Haris memeluk tubuh isterinya dengan erat. Sesaat kemudian dia cium kedua pipi Afika dengan lembut dan berlanjut ke dahi kemudian dia peluk lagi seolah tidak ingin melepaskan perempuan yang sudah memberinya tiga orang anak itu. Afika sendiri agak terkejut dengan pelukan yang tiba-tiba itu. Dia tidak menyangka, Haris akan berbuat demikian setelah mereka mendengarkan sebuah rekaman melalui pesawat handphone miliknya. Suara rekaman di handphone itu masih terdengar namun samar sebab yang jelas terdengar justru suara Haris di telinga kanan Afika.
"Maafkan, aku tidak bisa menjagamu......maafkan kalau kamu menghadapi mereka seorang diri..... maafkan aku ya sayang"
ucapan Haris terdengar dengan semakin erat memeluk tubuh perempuan yang sudah dinikahinya hampir dua puluh lima tahun. Afika menenggelamkan wajahnya di dada Haris. Dia dengar degub jantung Haris yang agak kencang. Sesaat kemudian, mereka saling pandang dengan masih saling berpelukan.
"Perempuan itulah yang tidak sehat jiwanya, Afika.....Kamu mau aku apakan perempuan itu ? Aku yang selama puluhan tahun tidur bersama kamu dan sampai kemarin aku-lah yang tahu kamu sehat atau tidak sehat.....bukan dia....bukan perempuan itu.....dia tidak pernah hidup bersama kamu sekejap saja kecuali di kantor....kenapa dengan mudah dia mengatakan kesehatan jiwa kamu terganggu..... ayo sayang.....kamu mau, aku apakan perempuan itu ? Kita tuntut secara hukum saja....kamu mau ?"
Haris berkata sambil melonggarkan pelukannya dan memegang kedua bahu Afika. Afika menatap dalam ke mata suaminya. Lalu menggeleng. Suara handphone masih terdengar berupa percakapan beberapa orang yang diselingi dengan suara riuh di sekitarnya.
"Abang diam saja di tempat Abang.....Abang berdo'a saja untuk kekuatan Dede..... Abang cukup mendukung Dede....Biarkan saja perempuan itu mengatakan seperti yang Abang dengar di handphone tadi....." ujar Afika kembali duduk di kasur tempat dimana handphone itu berada.
"Dede akan menghadapinya dengan kekuatan Allah Ta'ala saja, Bang.....manusia semacam itu tidak bisa dihadapi dengan kata-kata manusia.....perempuan semacam itu sudah tidak punya hati....dia hanya punya nafsu Bang....dan hanya Allah yang Maha Tahu.....manusia perempuan semacam itu, lebih pantas mendapatkan apa dalam hidupnya.....Dede tidak sakit hati Abang....."
Haris mendekati isterinya dan merangkul bahu Afika dari arah kanan. Handphone sudah tidak mengeluarkan suara lagi. Tidak ada kata-kata lagi diantara mereka. Masing-masing tenggelam dalam ingatannya. Ingatan yang sama namun waktu dan cara yag berbeda. Kalau Afika mendengar langsung kata-kata yang tidak pantas diucapkan oleh kedua manager-nya sedangkan Haris mendengar dari rekaman di handphone Afika.
---------
Bu Rosna, manager utama di perusahaan BUMN tempat Afika bekerja memanggil Afika ke Hotel Mutiara karena tamu yang datang dari Jakarta, Bu Carla, adalah atasan mereka berdua yang harus dihadapi. Afika tidak berfikir yang macam-macam ketika memutuskan memenuhi permintaan Bu Rosna.
Afika menyadari bahwa hubungan antara dia dengan Bu Rosna kurang harmonis sudah beberapa bulan ini. Penyebabnya, Afika menemukan hal yang tidak pantas dilakukan oleh seorang atasan kepada bawahannya. Bagi Afika, itu sangat bertentangan dengan hati nuraninya namun tidak mungkin bagi Afika untuk menyampaikan hal tersebut ke Bu Rosna. Afika mendengar dari beberapa orang yang sudah lama bekerja dengan Bu Rosna bahwa Bu Rosna akan membully siapapun yang tidak sejalan dengan apa yang sudah dia putuskan. Afika memilih jalan sendiri. Bukan, itu bukan jalan dia sendiri melainkan jalan yang dia pilih sesudah dia berkonsultasi ke banyak orang. Afika sudah berkonsultasi ke senior-nya yang sudah dimutasi ke Surabaya. Afika sudah berkonsultasi dengan Usradz Rofi'i tempat dia sering hadir majelis ta'lim. Afika pun sudah berkonsultasi dengan suaminya bahkan beberapa temannya di kantor. Keputusan Afika cukup berani yakni berhenti untuk tidak bersentuhan langsung dengan Bu Rosna, kecuali melaksanakan pekerjaan kantor.
