agak meninggi. Tapi tidak ada nada marah disitu.
"Ooooooh.....sesekali, aku boleh dong minta kompensasi." jawabku enteng. Mas Ray sepertinya kehabisan kata-kata. Mungkin sebutan kata aku dalam jawabanku itu tadi yang mengganggu kerongkongannya untuk berujar.
Itu adalah pembicaraan yang tidak berujung sebab sesudah itu Mas Ray tidak lagi berkata-kata. Perhatiannya tertuju ke jalan yang naik-turun dan berkelok. Suara tape mobil sudah tidak terdengar sebab tiba-tiba saja dia matikanlagu-lagu nostalgia yag sejak dari Banjarmasin tadi dia putar. Aku sendiri kemudian terlelap.
KEDUA
Sampit, kami sudah tiba di salah satu halaman sebuah hotel. Berarti aku tertidur lebih dari dua jam di perjalanan. Itupun terbangun ketika mendengar suara pintu mobil ditutup. Kulihat, Mas Ray berjalan memasuki loby hotel. Aku menggeliat dan merapikan posisi duduk. Kemudian memasang kembali jilbab yang sempat berantakan karena posisi tertidur tadi. Tak berapa lama, mas Ray keluar dari loby hotel dan mengetuk kaca pintu mobil. Aku membukanya selebar mungkin.
"Kita menginap disini......fasilitasnya lengkap, termasuk wifi" ujarnya kemudia dan menyerahkan kunci kamar hotel ke tanganku. Aku keluar sesudah Mas Ray bergeser. Mengambil koper di bagasi kemudian menyeretnya ke loby hotel. Disambut oleh Bell Boy. Mas Ray merapikan posisi mobil kemudian menyusul ke lby hotel. Diantar Bell Boy, kami menuju ke lantai 3 kamar nomor 5.
Setelah menerima tips, bell boy keluar dari kamar mandi. Aku membuka koper dan mengeluarkan pakaian kemudian mengganungnya agar tidak lusuh. Pakaian-pakaian yang akan dipakai menghadiri undangan pernikahan anaknya Joko. Teman Mas Ray yang isteri-nya kebetulan teman satu es-em-pe denganku. Mas Ray langsung merebahka diri di kasur. Hanya dalam sekejap, kudengar nafasnya teratur naik-turun, pertanda dia sudah tertidur. Untungnya, ketika tiba di palangraya sebelum melanjutkan ke perjalanan ke Sampit, kami sudah singgah mengerjakan shalat yang dijamak antara dzuhur dan ashar. Jadi, kubiarkan Mas Ray tertidur sedangkan aku masuk ke kamar mandi untuk menyegarkan diri. Lumayan lah, bathtub nya sudah terisi air hangat sehingga aku bisa berendam di dalamnya.
Setelah merasa cukup segar, aku bangkit dari bathtub dan mengeringkan tibuh, lalu menggunakan hair dryer, kukeringkan rambutku yang basah karena berendam barusa. Setelah semua kering, aku megenakan daster bermotif bunga kecil-kecil, mengikat rambut baru keluar dari kamar mandi.
Kulihat Mas Ray sudah duduk di tepi ranjang. Rupanya baru juga bangun tidur. Mungkin karena suara hair dryer yang kupakai tadi membangunkannya. Melihat aku keluarga dari kamar mandi, Mas Ray mendongak dan menatapku.
"Sudah mandi Din ?" tanyanya. Kurasa basa-basi saja. Dia beranjak dari tepi ranjang danmeraih pakaian yang tadi sudah kugantung di lemari.
"Setelah aku selesai mandi, kita keluar yu......menjelajah Sampit sampai kita lelah...." ujarnya kemudian sebelum menghilang di balik pintu kamar mandi. Aku belum sempat menjawab.....tetapi setidaknya, aku menyetujui ajakannya. Perlahan kuambil stelan pakaian santai. Satu paket dengan jilbabnya. Kukenakan satu persatu. Lalu aku mulai memoles wajah dengan bagian-bagian make up yang ada. Saat aku menyematkan bros pada jilbab, Mas Ray keluar dari kamar mandi.
"Sudahs iap Din ?" tanyanya kemudian "Berarti kita bisa jalan ya kan ?"
"Kenapa nggak bisa ?" sahutku sekenanya.
"Dikira Adin mau kerja di depan laptop," jawabnya secepat kilat.
