Minggu, 04 Agustus 2019

PENASARANKU

Something Happened in Sampit on 1985


Saat itu baru sekitar setahun kami berdomisili di Sampit karena Bapakku pindah tugas. Bapak dapat rumah dinas di kompleks perumahan Angkatan Darat di jalan Gatot Subroto. Kompleks itu cukup luas, terdiri dari beberapa barak. Sebelah Timur agak ke Utara adalah barak para Bintara dan Tamtama sedangkan di sebelah Timur persis barak Tamtama dan Sipil. Sedangkan di sebelah Barat barak untuk Kompi Pleton A. Bapak dapat rumah di barak Perwira. Kompleks perumahan Angkatan Darat tempat tinggal kami adalah kompleks perumahan tua. Konon barak-barak itu peninggalan tentara Belanda. Barak Sipil dulunya adalah rumah sakit sehingga tidak heran, hanya beberapa meter di sebelah Timur nya adalah kompleks kuburan muslimin. 

Rumah Dinas yang kami tempati adalah rumah kopel yang terdiri dari satu bangunan dengan dua pintu namun rumah disamping itu tidak pernah ditempati siapapun. Karena tidak seorangpun mau menjadi tetangga kami maka rumah disamping itu dijadikan sanggar tempat para remaja berkumpul untuk melakukan kegiatan kesenian seperti latihan keroncong, vocal group dan lainnya. Namun ramainya rumah di sebelah kami hanya hari Sabtu dan Minggu saja. Selebihnya, rumah itu sepi sekali. 

Sampit sendiri di tahun 1985 adalah kota sepi bila dibandingkan Banjarmasin tempat kami tinggal sebelumnya. Kesepian itu menjadi semakin terasa sebab kepindahan Bapak menyebabkan Bunda juga memiliki kegiatan yang lumayan banyak. Sebenarnya Bapak dan Bunda tidak pernah melarang aku untuk bergaul dan mengundang teman ke rumah agar tidak kesepian. Namun itu tidak pernah kulakukan. Aku lebih suka membeli buku dan majalah setiap minggunya. Bahkan aku malah menyibukkan diriku dengan pekerjaan rumah.

Apalagi saat kelas 1 SMA itu sekolah kami sedang diperbaiki sehingga anak-anak kelas 2 dan 3 masuk pagi dan kami masuk siang. Benar-benar sempurna kesepian dalam hari-hariku. Sebenarnya Bunda memiliki pembantu, tetapi kalau pembantu itu datang dan Bunda berangkat untuk kegiatan organisasi-nya, si Bibi aku suruh pulang. Aku yang mengerjakan pekeraan rumah mulai dari menyapu, ngepel lantai, cuci piring, memasak dan cuci pakaian.

Aku punya petunjuk jam sendiri untuk penyelesaian pekerjaan rumah itu. Bila pukul delapan yang lewat adalah truck yang mengangkut tentara-tentara muda dari Kipan A menuju ke arah Timur. Saat itu aku sudah selesai mengepel lantai. Sedangkan bila pukul sepuluh, saat aku mencuci pakaian ditandai dengan lewatnya lori di belakang rumah kami yang mengangkut serbuk limbah gergajian dari PT. Inhutani III yang berada di tepi Sungai Mentaya di buang ke Pasir Putih di sebelah Barat. Sedangkan sekitar pukul setengah dua belas saat aku harus mandi dan siap berangkat sekolah adalah teriakan penjual bubur yang berteriak buuur...buuur diikuti suara adzan shallat dzuhur. Rutinitas terus aku lakukan sampai akhirnya Bibi berhenti dan alih profesi jadi penjaja sayur keliling. Weleeeh....

Sampai pada suatu ketika, aku sendirian di rumah ditemani lagu-lagu dari ABBA menyelesaikan pekerjaanku. Beres, tinggal mencuci pakaian. Saat aku mulai menarik baskom besar berisi cucian kotor, aku mendengar suara....gedubraaakkkk !!! Semula kupikir baskom yang kutarik pecah, maklum Bapak baru pulang dari Koramil-Koramil jadi baju dinas yang tebal dan berat itu memenuhi baskom pertama yang baru kutarik. Namun aku tidak melihat air luber sebagai tanda baskomnya pecah. 

Aku berdiri dan masuk ke dalam. Ternyata, buku-buku koleksiku dari rak yang menempel di dinding sudah berhamburan di lantai. Kupungut buku itu satu persatu dan menyusunnya di rak itu kembali. Setelah rapi, aku kembali ke pekerjaanku yang tadi tertunda. Baru juga “mengucek” dua stel pakaian Bapak tiba-tiba terdengar lagi suara .....gedubraaakkkk !!! Pikiranku langsung tertuju pada buku-bukuku. Aku diam sejenak. Bukankah ini sudah lebih dari pukul delapan....berarti tidak ada truck Kompi A yang lewat. Jalan di kompleks perumahan kami memang terbatas dan tidak diperkenankan truck umum melaluinya. Aku masuk kembali ke ruang tengah dan ternyata benar.....buku-bukuku berhamburan lagi. Kupungut lagi dan kususun lagi. Ketika aku kembali ke belakang untuk melanjutkan mencuci, lori lewat dengan suara-nya yang khas. Aku sejenak berdiri memperhatikan lori itu....kemudian duduk dan melanjutkan pekerjaan. Selesai pada baskom yang pertama, memasuki baskom kedua terdengar lagi bunyi.........gedubrak dan aku tahu itu buku-bukuku yang berhamburan. Lori yang lewat tadi baru kembali sejam berikutnya. Sadar bahwa tidak ada sesuatu yang bisa mengakibatkan dinding rumah kami bergetar sehingga buku-buku itu jatuh dan berhamburan, serta merta aku masuk ke dalam. Aku berdiri sejenak dan kemudian memungut lagi buku itu satu persatu, sambil menyusun ke rak aku berucap,

“ Eh, aku cape’ kalo di suruh terus-terusan ngerapiin nih buku...tau enggak pekerjaan aku banyak jadi kalo mau main-main jangan sama aku..... Kalau buku ini berhamburan aku ndak mau lagi menyusunnya..... paham ?!”

Entah siapa yang kuajak bicara saat itu, hanya feeling saja bahwa aku harus mengatakan itu sebab kenyataannya aku memang capek kalau harus bolak-balik hanya untuk menyusun buku yang berhamburan. Huwallahua’lam bishshawab......apa memang ada yang mendengar kata-kataku sebab kemudian tidak terdengar lagi suara gedubrak dan tidak ada lagi buku berhamburan sampai dengan aku mandi dan shallat dzuhur. 

Aku tidak menceritakan kepada Bapak dan Bunda tentang kejadian “unik” tersebut, sampai ada kejadian selanjutnya.

Sampit memang sepi, kesepian itu makin terasa bila malam hari. Keramaian di kompleks kami hanya berlangsung sampai usai shallat Isya. Sesudah itu hanya terdengar suara canda dari rumah-rumah tetangga baik di depan, di kopel samping kiri maupun samping kanan. Bila sudah pukul sembilan malam, yang terdengar hanya suara televisi sedang suara canda-tawa sudah tidak ada lagi. Kalau jam menunjukkan pukul sebelas, hanya suara jangkrik, cit-cit kelelawar dan karariang (bahasa jawa “gareng”) yang terdengar. 

Rumah yang konon dibangun oleh Belanda ini dindingnya rapat sekali sebab menggunakan papan ilat sehingga tidak ada celah di antara papannya. Sedangkan jendela dengan susun sirih tidak memungkinkan aku untuk bisa mengintip. Padahal aku ingin mengintip !!!! Ahhhh …..

Pada tahun 1985 itu, becak adalah angkutan utama di Sampit. Bunda punya tukang becak langganan yang sering mengantar ke pasar atau pergi ke kegiatan-kegiatannya. Becak langganan Bunda ini cukup seru. Bagian belakangnya terdapat antene yang bergoyang-goyang saat becak berjalan. Antene itu diberi bunyi-bunyian dalam jumlah yang banyak dan sehingga kalau becak berjalan, antene-nya bergoyang akan menimbulkan bunyi gemerincing yang ramai sekali. Khas-nya becak Matdali (nama tukang becaknya). Krincang...krincing... krincang... krincing... krincang...krincing.....aku kadang membayangkannya seperti penari “ngremo” yang kakinya di beri “krincing-krincing” sehingga setiap goyangan penari itu menimbulkan bunyi dibarengi gerak yang eksotis. 

Bunyi itu, berulangkali membuat aku terbangun dari tidur. Gemerincing mainan di becak Matdali !!!! Yang membuat aku penasaran.....gemerincing itu selalu terdengar lewat jam dua belas malam dari arah Timur menuju Barat. Suara gemerincing itu akan terdengar sampai jauh sekali dan berakhir di Jembatan Putih. Ciri dari jembatan yang terbuat dari papan ulin tebal itu sangat aku kenal.....sebab beberapa papan di antaranya tidak diberi paku hingga menimbulkan hentakan yang keras. Gludak...gludak...gludak!!!! Gemerincing becak itu kadang berhenti di situ. Namun ada kalanya langsung hilang terbawa angin. 

Aku penasaran, dengan suara gemerincing becak Matdali. Tetapi malam ini, aku tidak akan penasaran lagi sebab aku sudah menyiapkan lubang kecil untuk mengintip ke arah jalan yang dekat dengan jendela kamarku. Hampir sebulan aku membuat lubang kecil itu setiap hari dari jepit rambut.

Ini malam ketiga aku berniat menunggu becak Matdali lewat sesudah lubang itu jadi. Aku akan menggoda Matdali bila ketahuan tengah malam baru pulang menarik becak. Matdali yang berperawakan tinggi kekar itu bahasa Madauranya kental sekali padahal dia belum pernah menjejakkan kaki ke Madura tempat nenek moyangnya berasal sebab dia lahir dan besar di Sampit. Dia pernah bilang dalam bahasa campuran Madura – Banjar dengan logat Madura-nya kepada Bunda,

“ Engko’ ta’ kan kejar setoran buk....so’ale becak punya engko’ sorangan jadi engko’ nyari duit nda’ lu perlu mpe’ sampe malam narek becak ta iye.....” (saya tidak mengejar setoran bu, karena becak punya saya sendiri jadi saya nyari duit tidak perlu sampai tengah malam menarik becak....ya kan)

Aku tertawa dalam hati, malam ini kebohongan Matdali terbongkar. Rupanya disaat menunggu itu aku ketiduran dan terbangun ketika dari kejauhan terdengar suara yang sangat aku kenal. Kena kau, Matdali....pikirku. 

Bermodal ukuran pendengaran saja, saat becak kurasa dekat dengan rumahku dengan serta merta aku memasang mata dan mengintip keluar......suara gemerincing itu terdengar jelas sekali, namun ketika mataku kulebarkan hanya melihat hitam yang pekat....................

Telingaku menangkap suara adzan, barangkali sudah subuh. Aku membuka mata perlahan kemudian terdengar suara “Alhamdulillah”. Suara dari beberapa orang yang tak jauh dariku. Waduh, habis sudah waktu shallat subuh....aku menggumam dalam hati dan berusaha untuk bangun. Namun badanku terasa dingin dan.....bajuku basah ! Kuusap wajahku....basah juga.....aku menoleh ke arah kiri, Bunda memegangi kepalaku dengan mata tertutup dan berlinangan air sedang bibirnya bergerak

“ Nak....bisa duduk ?” sebuah suara terdengar dari arah kakiku. Bapak memegang kakiku dengan tangannya yang kekar. Terasa sedikit kencang. Aku berusaha duduk. Serta merta Bapak mendekat di sisi kanan sedang Bunda memperkeras ayat Qursyi-nya di telingaku. Aku yang memang menyukai baca-an itu sejak kecil dengan mudah mengikutinya. Aku lihat tetanggaku ada semua dalam kamar tempat tidurku. Mereka tersenyum. Mungkin mereka senang karena aku ikut membaca ayat Qursyi itu. Tapi aku tidak habis mengerti, ada apa denganku ? Bapak memberiku air putih, rasanya segar sekali di kerongkonganku.

“ Apa yang kamu kerjakan malam tadi heh.....?” Bapak menanyaiku dengan nada suaranya yang khas kalau sedang tidak senang dengan perbuatanku yang tidak benar. Aku duduk menatap wajah Bapak. Kukira Bapak akan meneruskan dengan kata-kata yang diserta amarah tetapi kemudian kulihat gurat senyumannya.....

“ Apa yang kamu kerjakan malam tadi, membuat badan kamu panas seharian jadi kamu tidak sekolah juga tidak mengerjakan apapun seharian ini dan sore tadi kamu marahin Bapak.......gara-gara Oom Parno datang ke rumah....,” ujar Bapak kemudian.

Aku menoleh ke arah Bunda. Bunda tidak bicara apa-apa. Kepalaku direngkuhnya dan diletakkan ke dada sehingga aku bisa mendengar detak jantung Bunda. Ah kacau....ada apa ini ?

“ Iya Nak.....kamu teriak-teriak mengatakan lidah Om Parno mengerikan, panjang, merah dan ada apinya......terus Bapak....nih juga Om Parno kamu marah-marahin soalnya sering membiarkan kamu sendirian......” Om Parno staff  Bapak yang berujar sembari tertawa terkekeh-kekeh. 

Aku tersenyum kecut. Tiba-tiba dari arah belakang, aku merasa dingin menjalari ubun-ubun hingga ke tubuhku.. Aku tengadah dan kulihat seorang tua sedang menuangkan air di kepalaku. Air...aiiiir oooooo baru aku sadar... aku menarik nafas panjang..... lalu saat berikutnya aku ceritakan tentang buku yang berhamburan dan penasaranku atas bunyi gemerincing becak Matdali !!! Seusai bercerita, aku disiram sekali lagi dan itu yang terakhir. Diiingiiiiiin…..dan basah !!!!!

Sejak kejadian itu, dinding rumah yang membatasi dengan rumah kosong di sebelah di bongkar Bapak sehingga rumah kami menjadi sangat luas. Pekerjaan rumahku makin tambah. Aku justru tidur di kamar “bekas” rumah kosong. Lucunya, bila terbangun tengah malam aku kadang masih mendengar suara gemerincing becak kadang juga mendengar suara nafas orang tidur nyenyak di bawah jendela kamarku...di luar.....padahal jarak antar rumah satu dengan yang lain sekitar 10 meter.

Subhanallah.....Allah memang menciptakan alam itu ada dua........nyata dan tidak nyata. Aku mengamini adanya dua alam yang diciptakan Allah secara sempurna untuk mengingatkan kita agar senantiasa dekat dan mendekat kepadaNYA. 

Apakah facebook dunia nyata ? TIDAK sebab kita tak pernah berjumpa secara fisik dengan orang yang kita jadikan teman. 
Apakah facebook dunia tidak nyata ? TIDAK, sebab dialog itu nyata, walau nama-nama yang tertera kerap tidak asli atau sebenarnya tetapi “orangnya” ada dan setiap perbuatannya dilakukan oleh tubuh kita yang kasat mata (riil). 

YANG TIDAK NYATA DAN BENAR-BENAR MAYA WALAUPUN TAMPAKNYA ADA ADALAH HASIL PEMBUKTIAN DARI PENASARANKU YAITU......SUARA BECAK DAN PENGENDARANYA YANG TERNYATA.............. TANPA KEPALA !!!!!!!! Psssssssssttt....bagian ini tidak pernah kuceritakan pada Bapak (almarhum) dan Bunda.....

CERMIN

Ini terjadi pada hari Senin tanggal 11 Januari 2010

Setelah selesai berhias dengan bantuan cermin-cermin kecil yang ada diperlengkapan make-up, aku berdiri dan mematut diri di depan cermin besar. Wow !!!! Ada yang aneh pada wajahku di cermin itu. Terlihat lebih bagus dari biasanya. Hmmmmmmm... aku bukanlah seorang perempuan cantik seperti artis ibukota. Tetapi wajahku memang agak beda. Maaf....aku memang terlihat lebih cantik dari hari biasanya.

Tentu saja aku bingung. Kudekatkan wajahku di cermin.....memang terlihat cantik. Aku agak menjauh dari cermin.....tetap terlihat cantik. Hey...ada apa dengan wajahku ? Kupandang sekali lagi wajahku di cermin.....so beautifull. Ah....sudahlah bagus juga kalo memang dandananku kali ini membuat aku terlihat cantik. Aku harus segera ke kantor karena hari ini apel pagi dan ada rapat dengan ibu-ibu Tim Penggerak PKK Propinsi.

Saat menemui gadis kecilku untuk berpamitan, tanpa sengaja aku melihat wajahku di cermin yang ada di kamarnya......Ya ampun.....ga’ salah lihatkah aku ? Aku bukannya terlihat cantik melainkan seperti udang yang baru diangkat dari kuali. Serba merah !!! Kudekatkan wajahku ke depan cermin yang ada di kamar gadis kecilku..... Hihihi.....ga’ cuma warna mukaku yang kayak udang di rebus, melainkan lipstick yang kupakai tidak cocok dengan warna riasan di wajahku. Alhasil aku menyimpulkan riasanku pagi ini...amburadul !!!! Bahkan Bundaku menertawakan dandananku pagi ini.

Aku ga’ jadi pamit ke gadis kecilku....melainkan menuju kamar anakku yang sulung, karena di situ juga ada cermin besar. Waaaaooowww...... wajahku benar-benar amburadul...... Ada yang salah dengan dandananku hari ini rupanya. Akhirnya aku kembali ke kamarku, dan berdiri di depan cerminku sendiri.....koq tampaknya fine-fine aja gitu loh....... Lantaran dua cermin “berkata” mukaku amburadul maka aku bersihkan wajahku dan memulai berhias lagi. Tidak memakan waktu lama karena aku memang tidak suka berhias yang terlalu berlebihan.....aku selesai.

Mematut sekali lagi di cermin dalam kamar anakku.........kemudian pamit pada Bunda dan gadis kecilku. Ketika Acil (Bibi’ / pembantu di rumah kami) berpapasan denganku di pintu kamar, dia kelihatan terkejut melihat aku masih di rumah karena memang biasanya aku sudah berangkat ke kantor ketika dia datang.

“ Ibu........ belum berangkat ke kantor bu ?” tanyanya keheranan.
“ Iya belum.....soalnya aku mesti mengulang dandan nih Cil. Lucu aja, dandan pertama kelihatan baik-baik dan cantik di cermin kamarku...eh waktu lihat di cermin anakku ternyata dandananku amburadul” jawab aku sambil mengambil kunci kontak.

Jam sudah menujukkan pukul tujuh lebih empat puluh lima menit. Jelas, aku sudah terlambat untuk apel pagi. Untung rapat dengan Ibu-Ibu Tim Penggerak PKK dijadwalkan pukul sembilan.

“ Maaf Ibu.....cermin di kamar Ibu belum sempat Ulun (saya) bersihkan kemarin soalnya cairan pembersih kacanya habis.....” sahut si Acil sambil mendahului langkahku sebab dia akan membukakan pintu pagar.

Ups........langkahku terhenti. Bundaku yang berada di teras senyum di kulum mendengar kata-kata Acil. Kata-kata Bundaku yang kemudian terngiang-ngiang selama perjalanan menuju kantor.

“ Saat kamu melihat dirimu di cermin yang tidak bersih...... kamu terlihat cantik, bagus, tanpa cacat dan tanpa cela.....padahal sebenarnya wajah kamu saat itu amburadul..... Bayangkan kalau cermin itu adalah hati kamu sendiri..........”

Kata-kata Bunda mengingatkan aku saat masih berada di jaman jahiliyah karena belum mengenakan jilbab. Kasusnya hampir sama namun saat itu Bapak yang menegur aku sebab ternyata lampu kamarku mati sehingga dalam suasana temaram aku berdandan. Akibatnya ya seperti dakocan yang habis dandan.... Bunda Cuma bilang,

“ Dalam keadaan temaram, segala sesuatu di depan cermin nampak bagus dan sempurna.....padahal dalam keadaan terang benderang.....tahi lalat kecil pun akan nampak....Bayangkan kalau cermin itu adalah hati kamu sendiri,”

Aku punya dua catatan untuk kasus yang sama bahwa bayangan kita di cermin akan nampak bagus, cantik, indah dan sempurna saat sekitar kita temaran karena kurang cahaya. Selanjutnya, walau ada cahaya.....hal itu akan terjadi lagi bila cerminnya tidak pernah dibersihkan.

Seandainya cermin kotor itu hati kita..........MAKA APA YANG KITA LAKUKAN SEPERTINYA BAGUS DAN SEMPURNA PADAHAL SEBALIKNYA. KOTORNYA HATI KARENA KITA TIDAK PUNYA CAHAYA YANG CUKUP UNTUK MENERANGI DAN JUGA KARENA KITA LUPA UNTUK SELALU MEMBERSIHKANNYA.

Jadi sering-seringlah bersih hatimu dengan istighfar dan dzikrullah.

GUBUK BAMBU DI TENGAH GOSONG

Akhirnya kuputuskan ikut Bunda, berangkat ke Kuala Pembuang besok pagi. Sepertinya jenuh juga melihat dan menghitung angka-angka dari penelitian untuk skripsiku. Bapak sudah setahun ini bertugas di Koramil Kuala Pembuang (Sekarang jadi Ibukota Kabupaten Seruyan di Propinsi Kalimantan Tengah). 

Menuju ke Kecamatan Kuala Pembuang bisa di tempuh dengan tiga jenis angkutan. Pertama jalan udara dengan menggunakan pesawat jenis Cassa yang bermuatan 24 orang sekitar 50 menit. Kedua menggunakan jalan darat melalui Danau Sembuluh yang kemudian diteruskan dengan klotok (perahu bermesin) menuju ke hilir sekitar 3 (tiga) jam. Dan terakhir jalur air yakni menggunakan speedboat atau longboat menyisir Laut Jawa untuk masuk ke Sungai Seruyan memakan waktu 6 jam. Aku sudah pernah ke Kuala Pembuang liburan semester tadi tetapi menggunakan pesawat. Kali ini aku bilang pada Bunda ingin menggunakan speedboat. Bunda setuju dan itu berarti, kami harus siap sekitar pukul enam pagi.

Tidak ribet untuk mendapatkan tumpangan speedboat, apalagi armada speedboat itu milik teman Bunda yang sama-sama aktif di Organisasi Gabungan Wanita Kabupaten. Tarif-nya tidak terlalu mahal, dua puluh lima ribu satu orang. Aku dan Bunda sudah sampai di dermaga speedboat kurang lima belas menit dari pukul enam pagi. Hari ini kami menggunakan longboat sebab penumpangnya agak banyak. Longboat diawaki dua orang yakni motoris yang pegang kemudi dan pengendali mesin yang selalu menempel di mesin longboat. 

Tepat pukul enam longboat mulai melaju menyisiri sungai Mentaya. Aku baru mengerti, kenapa harus sudah berangkat sebelum pukul enam. Ternyata perjalanan ini menuju ke arah matahari terbit sehingga akan mengganggu penglihatan driver nya. Aku dan Bunda berada pada posisi paling belakang, dekat dengan mesin longboat.

Setelah menyisir Sungai Mentaya, longboat berbelok ke arah kanan dan terlihatlah bentangan pantai yang panjang dan lebar. Pantai Ujung Pandaran. Aku belum pernah ke pantai itu, walau beberapa kali ada kesempatan untuk wisata ke daerah itu tetapi Bapak tidak pernah mengijinkan aku untuk ikut. Menurut ceritanya, Pantai Ujung Pandaran adalah daerah yang “baru dibuka” untuk kegiatan wisata sehingga masih sangat alami dan banyak cerita mistis di situ.

Aku memandang hamparan pasir Pantai Ujung Pandanran yang terkena sinar matahari…..mungkin karena masih bersih jadi menyilaukan sekali. Setelah melewati Ujung Pandaran, masih ada hamparan pasir yang juga pantai namun tidak seluas Ujung Pandaran dan beberapa meter dari pantai itu terdapat dinding batu. Aku melihat seperti pantai dengan pagar yang bagian atas pagar itu ditumbuhi rumput-rumput juga pepohonan perdu. Indah sekali !!!

“ Itu Tanjung Silap…..,” sebuah suara memberitahukan aku nama pantai yang begitu indahnya. Ternyata pengendali motor longboat yang bersuara. Mungkin dia memperhatikan aku yang menatap ke arah pantai tanpa berkedip. Ups…bagaimana dia tahu kalo aku tidak berkedip sedangkan aku pake kacamata hitam biar tidak silau. Hihhi…. 