Persoalan Afika muncul setelah Afika memutuskan mengurangi kontak langsung dan berduaan saja dengan Bu Rosna. Justru Bu Rosna tidak lagi memberikan tugas-tugas kepada Afika melainkan langsung ke bawahan Afika. Afika sadar, ini merupakan salah satu cara Bu Rosna membuat Afika panik. Tetapi Afika mengikuti saran Pak Dedi di Surabaya, katanya keep on the track Mbak, I know you can do it better. Sedangkan Ustadz Rofi'i mengatakan, istiqomah saja dalam kebaikan.......berikan saja saran-saran terbaik untuk anak buah Bu Afika sehingga pekerjaan yang dibebankan pimpinan Bu Afika berhasil dengan baik....meskipun pimpinan Bu Afika tidak tahu tetapi Allah Ta'ala Maha Mengetahui.
Afika duduk menghadapi kedua manager yang beda level itu di sofa lobby hotel. Haris menunggu di parkir hotel. Reflek tangan Afika menghidupkan mode rekaman di handphone karena feeling Afika mengatakan, malam ini ada pembicaraan yang sangat serius terkait dengan sikap Afika yang memang berubah selama beberapa bulan ini. Perkiraan Afika benar. Bu Rosna memulai pembicaraan dengan kontrol emosi yang kurang bagus. Itu sangat jelas terdegar dari suaranya saat bicara. Bu Carla yang duduk disampingnya sesekali menatap ke arah Afika. Afika mendengarkan penuturan Bu Rosna dengan seksama.
Ada hal-hal yang disampaikan Bu Rosna yang tidak sesuai dengan keadaan sebenarnya. Afika bukan type orang yang menyela pembicaraan penting dengan semaunya sendiri. Afika selalu meminta ijin terlebih dahulu saat mau menyela. Kali ini dengan pongah dan terbata-bata Bu Rosna mengatakan bahwa Afika pernah berkata kasar kepadanya dengan nada agak tinggi yaitu .....Ibu Rosna berhenti dulu....biar saya selesaikan dulu....ujar Bu Rosna sambil memperagakan yang bukan Afika lakukan.
Afika hanya tersenyum tipis dan membiarkan pemutar baikan fakta itu berlangsung. Sekilas Afika ingat pesan suaminya agar tidak banyak berkata-kata di hadapan orang yang sedang di puncak emosi. Afika diam. Hanya ketika Bu Carla mengomentari atau bertanya, Afika memberikan jawaban. Afika tahu, bila dia berkata-kata menggunakan bahasa Indonesia maka akan sering diputus dan disela oleh Bu Rosna maka untuk penjelasan sesuai yang diinginkan, Afika menggunakan bahasa Inggris. Benar saja, pembicaraan itu tidak disela sama sekali oleh Bu Rosna. Inti-nya, Afika tidak ingin mengutarakan apa yang dia simpan dihatinya. Namun berharap, Bu Carla paham bahwa sebagai bawahan, Afika masih melaksanakan perintah-perintah Bu Rosna meskipun tidak terang-terangan karena perintah-perintah Bu Rosna tidak lagi melalui Afika melainkan langsung kepada staf di bawah Afika. Saat Bu Carla meminta Afika berterus terang saja, Afika mengatakan tidak, Afika akan simpan semuanya dan tidak akan mengatakan kepada siapapun.
Menyadari hanya menjadi pendengar, Bu Rosna kemudian mengambil alih lagi pembicaraan dan kali ini membuat Afika tertegun. Dengan emosi yang masih tidak stabil, Bu Rosna menyatakan bahwa Afika memiliki kesehatan jiwa yang terganggu karena di mata Bu Rosna, Afika memiliki kesalahan namun dengan keukeuh Afika mengatakan tidak bersalah. Afika kembali tersenyum mendengar penuturan ini kemudian Afika mengatakan bahwa dia tahu dimana salah yang sudah dia lakukan, Setelah menyadari kesalahan itu makanya dia menjauh sejauh mungkin dari sumber masalah, Namun Afika bertahan untuk tidak mengatakan apa sumber masalahnya.