"Laptopnya ternyata ketinggalan ," jawabku lagi sambil memamlingkan wajah darinya. Aku tidak mau melihat lonjakan kegirangan di wajah lelaki itu. Tetapi mataku tidak melihat namun telingaku yang mendengar suara gembiranya.
"Sunggug Din ???? Sungguh ??? Wuhuuuuiii....kita bisa jalan-jalan sampai puas, " sedikit berseru dia berujar sambil memelukku dari belakang.
Waduh....mau dikemanakan rasa marah ini. Apa benar Mas Ray tidak menyadaribahwa aku sedang mara sekali akibat kata-katanya sebulan yang lalu ? Aku berkelit sedikit.
"Sudah rapi nih.....ayi burun," ujarku sambil melepas pelukannya.
Sore itu, kami mengelilingi kota Sampit. Tidak berubah dari dua puluh tahun lalu saat kutinggalkan. Setelah menikah memang aku diajak as Ray tinggal di Banjarmasin. Aku tidak pernah lagi menjenguk kota ini karena orangtuaku pindah ke Jawa setelah aku menikah. Sedangkan aku, anak tunggal. Yang agak berbeda hanya bundaran saja. Sekarang sudah ada beberapa bundaran yang harus kami temui. Waktu masuk kota Sampit tadi, aku tidak memperhatikan jumlah bundaran yang ada. Namun dalam perjalanan dari hotel dan mengelilingi kota Sampiit aku sudah bertemu dua bundaran.
Jam menunjukkan pukul 5 sore saat mobil kami memasuki sebuah rumah dengan halaman yang sangat luas. Rumah itu tanpa pagar. Ukurannya tidak terlalu besar. Dindingnya berwarna ungu muda. Warna yang kusuka. Jendela-nya berwarna kuning gelap. Daun pintunya putih tulang. Sementara dihalamannya terdapat pohon-pohon yang sangat kusuka. Ada mangga gadung, karena pohon itu juga ada di halaman rumah kami di Banjarmasin. Ada pohon atoa. Ada pohon jeruk. Di dekat rumah ada taman bunga kecil. Isinya pun bunga-bunga kesukaanku. Mawar, melati, anggrek yang bergantungan serta......sakura !!!.
Mas Ray turun dari mobil sementara aku masih terpesona memandang halaman rumah yang kondisinya tidak jauh dengan kondisi rumah kami di Banjarmasin. Tiba-tiba, dadaku berdegub kencang. Ada apa ini ? Kulihat Mas Ray dengan santai menuju ke teras rumah yang nuansa-nya modern minimalis itu. Aku jadi teringat erptengakaran kami sebulan lalu. Aku menemukan bukti transfer-trasnfer Mas Ray ke seseorang yang berada di Sampit. Jumlahnya tidak sedikit. Saat aku bertanya tentang bukti transfer yang kutemukan disudut tumpukan bajunya dalam lemari itu, Mas Ray tidak dapat menjelaskan seperti yang aku harapkan. Nama Aulia tertera dalam bukti transfer itu.
Waktu itu aku membayangkan seorang Rizaly mengirimkan uang untuk kebutuhan seseorang di Sampit secara sembunyi-sembunyi dariku. Rizaly...suamiku !!! Mengirimkan uang kepada seseorang bernama Aulia d Sampit. Ya, aku mengingat semuanya. Jantungku semakin berdegub kencang. Apakah sore ini dia akan lebih terus terang mengenai hal tersebut ?
Ya ampun !! Itu sebabnya aku seharusnya membawa laptop agar aku tidak menemui sesi ini. Bagaimana mungkin aku siap bila kemudian suami-ku memperkenalkan Aulia kepadaku, sebagai seseorang yang secara diam-diam dikirimi uang olehnya. Mataku berasa panas. Aku benar-benar tidak siap. Lelaki yang kusebut Mas Ray, suami-ku itu, berpaling ke arahku. Aku masih tetap berada di dalam mobil. Sepertinya tidak kuasa untuk menggerakkan tanganku, membuka pintu dan turun dari mobil kemudian bertemu dengan............pandanganku jadi kabur, begitu melihat sosok perempuan membukakan pintu rumah dan menyambut dengan senang kedatangan Mas Ray.
KETIGA
Mataku perlahan terbuka, kuedarkan sekeliling. Nuansa kamar seperti kamar Wulan. Dindingnya biru muda. Gordien hijau daun. Kacanya....kamar Wulan !! Tetapi bukan....aku sedang di Sampit.