Tanjung Silap sebenarnya lebih “cantik” daripada Ujung Pandaran tetapi mustahil untuk dijadikan obyek wisata. Pantai-nya berada di bawah dinding batu yang kuperkirakan tingginya duapuluh meter lebih. Satu-satunya akses menuju pantai itu ya harus menuruni dinding batu dulu. Menurut perkiraanku, Pantai di Tanjung Silap ini selain tidak punya akses untuk dikunjungi juga tingkat keamanannya sulit di tebak terutama bila musim air tinggi, bisa jadi pantai itu tertutup air laut.

Pemandangan di Tanjung Silap berganti. Sepertinya Longboat menjauhi pantai sebab berikutnya aku hanya melihat jejeran tumbuhan setinggi batang korek api dan deburan ombak yang jauh sekali. Ternyata tidak…….si pengendali mesin longboat itu kembali menjadi guide-ku menjelaskan bahwa Tanjung Silap memang memiliki lekukan yang tajam ke dalam pulau. Itu sebabnya disebut Tanjung (Daratan yang menjorok ke laut). Uhuuuy….palajaran ilmu sosial-ku emang cepak banget kali. Atau karena terpesona melihat keindahan tepi pulau dari Laut Jawa sehingga aku jadi telat mikir (telmi)..hehehe.

Longboat kembali melaju. Tidak berapa lama, kami sampai di sebuah tanjung lagi. Kali ini tanpa pantai melainkan jejeran pohon kelapa dengan suaranya yang riuh rendah di tingkahi deburan ombak. Andaikata ada seniman yang ikut bersama kami, barangkali akan tercipta sebuah lagu yang sangat cantik dan indah. Kembali mataku beradu dengan tatapan pengendali mesin longboat. Ya Tuhan…….jauhkan aku dari perasaan gedhe rumangsa terhadap “penguasa” mesin Longboat ini. Orang itu kembali tersenyum dan menunjuk ke depan.

“ Itu namanya Tanjung Kalap…..” ujarnya kemudian. Aku tidak menyahut, hanya bibirku membentuk huruf O. Bunda yang duduk di samping mencubit pahaku. Aku menoleh dan tersenyum yang kalau diterjemahkan ke dalam kalimat menjadi weleeeeh… Bunda anakmu ga’ akan bergenit-genit koq….. Pemandangan di Tanjung Kalap itu benar-benar indah namun di dalam bathin aku ada sedikit debaran…wow. Ini berdebar karena pandangan pengendali mesin itu ataukah karena suara riap daun-daun kelapa dari kejauhan dan suara deburan ombak.

Tengah asyik merasakan “keanehan” bunyi ombak yang jauh sekali, tiba-tiba longboat berhenti. Aku melihat badan longboat mendarat di sebuah pantai. Ups…kebetulan sekali….aku kebelet nih. Bunda dan aku minta ijin untuk buang air kecil dulu di pantai mumpung speedboatnya menyandar. Pengendali mesin itu mengernyitkan dahi lalu mengijinkan dengan catatan jangan lama-lama sebab mengejar waktu, takut kemalaman sampai di Kuala Pembuang.

Aku dan Bunda turun dengan membawa satu botol air mineral. Kulihat dua orang penumpang lainnya juga turun menyisir pantai itu. Kami menemukan sebuah gubuk yang terbuat dari jalinan bambu dengan atap dari daun nipah (enau). Di sekitar gubuk itu di tumbuhi tanaman menjalar sejenis kacang, yang merayap ke salah satu pohon kelapa yang ada di dekat gubuk itu. Setelah melihat penumpang lain buang air kecil jauh dari kami, Bunda menyuruh aku dulu kemudian bergantian. Di saat menunggu Bunda buang air kecil, aku sempat melihat ke sekeliling secara seksama. 

Jauh di seberang pantai di sebelah kananku ada sebuah kapal besar yang sedang berlabuh. Sedang di sisi sebelah kiri aku melihat hamparan warna hijau dari tumbuhan. Sedang suara deburan ombak benar-benar membelah kesunyian di pantai itu. Begitu Bunda selesai buang air kecil, kami bergegas kembali ke longboat yang menyandar di tepi pantai. Pengendali mesin membantu Bunda naik kemudian membantu menaikkan aku juga. Beberapa saat setelah aku dan Bunda berada di dalam longboat, kendaraan air itu bergoyang-goyang menjauhi pantai. Padahal mesin longboat itu belum dihidupkan. Pengendali mesin longboat memandang dan tersenyum ke arah aku. Aje gile….kenapa nih sang pengendali mesin…..mati aku kalo dia naksir aku heheeee…. Tiba-tiba kudengar “guide” ku ini bersuara,

“ Untung cepat naik ke longboat….kalau tidak….” pengendali mesin longboat itu menghentikan kalimatnya 
“ Kalau tidak kenapa ?” tanyaku penasaran.
“ Kita tadi terdampar di gosong. Tempat Ibu dan kamu buang air kecil tadi bukan pantai melainkan sebuah gosong yang timbul karena air laut sangat surut. Begitu air laut kembali naik….gosong itu akan tenggelam….,” lanjutnya kemudian sambil menoleh ke arah dimana longboat tadi menyandar. 