Bu Rosna, kembali melontarkan kata-kata bahwa Afika memiliki kelainan jiwa dibanding teman-temannya yang lain. Kali ini Afika mempertanyakan di tingkat mana kelainan jiwa yang dialami Afika. Bu Rosna menjawab dengan berputar-putar tidak tentu arah dan tidak menjawab pertanyaan Afika.
--------
Afika tersentak. Ingatan di lobby hotel itu berhenti. Haris memandangi wajah isterinya. Dia bersyukur, Afika tidak nampak terbebani dengan semua itu. Wajah Afika masih tenang. Senyum Afika mengembang. Waktu sudah menunjukkan pukul satu tengah malam.
"Shallat dulu ya Bang....baru tidur.... Afika mau minta ketenangan dari Allah" ucap Afika sambil menuju ke kamar mandi. Setelah berwudlu, Afika mengganti pakaian tidur, mengambil mukena untuk mengerjakan shallat dua raka'at. Shallat sunnat yang sering dia lakukan bila tiba-tiba saja dia mendapatkan suasana yang tidak nyaman. Keimanan yang sempat dijadikan permainan oleh Bu Rosna dengan kata-kata "Bu Afika kan percaya sama Tuhan.....yakin sama Allah....tetapi kenapa sikapnya justru menunjukkan ketidaksamaan antara kata-kata dan perbuatn....Bu Afika merasa benar dan tidak merasa bersalah.
Afika bersujud dengan lebih lama.....dari bibir terlontar kata-kata diiringi air mata....
Ya Allah, kalau benar bagiku adalah kesesuaian antara yang dilakukan dan dikatakan dengan kaidah yang berlaku, ternyata bagi mereka benar adalah sesuai antara keadaan riil.....sedangkan kaidah itu bersifat teori.
Ya Allah, bukankah kaidah itu adalah norma atau aturan.....salah satunya adalah aturan agama yang ENGKAU turunkan dan aku pegang kebenaranya.....kalau bagi mereka benar itu adalah sesuai keadaan riil maka ketika Bu Rosna mengambil hak orang lain itu adalah hal yang benar. Karena riil-nya memang begitu. Sedangkan aku melihat berdasar kaidah agama, kaidah hukum negara dan kaidah tata pemerintahan....bahwa riil yang dilakukan Bu Rosna itu salah.
Ya Allah, aku bersujud kepada ENGKAU....kuatkan hati dan pikiranku karena mereka telah mempermainkan jiwaku yang ada dalam genggamanMU ini ya Allah.....aku menyerahkan jiwaku ini hanya pada genggamanMU dan mereka mempermainkan itu ya Allah.........
Tolong jangan tegur mereka dengan tegura yang keras....tolong kasihi mereka ya Allah karena mareka tidak tahu mana yang benar dan mana yang salah.
Ya Allah.....kalau apa yang aku dengar kali ini adalah beban berat maka aku titipkan beban itu kepadaMU dan ijinkan aku bersitirahat malam ini agar aku besok bisa berbuat kebaikan lagi dalam kehidupanku ya Rabb.....aaaamiiin.
Afika bangkit dari sujud dan mengusap kedua pipinya hingga kering dari airmata yang semula menempel di pipinya. Haris masih duduk di tikar sajadah, memandang ke arah Afika. Begitu melihat senyum Afika mengembang, dan melihat Afika mengulurkan tangan, Haris menangkat tangan Afika, memeluknya lagi dan mencium keningnya.
"Bisa tidur ?" tanyanya kemudian yang disambut dengan anggukan kepala Afika.
Berdua menuju ke pembaringan dan terlelap dengan saling berpelukan.
Tidak ada masalah yang tidak terselesaikan dan keyakinan pada Allah-lah yang menguatkan Afika. Kepercayaan pada suami-lah yang memperkuat Afika. Keyakinan akan kebenaran pula yang menguatkan Afika.
Fabi ayyi 'alaa i robbikuma tukadzdzibaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar