Jumat, 22 Februari 2013

INGKAR JANJI

Tidak disangka, aku berjumpa dengannya setelah puluhan tahun berpisah. Ada yang berubah dari dirinya. Penampilannya, tidak seperti semasa SMA dulu. Lebih elegan dan berwibawa namun tetap anggun. Hatiku berdesir ketika menatap dirinya. Entahlah, apakah desiran ini sama dengan ketika aku mendekatinya semasa SMA dulu.
" Sendiri saja Her ?!"pertanyaannya membuyarkan kekagumanku saat memandangnya. Aku sedikit tergagap.
" I...i...iya....kebetulan ada undangan kemari ," jawabku sekenanya. Aku benar-benar tidak menyangka bertemu Kinanti. Gadis yang pernah aku incar semasa SMA. Kerap bila berangkat di pagi hari, aku akan duduk di muara gang Bambu Kuning agar bisa barengan dengan adik kelasku itu menuju ke sekolah kami yang tidak terlalu jauh dari gang tersebut. Ada saja alasanku untuk bisa menggodanya. Terkadang aku berdiri tepat di arah pandangnya saat di dalam kelas sedangkan aku sudah istirahat dari pelajaran atau harus ke laboratorium yang tidak jauh dari kelasnya. Aku hanya melambaikan tangan, saat dia melihat ke arahku. Seulas senyumnya itu, membuat aku merasa damai. Bila usai sekolah, aku selalu menunggu tak jauh dari kelasnya, hanya untuk bisa berjalan disisinya. Itu kulakukan dari hari ke hari.

Aku tahu, dia suka latihan paduan suara setiap sore hari di rumah temannya yang tidak jauh dari rumahku. Kerap aku mengiring dia pulang sampai ke perempatan jalan menuju rumahnya. Dia selalu menolak bila mau kuantar dengan motor bebek-ku sebab tidak ingin meninggalkan teman seperjalanannya. Ah, Kinanti.

" Apa kabarnya Her ? Dari tadi melongo aja ,"ujarnya lagi.
" Aku....baik-baik saja Kinan... kamu juga baik saja kan ?" tanyaku bak orang bodoh. Ya jelas-lah perempuan dihadapanku inibaik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik hingga bisa membuatku seperti lelaki kehilangan akal pikiran !
" Aku mendapat undangan dari kantorku untuk menghadiri acara di hotel ini, Her...dan kamu, sedang apa di sini ?" Kinanti memandang ke arahku. sambil memainkan kunci kamar yang baru saja dia terima dari resepsionis. Sayang, aku tidak dapat melihat nomor kamarnya. Andaikata tahu, aku kan bisa..... upsssss, hampir kutepuk jidatku sendiri untuk mengusir pikiran konyol itu, walaupun sekedar mengajaknya ngobrol melalui telpon.
" Workshop kan Kinan ? Aku juga ditugaskan kantorku untuk menghadiri workshop ini," jawabku kemudian. Itu berarti, posisi Kinanti sangat bagus sebab yang diundang hadir di kegiatan yang akan membedah pembangunan di daerah pasca reformasi bukanlah pegawai dari kalangan low manager. Kulihat Kinanti tersenyum tipis.

" Oke deh Her, sampai ketemu di kegiatan ya....pembukaannya ntar malam kan ? Aku agak capek, maklum penerbangan agak jauh...." Kinanti berpamitan, tapi ketika dia melihat aku mengernyitkan dahi, perempuan itu batal melangkah.

" Perjalanan dari Manado ke Jakarta, tidak sama dengan dari Bandung ke Jakarta kan Her ?" ucapnya seolah menjawab kernyitan dahiku. Olalaaaa....dia tahu aku tinggal di Bandung sedangkan aku tidak tahu dia tinggal dimana. 

-------------------------

Workshop itu hanya berlangsung selama dua hari. Tetapi selama dua hari itu, aku tidak bisa mendekati Kinanti sebab ternyata dia selalu duduk di lapisan pertama, golongan high manager. Aku tidak bisa berbuat banyak. Melepas kangen juga tidak mungkin lagi, walau sekedar bercerita. Sampai penutupan workshop, aku tidak punya kesempatan untuk satu meja dengannya. Ini malam terakhir di hotel tempat kegiatan berlangsung. Tentu besok dia akan kembali ke Manado dan sepertinya, Kinanti juga tidak berusaha untuk menemui aku. Apakah dia menaruh dendam terhadapku ? 

Aku ingat, menjelang aku meninggalkan Banjarmasin untuk kuliah ke Bandung, aku pernah menemuinya di suatu tempat di sekolah. Saat berdua itu, aku meminta Kinanti untuk berjanji, bersedia menunggu sampai aku selesai kuliah di Bandung kemudian mempersuntingnya menjadi pendamping hidupku.

Saat itu, Kinanti mengatakan bahwa untuk menyayangi aku dan setia kepadaku itu bisa dipastikan sebab itu keluar dari hatinya. Tetapi untuk memastikan bahwa aku akan menjadi pendamping hidupnya, itu mustahil untuk dipastikan sebab hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di masa depan.

