Jumat, 22 Februari 2013

INGKAR JANJI

Tidak disangka, aku berjumpa dengannya setelah puluhan tahun berpisah. Ada yang berubah dari dirinya. Penampilannya, tidak seperti semasa SMA dulu. Lebih elegan dan berwibawa namun tetap anggun. Hatiku berdesir ketika menatap dirinya. Entahlah, apakah desiran ini sama dengan ketika aku mendekatinya semasa SMA dulu.
" Sendiri saja Her ?!"pertanyaannya membuyarkan kekagumanku saat memandangnya. Aku sedikit tergagap.
" I...i...iya....kebetulan ada undangan kemari ," jawabku sekenanya. Aku benar-benar tidak menyangka bertemu Kinanti. Gadis yang pernah aku incar semasa SMA. Kerap bila berangkat di pagi hari, aku akan duduk di muara gang Bambu Kuning agar bisa barengan dengan adik kelasku itu menuju ke sekolah kami yang tidak terlalu jauh dari gang tersebut. Ada saja alasanku untuk bisa menggodanya. Terkadang aku berdiri tepat di arah pandangnya saat di dalam kelas sedangkan aku sudah istirahat dari pelajaran atau harus ke laboratorium yang tidak jauh dari kelasnya. Aku hanya melambaikan tangan, saat dia melihat ke arahku. Seulas senyumnya itu, membuat aku merasa damai. Bila usai sekolah, aku selalu menunggu tak jauh dari kelasnya, hanya untuk bisa berjalan disisinya. Itu kulakukan dari hari ke hari.

Aku tahu, dia suka latihan paduan suara setiap sore hari di rumah temannya yang tidak jauh dari rumahku. Kerap aku mengiring dia pulang sampai ke perempatan jalan menuju rumahnya. Dia selalu menolak bila mau kuantar dengan motor bebek-ku sebab tidak ingin meninggalkan teman seperjalanannya. Ah, Kinanti.

" Apa kabarnya Her ? Dari tadi melongo aja ,"ujarnya lagi.
" Aku....baik-baik saja Kinan... kamu juga baik saja kan ?" tanyaku bak orang bodoh. Ya jelas-lah perempuan dihadapanku inibaik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik hingga bisa membuatku seperti lelaki kehilangan akal pikiran !
" Aku mendapat undangan dari kantorku untuk menghadiri acara di hotel ini, Her...dan kamu, sedang apa di sini ?" Kinanti memandang ke arahku. sambil memainkan kunci kamar yang baru saja dia terima dari resepsionis. Sayang, aku tidak dapat melihat nomor kamarnya. Andaikata tahu, aku kan bisa..... upsssss, hampir kutepuk jidatku sendiri untuk mengusir pikiran konyol itu, walaupun sekedar mengajaknya ngobrol melalui telpon.
" Workshop kan Kinan ? Aku juga ditugaskan kantorku untuk menghadiri workshop ini," jawabku kemudian. Itu berarti, posisi Kinanti sangat bagus sebab yang diundang hadir di kegiatan yang akan membedah pembangunan di daerah pasca reformasi bukanlah pegawai dari kalangan low manager. Kulihat Kinanti tersenyum tipis.

" Oke deh Her, sampai ketemu di kegiatan ya....pembukaannya ntar malam kan ? Aku agak capek, maklum penerbangan agak jauh...." Kinanti berpamitan, tapi ketika dia melihat aku mengernyitkan dahi, perempuan itu batal melangkah.

" Perjalanan dari Manado ke Jakarta, tidak sama dengan dari Bandung ke Jakarta kan Her ?" ucapnya seolah menjawab kernyitan dahiku. Olalaaaa....dia tahu aku tinggal di Bandung sedangkan aku tidak tahu dia tinggal dimana. 

-------------------------

Workshop itu hanya berlangsung selama dua hari. Tetapi selama dua hari itu, aku tidak bisa mendekati Kinanti sebab ternyata dia selalu duduk di lapisan pertama, golongan high manager. Aku tidak bisa berbuat banyak. Melepas kangen juga tidak mungkin lagi, walau sekedar bercerita. Sampai penutupan workshop, aku tidak punya kesempatan untuk satu meja dengannya. Ini malam terakhir di hotel tempat kegiatan berlangsung. Tentu besok dia akan kembali ke Manado dan sepertinya, Kinanti juga tidak berusaha untuk menemui aku. Apakah dia menaruh dendam terhadapku ? 