Aku ikut menoleh, begitu juga dengan Bunda. Tidak ada lagi hamparan pasir di situ melainkan air laut yang bergelombang.

“ Kita menghentikan mesin biar longboat tidak terbalik sebab sering terjadi gosong muncul tiba-tiba dan karena kecepatan tinggi menabrak gosong lalu longboat terbalik. Saat ini kita masih berada di tempat berhenti tadi, belum bergeser sedikitpun…..tapi gosong itu sudah hilang…nah andaikata tadi tidak cepat naik…barangkali kalian sudah tenggelam bersama gosong tadi ,” kalimat terakhir dari pengendali mesin itu membuat sekujur tubuhku membeku. 

Bunda menggamit tanganku. Subhanallah nyawaku tadi sebenarnya sedang diujung tanduk. Kalau gosong itu muncul tiba-tiba lalu tenggelam secara tiba-tiba pula…..berarti gubuk yang ada di gosong itu ……. Aku memandang ke arah Bunda. Bunda memberi kode agar aku tutup mulut.

Sampai sekarang, gambaran gubuk di gosong dengan segala pemandangannya masih melekat dalam ingatanku. Aku tidak bisa menjawab, gubuk siapa yang ada di gosong yang muncul dan tenggelam secara tiba-tiba itu ?

(Disaat berikutnya ketika ada berita pesawat bouroq yang hilang di wilayah Sampit, aku membayangkan pesawat yang terbang dalam cuaca buruk itu mendarat di “pantai” yang sebenarnya adalah sebuah gosong………..dan penumpangnya turun…beristirahat di dalam gubuk itu……who knows ????)

Sabtu, 03 Agustus 2019

HMMMMMMMMM SIAPA TAKUT

Makan malam baru saja usai. Aku melangkah menuju loby hotel ketika teman se-kamar datang dan menggamit tanganku.

“ Mbak, bisa enggak ya, kalau kita se-kamar empat orang, “ katanya kemudian setelah kami agak menjauh dari teman-teman yang duduk di sofa yang ada dalam ruangan loby. Aku menatap ke arahnya.

“ Begini Mbak…dua teman kita tadi sewaktu naik taksi dari bandara diberi tahu oleh supir taksi-nya bahwa ini hotel tua sekali dan banyak penghuninya….mereka takut soalnya si penghuni sering menampakkan diri walaupun tidak menakut-nakutin…,” ujarnya beberapa saat kemudian.

Aku menarik nafas disertai seulas senyum kutujukan padanya.

“ Mbak…itu mungkin persaiangan hotel atau armada taksi…ingat enggak waktu kita naik taksi dari bandara tadi…supir-nya mengatakan bahwa hotel yang kita inapi ini tidak menyediakan armada taksi…berbeda dengan hotel lain seperti yang disebutkannya….,” ujarku mengingatkan.

Temanku itu mengangguk. Aku berharap teman se-kamarku ini tidak termakan cerita negative mengenai hotel ini karena ini baru malam pertama dan kami masih tiga malam lagi berada di hotel ini ! Alhamdulillah kalau kemudian kami sepakat tetap tidur sesuai dengan reservasi awal, setiap kamar berdua. Sekitar pukul Sembilan kami kembali ke kamar masing-masing walau ada sebagian yang masih berada di ruang loby, terutama para laki-laki.

Sesampai di kamar, hal rutin yang aku lakukan. Membersihkan wajah, ganti pakaian, wudlu dan shallat Isya. Begitu pula dengan temanku se-kamar. Setelah itu, temanku langsung terlelap sementara aku membuat paper untuk persiapan training minggu berikutnya. Sambil mengerjakan paper itu, aku membuka facebook. Lumayan-lah, walau temanku sudah tidur, aku tidak kesepian saat mengerjakan paper itu. Jam menunjukkan pukul 11 malam. Mataku sudah mulai terasa mengantuk. Jam tangan dan hape kuletakkan di dekat bantalku sedang konesp paper kuletakkan di atas meja kecil dekat dengan tempat tidurku.

Aku menarik selimut sembari mengucapkan beberapa surrah pendek yang sering aku ajarkan pada anak-anakku dan diakhiri do’a tidur. Barangkali di tengah perulangan ayat qursy yang kuucapkan dalam hati, aku terlelap……sampai dengan terdengar suara ribut di kepalaku. Upppppssss…..siapa malam-malam begini memukul papan nyaring sekali…. Mataku terbuka sebentar dan suara klutak klutak klutak itu tidak berhenti. Ah…aku bangun dan suara itu berhenti. Kulihat, temanku masih tidur dengan nyenyak. Aku perhatian tempat tidurnya yang memang terpisah denganku….ujungnya menyentuh bagian kepala dari tempat tidurku. Dan bagian kepala itu terbuat dari kayu. Ooooooo barangkali, temanku tadi tidur agak banyak bergerak sehingga ribut sekali.

