Jumat, 01 Maret 2013

Cemburu

Aku akhirnya ngakak juga mendengar bagian akhir dari cerita Juned. Membayangkan lelaki di hadapanku yang kurus ceking ini dimaki sama banci pemilik motor. Gara-gara motornya sama naik merk, jenis maupun warnanya. Yang membuat aku tertawa geli justru gayanya Juned mengikuti kata-kata si banci....

" Eh....mas bro....eike kremes tubuhmu patah jadi dua....enak adjeee yeey mau bawa-bawa motor eike...."

Sahabatku ini juga akhirnya tertawa geli. Mungkin membayangkan di kremes sama si banci. Sesaat berikutnya tawa kami terhenti ketika Hanifah masuk dengan muka cemberut, melempar map plastik ke atas meja dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Untung saja, kursi yang didudukinya empuk jadi pantatnya yang bahenol itu tidak bakal kesakitan.

" Kesel deh kalo begini terus...." ujar gadis berambut lurus ini. Aku dan Juned saling berpandangan sejenak. Serempak kami mendekati Hanifah.

" Ada apa sih Fah ? Koq kayaknya kuesel seperti itu ?" tanyaku sambil merapikan mejanya sebab kertas-kertas dari map itu berhamburan di mejanya. Juned mengambil yang berserakan di lantai.

" Kena skak mat lagi sama si Bahrun ya Pah ?!" kata Juned sambil memasukkan kertas kembali ke dalam map setelah tersusun sesuai lembarannya.

"Aku heran deh sama Bahrun itu.....maunya apa sih ? Sudah ngerecokin pekerjaan orang, nyalah-nyalahin orang di depan yang lainnya.....kesel tahu enggak Ned !"

Hihihi....tebakan Juned ternyata tepat sekali. Bahrun. Aku juga heran dengan lelaki itu. Selalu saja memberi penilaiaan negatif tentang Hanifah. Dimata Bahrun, Hanifah tidak pernah ada benarnya dalam menyelesaikan pekerjaan. Gadis itu hampir patah semangat dan meminta pendapatku untuk mengajukan berhenti kerja dengan alasan tidak tahan atas perlakuan Bahrun. Andaikata Bahrun itu bukan siapa-siapa, mungkin tidak jadi soal. Persoalannya, Bahrun itu supervisor kami. 

"Kamu jangan lagi menyuruh agar aku bersabar Ti.....sudah hilang kesabaranku..." Ujar Hanifah sambil mengusap wajah dengan selembar tissue yang ada di mejanya.

Hanifah sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan aku katakan kepadanya. Hehehe...memang kata "sabar" yang paling sering kuucapkan bila Hanifah sudah begini. Aku sendiri tidak memiliki keberanian untuk memprotes perlakuan Bahrun pada Hanifah karena khawatir akan berpengaruh terhadap pekerjaanku.

Aku menatap mata Hanifah yang mulai berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian, air pun mengalir dari kedua bola matanya. Juned langsung beringsut dari meja tapi langsung kutarik tangannya sebab aku tahu, dia akan protes ke Bahrun yang berujung keduanya adu mulut dengan melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Tarikanku mendapat perhatian Juned dan dia melihat aku menggeleng. Juned bersikeras dan aku menariknya kian keras.

" Jangan....." ujarku meminta. Juned menatap ke arahku. Lalu dia menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan keras. Aku tahu, ini sudah kesekian kalinya Hanifah menangis. Bahrun kerap menolak apapun usulan Hanifah. Kalau dikatakan dia menghambat Hanifah, sepertinya tidak......sebab seringkali setelah mendapat pembahasan dari kami bertiga, usulan itu diterima dengan banyak catatan. Terus terang, Hanifah belum menceritakan, apa yang sedang direncanakannya kali ini. Sepertinya rencana itu ditolak oleh Bahrun hingga membuatnya menangis. Akupun tidak tertarik mengetahui hal itu padahal jawabannya pasti ada di kertas-kertas yang berhamburan keluar dari map yang tadi dia lempar.

Aku biarkan Hanifah menangis. Kutarik tangan Juned untuk beralih ke meja dimana kami berdua tadi berada. Di meja itu berhamburan karti undangan untuk dimasukkan ke dalam sampul undangan. Juned sepertinya mengerti maksudku melarang dia menemui Bahrun dan bertengkar lagi dengan lelaki itu hanya karena airmata Hanifah. Lelaki itu menepuk lembut bahuku dan kemudian duduk di kursi tempatnya tadi duduk dan kembali pada pekerjaannya memasukkan undangan. Hanya saja, kali ini tanpa ada canda diantara kami berdua.