Aku ingat, menjelang aku meninggalkan Banjarmasin untuk kuliah ke Bandung, aku pernah menemuinya di suatu tempat di sekolah. Saat berdua itu, aku meminta Kinanti untuk berjanji, bersedia menunggu sampai aku selesai kuliah di Bandung kemudian mempersuntingnya menjadi pendamping hidupku.

Saat itu, Kinanti mengatakan bahwa untuk menyayangi aku dan setia kepadaku itu bisa dipastikan sebab itu keluar dari hatinya. Tetapi untuk memastikan bahwa aku akan menjadi pendamping hidupnya, itu mustahil untuk dipastikan sebab hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di masa depan.

Sebenarnya, jawaban Kinanti cukup tegas dan benar. Tetapi, ego-nya aku meminta kepastian dari dia bahwa jawaban yang kuharapkan adalah "iya". Kinanti tetap dengan jawaban itu. Sesudah tamat SMA, aku berangkat ke Bandung. Tidak ada kontak diantara kami. Aku pernah sekali menerima surat dari Kinanti yang menanyakan kabarku. Tetapi, karena kesibukan di awal-awal kuliah, surat itu tidak aku balas. Bahkan, menjelang ujiannya di kelas 3, Kinanti juga menulis surat yang meminta pendapatku sebaiknya dimana dia kuliah. Aku tahu, Kinanti banyak peluang untuk melanjutkan pendidikan. Selain orangtuanya yang mampu, otak gadis itu juga lumayan cerdas. Aku tidak juga membalas suratnya. Dari Reres adikki, aku tahu Kinanti setamat SMA melanjutkan kuliah di Surabaya.

Sebenarnya, pernah sekali aku bertemu Kinanti di Banjarmasin ketika kami sama-sama libur kuliah. Aku sempat ke rumahnya untuk bertemu, tetapi terlambat sebab Kinanti hanya mengambil liburan beberapa hari saja. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sampai saat ini.

Aku agak kaget ketika bahuku ditepuk dari belakang.

" Melamun Her ? Aku perhatikan dari tadi, rokok kamu ngepul terus nggak da berhentinya ," suara Kinanti memecahkan gelembung-gelembung lamunanku. Aku tersenyum dan mempersilahkannya duduk satu meja dengan ku. Ruangan lobby hotel ini memiliki banyak sofa yang bisa dijadikan tempat santa-santai. Aku duduk agak di pojok. Tetapi bisa melihat ke segala arah.

"Aku tadi ada di belakang kamu....asyik ngobrol sama Wendy, teman satu kuliah yang tinggal di Banajrmasin sekarang.....kapan kembali ke Bandung Her ?" 

" Besok sore, kamu kapan ke Manado-nya Kinan ?"
" Besok subuh. Aku nggak bisa lama-lama di Jakarta sebab Mas Wid akan berangkat ke daerah dan kami bergantian menjaga anak-anak," jawaban Kinanti sebenarnya mengecewakanku. Aku sebenarnya bisa saja pulang pagi, tengah hari atau malam ini sekalipun. Tetapi sengaja kukatakan sore dengan harapan Kinanti juga sore hari sehingga kami punya waktu buat ngobrol.

"Suaminya kerja dimana Kinan ?" jiaaaaahhh pertanyaanku konyol sekali sebab jelas ada cemburuku di situ.
" Suamiku cuma manager marketing di perusahaan kecil Her. Tapi alhamdulillah, dia pengertian banget terhadap karierku jadi aku bisa seperti ini," ucapan Kinanti sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi entah kenapa, aku sedikit merasa tersodok mendengar pujiannya terhadap lelaki yang disebutnya "suamiku" itu. Apakah kalau aku menjadi suaminya seperti janjiku dulu, tidak akan melakukan hal yang sama dengan lelaki itu ?

" Kamu tahu Her, aku dan Mas Wid menikah baru berjalan sembilan tahun. Anak kami yang tertua baru kelas tiga es de dan yang kecil masih te ka.....aku emang telat menikah sebab aku kira seseorang yang pernah meminta kesetiaanku benar-benar mengharapkan kesetiaan dari aku. Ternyata, dia sudah menikah dan punya anak dari teman sekampusnya. Dan aku baru tahu setelah aku menyelesaikan kuliah di Surabaya......tetapi aku sangat beruntung lelaki itu ingkar dengan janjinya.... walau aku rugi waktu karena sia-sia menjalankan kesetiaan....ternyata Tuhan memberikan aku suami yang sangat pengertian, begitu melindungi dan pemberi semangat bagi diriku.....jadi, kesia-siaan itu sudah terbayar Her...." ucapan Kinanti tidak lagi menyodok hatiku melainkan mencincangnya menjadi berkeping-keping. Aku tidak dapat mengatakan satu patah katapun.

"Maaf Her, barangkali kamu baru menyadari sekarang bahwa aku tetap setia dengan janjiku tetapi aku tidak bisa setia pada orang yang sudah mengikat janji setia dengan perempuan lain. Terus terang, pertemuan seperti ini sangat aku harapkan sebab aku hanya ingin mengucapkan, terima kasih karena kamu sudah ingkar janji sehingga aku bertemu dengan seorang yang kesetiaannya tidak kuragukan......salamku untuk isteri dan anakmu Her....semoga selalu bahagia," kali ini aku tercekat sebab Kinanti mengucapkan semua kalimat itu dengan santainya, kemudian berdiri dan menepuk pundakku lalu berjalan menjauh. 

Aku tercenung.
Semuanya kemudian tersibak kembali. Bagaimana sampai akhirnya aku menikah dengan Yulia, anak Kepala Kantor tempat aku bekerja. Karierku di kantor ini, bukan karena usahaku sendiri melainkan ada peran besar mertuaku. Rumah tanggaku tampaknya memang bahagia, namun orang-orang tertentu akan tahu betapa rapuhnya kebahagiaan yang kubangun.

Kinanti begitu bersyukurnya sebab aku ingkar janji terhadapnya. Itu berarti, dia sudah menemukan jalan hidup yang terbaik untuk dirinya. Sedangkan aku ? Sampai beberapa saat lalu masih berharap bisa meluangkan waktu bersama seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa remajaku dan melupakan Yulia isteriku, melupakan Rizqy puteraku.

-------------------------------------------

ITU dia MANUSIA

Namany Aurora. Temanku satu pekerjaan di media massa bagian periklanan. Aurora menurutku tidaklah jelek walau jauh dari katagori cantik. Orangnya ramai. Kalau berbicara paling heboh. Aku tidak ingin mengatakan kekurangannya melainkan kelebihan Aurora.

Aurora yang senang bercerita, kerap menceritakan apapun kepadaku. Terkadang ceritanya menarik, bila itu menyangkut pengalamannya sendiri. Terkadang ceritanya menarik-narik emosiku agar keluar dari diriku dan naik ke ubun-ubun untuk kemudian ikut marah-marah. Terkadang ceritanya membuat aku melengos, lelah mendengarnya. Tetapi apapun cerita yang diberikan Aurora, aku selalu menjadi pendengar yang baik dan tidak mengecawakannya sejak menjadi temannya dalam empat tahun ini. Namun yang pasti, aku tidak pernah mau bersahut-sahutan saat dia menceritakan atau bergossip tentang orang lain. Bukan apa-apa sih, takutnya dia juga menceritakan tentang aku ke orang lain. Hehehehe

Hari ini, kami usai menghadiri serah terima pekerjaan sebab Kepala Bagian Periklanan di tempatku bekerja, dipindah ke Kantor Cabang yang baru dibuka di sebuah Kabupaten Provinsi lain. Kebetulan suami Kepala Bagian periklanan dimutasi ke provinsi tersebut jadi dia harus mengikuti. Nah berbarengan lagi,  perusahaan periklanan kami buka cabang di provinsi tersebut. Klop-lah....diganti. Aku dan Aurora jelas tidak mungkin naik ke jabatan itu sebab kami berdua baru empat tahun lulus dari SMK. Kuliah juga masih setahun lagi untuk jadi sarjana. Untung diterima di perusahaan periklanan ini.

Hemmmh...hemmmmhhh, boss baru lagi. Padahal, Mbak Tiwi, Kepala Bagian yang pindah itu juga baru tiga tahun bergabung dengan kami. Seusai makan-makan, Aurora cengar-cengir berdiri di hadapanku. Aha.... pasti ada yang akan disampaikannya.

"Sudah jabat tangan sama Pak Bayu ?" tanyanya sambil peringas-peringis. Pak Bayu adalah Kepala Bagian yang baru. Aku menggeleng. Biasanya, kalau ada pria yang baru dikenal, Aurora bersikap seperti super star yang banyak dipuja orang.
" Aku sudah....tadi waktu mengambil air minum pas barengan ," ujarnya lagi.
" Oh yaaaa ???? Terus, Pak Bayu bilang apa ke kamu ?" tanyaku. Aku sudah bisa menebak apa yang akan dikatakan Aurora untuk menjawab pertanyaanku. 
" Aurora cantik, senang berkenalan dan semoga kita bisa bekerja sama....itu katanya," jawab Aurora dan tidak meleset dari apa yang ada dibenakku. Dia memang selalu begitu. Entah, dia memandang dari sisi mana dirinya itu sebab menurutku dia biasa-biasa saja. Dengan tumbuhnya yang tidak lebih tinggi dari aku dan proposi berat dibanding tinggi yang tidak seimbang, terus terang aku tidak melihat sisi yang menyebabkan orang tertarik dengannya. Dalam hal pekerjaan pun, dia nggak begitu smart bila dibandingkan Daniar si cleaning service.
" Menurut aku, dia lebih baik daripada Mbak Tiwi yang judes, kasar dan kadang susah senyum itu," Aurora nyerocos sampai hampir kesedak. Aku diam saja, sambil seolah-olah sibuk mengunyak keripik sehingga ada alasan untuk tidak menjawab kalimantnya.

------------------------

Ini minggu ketiga sejak Kepala Bagian dijabat oleh Pak Bayu. Semula, Aurora bagaikan orang yang berada di atas angin dan melebihi aku dalam segala-galanya. Aku tersenyum di balik layar monitorku ketika dia berdiri dihadapanku dan dengan gayanya yang berapi-api menceritakan sesuatu yang  terjadi antara dirinya dengan Pak Bayu.

" Kamu tahu enggak Dian, aku sudah capek-capek membuat lay out iklan klien kita yang kemarin itu, eeeeh disuruh coba lagi buat yang lain sebab katanya punyaku nggak orisinal karena dia pernah lihat iklan yang mirip dengan sketsa iklan-ku ," ujarnya dengan kedua tangan di pinggang.

" Yaaaaa, mungkin Pak Bayu ada benarnya.....kreatif dikitlah...." jawabku. Dia makin mendekatkan wajahnya mendekati monitor di hadapanku.

" Semalam aku merancang, mendisain iklan itu Dian.....semalaman !!! Enak banget dia menyuruh aku menggantinya...." Aurora lalu duduk di kursi yang ada di depanku. Nafasnya agak tersengal. Aku berhenti dari pekerjaanku. Kugeser monitor untuk lebih leluasa melihatnya. Kalau sudah begitu, aku lebih baik tidakberkomentar dan khusus mendengar. Empat tahun, cukup waktu untuk memahami seorang Aurora.

Aurora memandangku ke arahku. Melihat aku siap untuk menjadi pendengarnya, Aurora menarik nafas.

" Sepertinya, aku tidak bisa mengikuti perintah-perintah Pak Bayu. Orangnya ternyata arogan. Kata-katanya lebih pedas daripada Mbak Tiwi. Masih bagus Mbak Tiwi, bisa membimbing dan mendengarkan aku...." ucapnya kemudian.

Mendengar itu, aku menghempaskan tubuhku ke sandaran kursi. Masih banyak kalimat yangleuncur dari bibir Aurora, tapi aku sudah tidak ingin menyimaknya walau aku dalam posisi mendengarkan.

Ah, Aurora....  Itu dia manusia. Aurora cepat memuji namun cepat juga memaki. Dibalik pujian Aurora tersimpan keinginan yang bila tidak terpenuh akan mengalir cerita-cerita negatif tentang orang yang semula dipujinya. Aku tidak tidak mau  lagi mendengarkan hal yang sama seperti yang dia lakukan saat Mbak Tiwi baru menjadi Kepala Bagian kami. Aku tidak mau lagi mendengarkan sumpah serapah Aurora yang dulu ditujukan kepada Mbak Tiwi lalu sekarang ditujukan kepada Pak Bayu. Tetapi, sebagai temannya, aku masih harus memasang aksi sebagai pendengar yang baik. Ah Aurora..... Itu, dia.....manusia.

CERITAKU


Perkenalkan dulu, namaku Rusda, anak sopir kelotok yang sangat beruntung punya pekerjaan  meskipun  di tingkat desa. Pekerjaanku sebenarnya biasa-biasa saja namun tidak semua orang mau mengerjakan apa yang menjadi tugasku. Datang dari rumah ke rumah, bicara dengan para ibu dan terkadang dengan suami-nya untuk menjelaskan salah satu cara yang harus dilakukan pemerintah agar bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat yaitu melalui peningkatan kesejahteraan dalam keluarga. Ah, bahasaku akhirnya seperti para pejabata dan politikus di televisi saja.

Bagiku, tidak soal siapa presiden yang menjabat saat ini sebab usaha meningkatkan kesejahteraan masyarakat menjadi mimpi yang dijual oleh setiap orang yang mau menjadi presiden, gubernur, bupati bahkan kepala desa. Yang terpenting bagiku adalah pekerjaanku yang secara nyata mengajak keluarga meningkatkan kesejahteraan melalui dirinya sendiri. Bagiku, pemerintah itu hanya alat. Mereka yang aku datangi itu harus mempergunakan alat itu bila memang benar mau meningkatkan kesejahteraan.

Tolong jangan tertawakan. Pekerjaanku, mengajak keluarga-keluarga ini mengatur jumlah anaknya dan memberikan jarak kelahiran satu anak dengan anak yang lainnya. Aku tidak perduli mereka mempergunakan cara bagaimana untuk mengatur kelahiran anak-anaknya. Aku hanya sering mengatakan dalam bahasa yang mereka mengerti seperti,

"Anak itu memang titipan Tuhan, dan sebagai sesuatu yang dititipkan maka sebagai orangtua ada kewajiban untuk menjaga dan merawat sehingga ketika titipan ini diambil lagi sama Tuhan  maka Tuhan tidak kecewa terhadap kita"

"Aduuuuh, cantik bener anak pertama ibu....jadikan dia perempuan yang sempurna lahir dan bathinnya bu....pelajari cara mengasuh anak dengan baik agar nanti kalau besar nggak menyusahkan kita....ingat masa keemasan pertumbuhan otak anak sampai usia lima tahun jadi agar ibu bisa menididknya sampai usia lima tahun, upayakan nggak hamil dulu ya ???"

"Bapak.....ini ibunya makin seger saja ya....walau sudah dua kali melahirkan.....biar tetep seger dan awet muda, beri kesempatan untuk merawat diri, jangan hanya merawat anak melulu....kalau ibu sehat yang senang bukan hanya Bapak tapi anak-anak juga senang kalau mamahnya selalu punya waktu untuk mereka"

Masih banyak bujuk rayu yang kupergunakan untuk para keluarga itu. Ketika mereka mau menjarangkan kelahiran antar anak satu dengan anak lainnya, atau ketika pasangan suami isteri di desa-ku ini memutuskan untuk punya anak dua saja maka aku beri bonus mereka dengan mengumpulkan ke dalam satu kelompok kegiatan yang bisa menghasilkan keterampilan. Dengan keterampilan itu, mereka bisa memenuhi kebutuhan keluarganya sendiri.

Contohnya indu Niar, anaknya yang paling kecil sudah kelas lima SD jadi tidak perlu ditunggu lagi. Waktu itu aku mengumpulkan indu Niar satu kelompok dengan tujuh ibu-ibu yang lain. Aku punya sedikit pengetahuan yang kudapat dari robekan majalah yang dipake membungkus kaos kaki yang kubeli di pasar minggu. Pengetahuan di robekan kertas itu adalah cara membuat hiasan rambut dari kain perca. Indu Niar dan beberapa ibu lainnya kuajari membuat hiasan rambut itu setelah aku sendiri mempraktekkan dari gagal sampai dengan berhasil. Sepertinya, aku tidak gagal mengajari indu Niar sebab saat ini Indu Niar dan beberapa ibu berhasil menjual hiasan rambut itu di sekolah yang ada di desa.

Untuk modal kegiatan.......aku punya teman di kantor desa yang selalu memberi aku beberapa ribu rupiah bila ada keluarga yang datang ke puskesmas pembantu kemudian dilayani oleh bidan untuk mengatur kelahiran anak satu dengan yang lain. Yang aku dengar dari temanku di Kantor Kepala Desa, itu namanya bermacam-macam, ada suntikan KB, ada pil KB.... Terus terang, aku tidak perduli juga dengan nama obat-obatan yang mereka pakai sebab tujuanku hanya bekerja membantu keluarga-keluarga di desa-ku menjadi sejahtera. Ooooh iya, kembali ke soal modal, uang dari temanku di Kantor Kepala Desa sebagian aku pergunakan untuk beli minuman bila haus ditengah bersepeda guna mengunjungi keluarga-keluarga itu. Sebagian kusimpan. Kadang kuberikan alat untuk praktek keterampilan. Kadang juga kupinjamkan sebagai modal awal ibu-ibu itu. Aku sebut sebagai bonus.

Aku melakukan pekerjaanku sejak tamat SMP. Orangtua-ku yang hanya penjual sate tidak mampu menyekolahkan setinggi mereka yang orangtuanya sangat mampu. Di desaku, anak perempuan memang hanya cukup sampai tamat SMP. Bisa membaca, bisa menulis dan berhitung sudah cukup. Ada sebagian yang langsung dikawinkan. Ada juga yang mencari pekerjaan di desa tetangga. Sedangkan aku, tidak perlu mencari pekerjaan ke desa tetangga sebab di desaku ada petugas baru. Dia masih gadis dan tinggal di rumah dinas puskesmas pembantu, tak jauh dari kantor Kepala Desa. Melalui ibu Kepala Desa, petugas itu meminta aku menemaninya bila berada di rumah dinas tersebut. Hanya dari malam Selasa sampai malam Sabtu sebab di hari Sabtu dia pulang ke rumah orangtuanya dan Senin pagi kembali ke desa.

Petugas itu tidak mau kupanggil dengan sebutan "Ibu" melainkan cukup dengan "Kakak". Alasan yang diberikannya cukup masuk akal.

"Aku kan belum terlalu tua Rusda, jadi panggil aku dengan Kakak Ratih....ya ?"

Aku tidak tinggal bersamanya lagi semenjak dia menikah dan tinggal bersama suami-nya yang bekerja di Kantor Kecamatan. Namun, hubungan kami tidak terputuskan sebab aku diberi pekerjaan olehnya. Alhamdulillah, pekerjaanku dari Kak Ratih lumayan sekali. Setidaknya, orang satu desa mengenalku dan aku mengenal mereka satu per satu. Terkadang bila Kak Ratih meminta aku mengumpulkan ibu-ibu yang sudah kusatukan dalam kelompok dan kemudian kak Ratih bicara dengan mereka tentang Keluarga Berencana, para ibu ini memberi Kak Ratih oleh-oleh sesusai yang mereka punya. Ada yang memberi kacang panjang berikat-ikat. Ada yang memberi lombok hijau, kangkung, rambutan, mempelam.....wah....banyak sekali. Aku juga mendapat sebagiannya. Kadang dari Kak Ratih, tetapi lebih banyak lagi dari ibu-ibu itu ketika aku mengunjungi mereka. Tiga tahun itu kulalui bersama Kak Ratih.

Senang ya, membaca apa yang sudah kulakukan ? Aku meneteskan airmata saat mengingat itu semua. Kak Ratih sudah tidak ada lagi di desa kami sebab dia ikut suaminya pindah ke kota. Tempat yang tidak mungkin aku datangi. Sudah hampir dua tahun ini, Kak Ratih digantikan oleh petugas yang baru. Pertamanya dia baik. Tetapi makin lama semakin menjauh dari aku. Aku, tidak lagi mendapatkan bonus-bonus kecil seperti semasa Kak Ratih ada di desaku. Tetapi, itu tidak menyurutkan langkahku, tidak menghentikan kegiatanku dan juga tidak mengurangi semangatku untuk melakukan pekerjaan yang diberikan Kak Ratih, selama temanku itu bertugas di desa kami. Kepergian Kak ratih berpengaruh sangat besar terhadap orang-orang di desaku. Mereka tidak pernah lagi berkumpul untuk mendapatkan berita-berita dan cerita-cerita baru dari petugas macam Kak Ratih. Ada perpanjangan tangan dari petugas baru itu yang aku susah sekali menghapalkan namanya dan yang ditunjuk isteri-nya Kepala Desa yang baru terpilih. Tetapi yang berkumpul di kelompok itu keluarga-keluarga yang mampu saja. Banyak keluarga yang dulu aku datangi tidak lagi diundang untuk masuk dalam perkumpulan mereka. 

Aku mengelus dada, manusia memang memiliki keterbatasan. Termasuk aku yang hanya tamatan SMP. Mungkin tidak masuk dalam hitungan untuk membantu pemerintah membangun desaku sendiri. Tetapi aku masih bersepeda keliling desa. Masih berbicara dengan keluarga-keluarga lain yang tidak masuk dalam perkumpulan bu Kepala Desa. Alhamdulillah, pelajaran dari Kak Ratih masih banyak diamalkan ibu-ibu itu. Sampai suatu hari, aku dipanggil oleh Isteri Kepala Desa ke rumahnya. Aku tidak terlalu mengenal ibu ini sebab keluarganya memang berasal dari desa kami tetapi mereka sendiri tinggal di kota. Aku agak takut-takut ketika mendatangi rumasnya.

" Rusda, masih suka keliling desa bertemu ibu-ibu ?" tanyanya. Aku memandang sekilas lalu menundukkan kepala.
" Inggih ibu, apakah itu salah ? Kalau ujar pian, ulun sudah tidak boleh lagi, ulun berhenti keliling desa bertemu dengan ibu-ibu lagi ," jawabku. Ulun berarti saya dan pian berarti anda. Wanita cantik itu tertawa sebentar.
" Kada lah Rusda....aku justru handak membawa Rusda untuk membantu kegiatan ibu di desa ini.... Rusda lebih dikenal mereka ketimbang ibu," ujarnya. Beliau tidak menyalahkan aku, jsutru mau mengajak aku. Aku terkejut dan mamandang ke arahnya.

"Besok pagi, datang ke kantor PKK desa....dihiga kantor kepala desa....kita rapat...." lanjutnya sambil tersenyum. Aku, diminta datang ke kantor PKK Desa yang disamping kantor Kades. Wow.... !

Aku mau mengakhiri tulisanku. Manusia memang banyak kekurangannya. Akan saling melengkapi bila kekurangan-kekurangan itu dipadukan untuk tujuannya sama. Aku bertujuan membuat keluarga-keluarga di desaku sejahtera dengan meneruskan peninggalan Kak Ratih. Ibu Dewi yang mengganti Kak Ratih juga bertujuan yang sama tetapi tidak bisa berbuat seperti Kak Ratih, katanya karena ada peraturan yang dikeluarkan oleh Presiden makanya kau sempat dia abaikan. Dari Kak Ratih, Ibu Dewi mengusulkan ke isteri Kepala Desa agar mendudukan aku dalam pengurus Sub PPKBD. Di sini, apa yang aku lakukan akan lebih aman sebab dibawah perlindungan Kepala Desa dan Isteri Kepala Desa, yang Ketua PKK Desa itu.  Aku baru tahu, ternyata Presiden mempengaruhi sampai ke desaku juga. Namun aku tidak perduli, yang penting, aku bisa melakukan pekerjaan yang dulu diberikan oleh Kak Ratih. Hanya saja kali ini, dilindungi Pak Kades dan Ibu Ketua PKK.  

Aku, Rusda, yang lima tahun lalu tamat SMP tidak langsung menikah dan memiliki pekerjaan di desaku. Saat ini, aku sedang menunggu peristiwa yang membahagiakan, dipersunting Abang Adi, mantri Puskesmas Pembantu di desaku yang baru diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil.

Barangkali ceritaku ini bisa diaanggap fiksi. Tetapi yang aku kerjakan dan yang dilakukan Kak Ratih, bukanlah sebuah khayalan.

CERITAK

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...