Sebenarnya, jawaban Kinanti cukup tegas dan benar. Tetapi, ego-nya aku meminta kepastian dari dia bahwa jawaban yang kuharapkan adalah "iya". Kinanti tetap dengan jawaban itu. Sesudah tamat SMA, aku berangkat ke Bandung. Tidak ada kontak diantara kami. Aku pernah sekali menerima surat dari Kinanti yang menanyakan kabarku. Tetapi, karena kesibukan di awal-awal kuliah, surat itu tidak aku balas. Bahkan, menjelang ujiannya di kelas 3, Kinanti juga menulis surat yang meminta pendapatku sebaiknya dimana dia kuliah. Aku tahu, Kinanti banyak peluang untuk melanjutkan pendidikan. Selain orangtuanya yang mampu, otak gadis itu juga lumayan cerdas. Aku tidak juga membalas suratnya. Dari Reres adikki, aku tahu Kinanti setamat SMA melanjutkan kuliah di Surabaya.

Sebenarnya, pernah sekali aku bertemu Kinanti di Banjarmasin ketika kami sama-sama libur kuliah. Aku sempat ke rumahnya untuk bertemu, tetapi terlambat sebab Kinanti hanya mengambil liburan beberapa hari saja. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sampai saat ini.

Aku agak kaget ketika bahuku ditepuk dari belakang.

" Melamun Her ? Aku perhatikan dari tadi, rokok kamu ngepul terus nggak da berhentinya ," suara Kinanti memecahkan gelembung-gelembung lamunanku. Aku tersenyum dan mempersilahkannya duduk satu meja dengan ku. Ruangan lobby hotel ini memiliki banyak sofa yang bisa dijadikan tempat santa-santai. Aku duduk agak di pojok. Tetapi bisa melihat ke segala arah.

"Aku tadi ada di belakang kamu....asyik ngobrol sama Wendy, teman satu kuliah yang tinggal di Banajrmasin sekarang.....kapan kembali ke Bandung Her ?" 

" Besok sore, kamu kapan ke Manado-nya Kinan ?"
" Besok subuh. Aku nggak bisa lama-lama di Jakarta sebab Mas Wid akan berangkat ke daerah dan kami bergantian menjaga anak-anak," jawaban Kinanti sebenarnya mengecewakanku. Aku sebenarnya bisa saja pulang pagi, tengah hari atau malam ini sekalipun. Tetapi sengaja kukatakan sore dengan harapan Kinanti juga sore hari sehingga kami punya waktu buat ngobrol.

"Suaminya kerja dimana Kinan ?" jiaaaaahhh pertanyaanku konyol sekali sebab jelas ada cemburuku di situ.
" Suamiku cuma manager marketing di perusahaan kecil Her. Tapi alhamdulillah, dia pengertian banget terhadap karierku jadi aku bisa seperti ini," ucapan Kinanti sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi entah kenapa, aku sedikit merasa tersodok mendengar pujiannya terhadap lelaki yang disebutnya "suamiku" itu. Apakah kalau aku menjadi suaminya seperti janjiku dulu, tidak akan melakukan hal yang sama dengan lelaki itu ?

" Kamu tahu Her, aku dan Mas Wid menikah baru berjalan sembilan tahun. Anak kami yang tertua baru kelas tiga es de dan yang kecil masih te ka.....aku emang telat menikah sebab aku kira seseorang yang pernah meminta kesetiaanku benar-benar mengharapkan kesetiaan dari aku. Ternyata, dia sudah menikah dan punya anak dari teman sekampusnya. Dan aku baru tahu setelah aku menyelesaikan kuliah di Surabaya......tetapi aku sangat beruntung lelaki itu ingkar dengan janjinya.... walau aku rugi waktu karena sia-sia menjalankan kesetiaan....ternyata Tuhan memberikan aku suami yang sangat pengertian, begitu melindungi dan pemberi semangat bagi diriku.....jadi, kesia-siaan itu sudah terbayar Her...." ucapan Kinanti tidak lagi menyodok hatiku melainkan mencincangnya menjadi berkeping-keping. Aku tidak dapat mengatakan satu patah katapun.

"Maaf Her, barangkali kamu baru menyadari sekarang bahwa aku tetap setia dengan janjiku tetapi aku tidak bisa setia pada orang yang sudah mengikat janji setia dengan perempuan lain. Terus terang, pertemuan seperti ini sangat aku harapkan sebab aku hanya ingin mengucapkan, terima kasih karena kamu sudah ingkar janji sehingga aku bertemu dengan seorang yang kesetiaannya tidak kuragukan......salamku untuk isteri dan anakmu Her....semoga selalu bahagia," kali ini aku tercekat sebab Kinanti mengucapkan semua kalimat itu dengan santainya, kemudian berdiri dan menepuk pundakku lalu berjalan menjauh. 

Aku tercenung.
Semuanya kemudian tersibak kembali. Bagaimana sampai akhirnya aku menikah dengan Yulia, anak Kepala Kantor tempat aku bekerja. Karierku di kantor ini, bukan karena usahaku sendiri melainkan ada peran besar mertuaku. Rumah tanggaku tampaknya memang bahagia, namun orang-orang tertentu akan tahu betapa rapuhnya kebahagiaan yang kubangun.

Kinanti begitu bersyukurnya sebab aku ingkar janji terhadapnya. Itu berarti, dia sudah menemukan jalan hidup yang terbaik untuk dirinya. Sedangkan aku ? Sampai beberapa saat lalu masih berharap bisa meluangkan waktu bersama seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa remajaku dan melupakan Yulia isteriku, melupakan Rizqy puteraku.

-------------------------------------------

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...