Kulihat, Hanifah mulai tenang. Tidak lagi mengusap-usap airmatanya. Juned menyenggol kakiku dan ketika aku menoleh ke arahnya, dia memberi kode agar aku mendekati Hanifah.

" Aku mengajukan permohonan berhenti Ti....." tanpa kuminta, Hanifah memulai bicara. Suaranya masih serak. Keserakan suaranya biasa-biasa saja, tetapi kata-katanya membuatku terkejut.

" Kenapa Fah ?"
" Aku nggak bisa bayangkan kalau bekerja tanpa kamu...."
" Maksud kamu....? Kamu mau berhenti hanya karena aku akan menikah ?"
" Bukan pernikahan kamu yang menjadi alasanku berhenti, tetapi aku bisa membayangkan kalau tidak ada kamu tentunya sikap Bahrun ke aku makin semena-mena Ti.....sekarang saja aku sudah tidak tahan....." Hanifah menarik nafas sejenak.
" Belum lagi aku sampaikan maksudku untuk mengajukan berhenti, eeeeh Bahrun nanya, mau mengajukan usulan perjalanan dinas lagi buat kalian bertiga ya....biar bisa mesra-mesraan dan itu si Nastiti koq mau ya jadi obat nyamuk kamu sama Juned...." Hanifah mulai lancar bercerita. Akhir dari kalimatnya, dia memandang ke arahku kemudian ke arah Juned. Aku dan Juned sempat saling pandang  mendengar bagian akhir dari cerita Hanifah kemudian tertawa ngakak. Melihat aku dan Juned tertawa, Hanifah pun tersipu-sipu kemudian ikut tertawa.

" Harusnya kamu bilang Fah...." ujar Juned disela-sela tawanya. Aku menggeleng mendengar kata-kata Juned. Hanifah memandang ke arahku. Kemudian, aku bisikan sesuatu ke telinga Hanifah hingga dia tersenyum lebar dan kemudian tertawa sendiri.

----------------------------------------

Akad nikah-nya sudah usai. Tinggal menunggu seminggu lagi untuk bersanding. Hanifah tersenyum lebar, melihat ke arahku. Juned yang tak jauh dari situ juga tersenyum-senyum.

" Siapa yang akan mengantarkan undangan ini ?" Hanifah mengangkat undangan merah jambu.
"Biar, aku saja....." jawabku kemudian mengambil undangan di tangan Hanifah.

Juned mengangkat bahu. Dia sudah tahu apa yang aku rencanakan.

Pagi-pagi sekali, aku sudah berada di ruangan Bahrun. Lelaki bertubuh atletis itu duduk sambil memainkan undangan merah jambu di tangannya. Sesaat kemudian, dia memandang ke arahku.

" Jadi selama ini......" kalimat itu terputus, dia kembali membaca undangan walimatul ursy yang ada ditangannya.

" Aku sengaja mengantar undangan ini sendiri, Bahrun. Maaf, aku tidak ingin  terlalu formil karena kedudukan kamu sebagai supervisor diantara kami. Walau kamu sudah melupakan pertemanan diantara kamu dan aku karena kita berbeda posisi, tetapi aku tetap menganggap kamu temanku," 

Bahrun manggut-manggut. Sebenarnya, dia temanku ketika di SMP bahkan ayah kami dinas di kesatuan militer yang sama. Hanya karena perjalanan hidup saja yang menyebabkan dia berada posisi sebagai supervisor dan aku dalam pengawasannya.

"Aku cuma titip satu hal ke kamu, Bahrun.....sesuai dengan peraturan di Bank ini, aku akan mengundurkan diri dari pekerjaan dan mungkin pindah ke Bank lain....jadi...berhenti-lah membuat Hanifah menangis...."

Bahrun tersentak.

"Hanifah menangis ? Kenapa ?"
"Lhooooo....bukannya kamu sering berkata kasar dan menolak proposalnya ? Bahkan beberapa waktu lalu kamu menuduh Hanifah sengaja mengajukan usulan survey, perjalanan dinas dan lain sebagainya untuk bisa berdua-dua dengan Juned....."
" Stop Nastiti......aku salah sangka selama ini....aku minta maaf ,"
" Sudah seharusnya Bahrun......" ujarku menyahut ," Kamu terlalu sibuk dengan jabatan kamu sehingga tidak memperhatikan lingkunganmu......tidak memperhatikan orang-orang di sekelilingmu. Sudah seharusnya, kamu meminta maaf kepada Juned atas salah sangkamu selama ini...."  lanjutku.
" Aku akan menemui Juned secara khusus.....dan aku sungguh-sungguh minta maaf... Insya Allah, aku akan datang ke undangan ini ," ujar Bahrun kemudian.