Hidungku mencium aroma minyak kayu putih. Aku merasa ada tangan yang memijat-mijat kakiku. Sementara sebuah tangan yang sangat aku kenal menggenggan jari-jari tanganku. Aku menarik jariku agar terlepas. Tetapi genggaman itu semakin erat.
"Din....sudah sadar ya ? Kamu kenapa ??? Kamu kenapa ?" suara cemas milik Mas Ray. Airmataku mengalir. Suara yang dua puluh tahun lebih sangat lekat dalam hati dan pikiranku kenap kali ini sangat melukai perasaanku. Aku ingin sekali melepaskan tanganku dari genggamannya.
Saat aku melihat ke arah kaki kiriku yang dipijat-pijat, perempuan yang tadi menyambut Mas Ray duduk disitu dan disampingnya berdiri seorang lelaki yang menatapku dengan cemas. Aku menarik kakiku agar tidak lagi bisa disentuh perempuan itu. Rasanya sentuhannya semakin memyakiti perasaanku. Bagaimana mungkin Mas ray tega, membiarkan dia yangmenyakiti perasaanku itu menyentuh tubuhku. Apakah perasaan Mas Ray benar-benar sudah seperti batu dan menganggap kehidupan kami selama lebih dari dua puluh tahun itu sesuatu yang biasa-biasa saja sehingga dengan mudah menghancurkan perasaanku.
Aku benar-benar dikhianati bahkan dijadikan pecundang saat ini. Tidak berdaya dan dalam genggaman mereka. Airmataku semakinmengalir.
"Adinda....kenapa ?" kali ini suara palsu Mas Ray benar-benar membuat tangisku pecah.
"Ibu...kecapekan ya ?" ujar lelaki yang tidak kukenal itu, setengah ragu. Siapa dia ? Aku hanya bisa menangis. Teganya mereka. Suasana jadi hening sesaat. Tak berapa lama terdengar suara anak kecil memanggil
"Papaaaaaah...."
Aku terkejut. Mas Ray tetap menggenggam erat tanganku. Tangan satunya menyeka airmataku dengan kertas tissue yangs ejak tadi dipegang.
Lelaki yang tadi memanggil aku dengan sebutan "ibu" itu yang kemudian bergerak. Tubuhnya membungkuk, meraih seorang anak perempuan dan menggendongnya.
"Ada tamu ya Pah ?" tanyanya kemudian sambil memandang ke arahku. Lelaki yang menggendongnya menurunkan anak itu ke dekatku.
"Ayo Natali, salim sama nenek. Nenek kesini mau bertemu Natali, karena kecapekan, nenek tadi tertidur sebentar....ayo salim dan ucapkan salam"
Anak perempuan itu mendekatiku dan mengulurkan tangan mungilnya. Mas Ray melepaskan tanganku dan menyuruh menyambut tangan anak perempuan bernama Natali itu yang disuruh memanggil aku dengan sebutan nenek.
Berarti......dia bukan anak Mas Ray. Uppppssssss..... kututup bibirku rapat-rapat agar yang kupikirkan itu tidak terlontar di lidahku.
"Nenek, selamat datang....." ucap anak itu dengan sopan dan mencium tanganku...."cepat sehat nek," lanjutnya. Hanya sesaat, kemudian dia beralih ke perempuan yang tadi menyambut Mas Ray dan minta dipangku.
"Mamah.....nenek sakit apa ?" ucapnya sambil menunjuk ke arahku.
"Tadi papah kan sudah bilang kalo nenek kecapekan....ayo Natali main dulu di ruangan depan ya..... mamah mau ngobrol dulu sama nenek," suara perempuan itu terdengar lembut bicara kepada Natali. Aku jadi berfikiran, siapa mereka ini ? Mengapa Mas Ray tampak akrab dengan mereka ?
Kulihat, Natali berlari keluar. Kudengar ada anak kecil lain yang menyambutnya. Aku berungsut mau duduk. Mas Ray membantuku.
"Adinda, kenapa sayang ?" kali ini Mas Ray berbisik di telngaku saat membantu aku duduk di ranjang. Aku tidak menjawab. rasa di dadaku bercampur-campur dengan banyak tanda tanya. Setelah akubisa duduk, kedua orang asing lelaki dan perempuan itu, menarik kursi dan duduk di dekat ranjang. Sementara Mas Ray berada di dekatku, meraih tanganku dan kembali menggenggam jemariku.