Sepertinya, Bahrun benar-benar menyesal atas apa yang selama ini terjadi. Dia berubah total dan Bahrun sang supervisor menjadi Bahrun temanku semasa kecil dulu. Cerita-cerita masa kecil kami mengalir begitu saja hingga menghabiskan waktu satu jam lebih. Akhirnya aku pamit dari ruangan Bahrun untuk kembali ke rumah karena aku masih dalam masa cuti.

-------------------------------

Seminggu berlalu, hari ini waktunya untuk bersanding. Tamu-tamu yang hadir cukup banyak. Aula yang disewa untuk acara walimatul'ursy sepertinya dipenuhi laki-laki dan perempuan, tua, muda dan anak-anak. Mereka tamu dari pihak mempelai pria dan wanita.  Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas artinya tinggal satu jam lagi persandingan ini akan berakhir. Hidangan memang sudah mulai berkurang. Tetapi bukan itu yang membuat aku tengak-tengok diantara tamu, melainkan sampai saat ini aku tidak melihat Bahrun, padahal dia sudah berjanji akan datang. Bahkan dia mengatakan sendiri dihadapan aku dan Juned, akan datang pada undangan yang kemarin aku serahkan langsung ketangannya. Bukan hanya itu, Hanifah juga belum hadir.

" Mungkin mereka sama-sama menimbang waktu yang tepat untuk datang....takut kalau ketemu lantas saling lontar kata-kata yang tidak menyenangkan," Juned berbisik ke telingaku, seolah-olah bisa membaca pikiranku.

" Tapi kan mereka bukan anak-anak untuk berbuat semacam itu di tengah orang banyak ," aku membalas bisikan Juned " Seharusnya mereka mempertimbangkan pertemanan diantara kita," lanjutku tidak bisa menutupi perasaanku. Juned menyenggol bahuku. Aku menoleh ke arahnya dan dia menunjuk ke satu arah dengan dagunya. Aku mengikuti tunjukkan Juned. Aku tidak menemukan siapa-siapa diarah yang Juned maksudkan kecuali undangan yang baru masuk. Upayaku mencari, tidak terpenuhi karena ada beberapa orang tamu yang minta bersalamanan denganku.

Jumlah tamu kian menipis dan aku semakin yakin baik Bahrun maupun Hanifah, tidak datang ke acara persandinganku dengan Juned. Sampai kemudian Juned mengajakku duduk. Aku sudah malas memperhatikan tamu-tamu yang tersisa. Biarlah sudah, mungkin mereka berdua memang saling jaga diri sebab besar kemungkinan kalau bertemu akan ribut. Aku berdiri mendekati Bunda dan Ayah yang duduk di sisi kiriku. Juned merasakan kekesalanku, membiarkan aku saja aku mendekati orangtuaku.

Aula kian sepi dan aku rasa sudah waktunya untuk pulang. Ketika aku berpaling, kulihat Hanifah berdiri di depanku. Mengenakan gaun warnah merah jambu, senada undanganku. Gadis itu nampak anggun. Dia melebarkan tangan, kusambut dengan rengkuhan.....

" Selamat atas pernikahanmu, Nastiti....jadilah isteri Juned yang baik karena dia orang baik," ujarnya setengah berbisik di telingaku. Disaat dalam pelukan Hanifah itulah aku melihat sosok atletis berdiri didekat Juned. Dia tersenyum menganggukkan kepala. Juned disampingnya juga memandang ke arahku sambil mengembangkan senyum. Aku melepaskan pelukan Hanifah. Sambil sedikit bengong, kudekati lelaki itu dan Hanifah, tidak dapat menahan tawanya lalu berucap,

"Nastiti....kenalkan, ini calon suamiku....dia cemburu lantaran kedekatan kita terutama dengan Juned dan baru kemarin berani menyadari kesalahannya kemudian menyatakan cintanya padaku bahkan langsung melamarku.....namanya...."

"Bahruuuuuuuunnnn !!!!"

Aku setengah berteriak menyebutkan nama itu.

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...