"Ibu....terima kasih, selama ini mengijinkan saya dengan isterinya Norma, untuk tinggal di rumah ibu ini.....kami akan menjaga rumah ini dengan sebaik-baiknya" ujar si lelaki sambil meraih bahu perempuan yang disebutnya Norma dan yang tadi menyambut Mas Ray. Ternyata......perempuan itu bukan Aulia. Nama itu yang aku takutkan ketika masih berada di dalam mobil tadi.
Mas Ray meraih bahuku. Sebenarnya aku masih enggan. Aku masih merasa dikhianati. Belum ada kejelasan dari Mas Ray tentang Aulia itu.
"Adinda, kenalkan....Ini Nurdian Aulia.....anak Om Ruli....ingat kan ?" suara Mas Ray biasa-biasa saja tetapi seperti menyiram kepanasan yang ada di tubuhku. Bukan bikin nyaman melainkan membikin tubuh berasa meriang. Aku memandang ke arahnya.
"Sayang, kemarin kan menanyakan tentang transfer-transfer itu....nah ini penjelasannya..... Mas Ray mentransfer ke anak Om Ruli yang kebetulan ditugaskan perusahaannya di Sampit..... Adinda ingat kan bahwa bunda sebelum pindah ke Jawa meninggalkan sertifikat tanah ke kita ? Adinda mau menjual tanah itu jadi Mas Ray yang membelinya kemudian Mas Ray minta Aulia untuk membangunkan rumah di tanah bunda. Ini rumah kita.....ini rumah kalau kita ingin menghabiskan masa tua bersama Din. Mas Ray membuatnya sesuai keinginan Adinda. Warnanya, bunga-bunganya, tanamannya....semuanya" penjelasan dari Mas Ray disampaikan secara pelan-pelan.
Airmata yang semula sudah berhenti mengalir, tiba-tiba keluar semakin deras karena merunuhkan benteng amarah yang selama sebulan ini aku tahan. Tidak tahu lagi apa yang aku rasakan. Senang. Sedih. Malu. Semua campur menjadi satu. Kedua orang yang dikenalkan Mas Ray hanya manggut-manggut.
"Dek, ibu benar-benar kecapekan sepertinya......ambilkan teh hangat ya...." aku mendengar suara yang dikenalkan Mas Ray bernama Aulia itu berujar ke perempuan disampingnya, Norma. Perempuan itu kemudian keluar dari kamar. Namun tidak lama, Aulia menyusul hingga tinggal aku berdua dengan Mas Ray.
"Mas Ray jahat....."ujarku setelah diam beberapa menit lamanya. Mas Ray tidak menyahut. Panggilan untuknya yang keluar dari bibirku sudah cukup menunjukkan bahwa aku ini isterinya....bukan lagi seterunya. Perlahan, tangan Mas Ray yang semula menggenggam jemariku, perlahan bergeser ke pundakku.
"Sudah lega sayang ?"
Aku mengangguk.
"Masih mau di rumah kita ini atau kembali ke hotel ?"
Aku menatap tepat di bola mata Mas Ray. Mata yang selama ini selalu menatapku itu tetap menatap lembut ke arahku. Direngkuhnya aku, dipeluknya dan....
"I miss you, Din" ujarnya sambil sekilas mengecup dahiku. Sesaat aku menikmati pelukannya. Aku juga merindukan pelukan itu setelah sebulan aku memendam rasa gara-gara yang satu itu.
"Yuk, balik ke hotel saja....." Mas Ray memutuskan dan mengajak aku berdiri.
Kami keluar dari kamar. Kulihat Norma sudah membawa secangkir teh yang asapnya masih mengepul. Sementara, Natali asyik bermain balok bersama seorang anak perempuan lain dan suara mereka sedikit riuh.
Setelah menghabiskan teh buatan Norma, berbincang sebentar dengan Aulia kemudian kami pamit kembali ke hotel dan sesudah menghadiri perkawinan anak Joko, kembali ke Banjarmasin.
Langit semburat berwarna jingga saat mobil kami bergeser keluar dari halaman rumah. Berasa semakin hanta, karena Mas Ray tidak melepaskan genggamnya dariku.
Ya Tuhan......cintaku bermula di Sampit dan perjalanan ini semakin menguatkan cinta kami.