Aku kembali menarik selimut dan memulai membaca ayat qursy lagi…sampai terlelap…dan bangun kedua kalinya karena rebut yang sama. Hemmmmmm…apa iya, teman aku itu gagah benar saat tidur sehingga harus ribut seperti ini ?????? Tiba-tiba aku teringat cerita seusai makan malam tadi. Huuuuuufffffffssss….. inikah ??? Aku menarik selimut sambil ujarku kemudian,

“ Kalau mau main, main saja-lah….aku mau tidur….” dan aku kembali membaca ayat qursy sampai terlelap.

Pagi harinya saat sarapan, temanku yang tahu bahwa aku tidur agak malam menanyakan kejadian yang ganjil yang mungkin aku dengar dan aku lihat. Aku sebenarnya mau mengatakan sesuatu tapi oooh tidaklah masih dua malam lagi kami tidur di kamar itu.

“ Mbak mungkin kecape’an ya…semalaman tidur usik banget sampai kepala ranjang tempat tidurku ga’ berhenti berbunyi….kletak kletuk semalaman….” ujarku sambil cengengesan.

Kejadian itu, aku simpan dalam hati….sampai pada hari ketiga kami berada di hotel tersebut. Kegiatan baru usai menjelang maghrib. Aku cuma berfikir…waduh, keburu banget nih shallat maghrib-nya ketika melangkah keluar dari ruang pertemuan bersama teman se-kamar. Dua kali putaran bahkan berbalik… kami tidak menemukan kamar angka triple yang kami tempatin. Hah….jangan-jangaaaaan….

“ Kita tersesat Mbak…..” ujar temanku sambil menghentikan langkah. Aku mengangguk. Beberapa saat tadi memang kami berpapasan dengan peserta lain yang kami tahu nomor kamarnya jauh di atas kami. Aku tertawa kecil dalam hati. Koq bisa tersesat di hotel !!!! Tiba-tiba aku melihat pegawai hotel keluar dari salah satu gang.

“ Mas….bisa antar kami ke kamar…saat ini kami tersesat sementara ini sudah hamper maghrib,” ujarku menghentikan langkah si pegawai hotel. 

Serempak kami menjawab nomor kamar ketika si pegawai menanyakan nomor kamar kami. Aku sempat memperhatikan cara berjalan si pegawai itu sebab hanya beberapa kali dia melangkah….aku harus berlari kecil mengejarnya. Tepat adzan maghrib berkumandang kami tiba di depan pintu kamar. Pegawai hotel itu mempersilakan kami masuk. Karena sudah keburu, kami langsung masuk. Sesaat kemudian aku sadar belum mengucapkan terima kasih…aku membuka pintu dan wow…cepat sekali orang itu berjalannya karena sudah tidak ada di sekitar kamarku. Padahal untuk menuju tangga atau lift perlu melewati empat kamar lagi…. ya sudahlah.

Ketika makan malam….aku bertemu dengan pegawai hotel itu dan saat kuucapkan terima kasih…dia malah bengong kayak sapi ompong yang bikin aku bingung. Temanku memang bertanya ada apa…. aku ga’ bisa menjawab karena bila aku katakan akan berpengaruh sekali padahal kami masih semalam besok di hotel ini.

Subhanallah…..aku benar-benar tidak habis mengerti….apakah teman-ku sekamar ini memang takut kalau kemudian aku melihat toilet masih kotor bekas air pipis-nya ? Aku bersihkan sendiri sebelum aku menyelesaikan hajatku di kamar kecil itu. Hemmm…hemmm

Tahukah….beberapa saat sebelum pesawat berangkat menuju ke Banjarmasin ternyata teman aku mengatakan aku-lah yang penakut karena tidak membersihkan toilet. Teman aku mengatakan aku penakut sebab tidak menutup pintu bila dari kamar kecil. Teman aku mengatakan….aku-lah yang penakut karena setiap ke kamar kecil membunyikan kran air keras sekali.

Huwallahu a’lambishshawaab…hanya Allah yang Maha Tahu segala sesuatunya…………

Banjarmasin, 25 April 2010

SANG PEJABAT

Pagi itu aku bertemu dengan seorang pejabat di kantor-ku. Aku katakan pejabat karena memang yang bersangkutan punya kedudukan dan secara syah berdasarkan administrasi memiliki jabatan. Sssssssssssttttt....tetapi tidak setiap orang yang punya jabatan akan senang di sebut pejabat, sedangkan temanku yang satu ini kerap membahasakan dirinya sebagai pejabat. 

Awalnya cerita ini, aku bertemu si pejabat. Dia menyalamiku....ah, kebiasaan seorang pejabat. Lalu menanyakan kabarku....juga basa-basi seorang pejabat hehehe.....( karena kemarin sore kami bertemu dalam keadaan sehat wal'afiat dan baik-baik saja) pertanyaan berikutnya benar-benar khas seorang pejabat yang kerap dia lontarkan emhemmm, (aku tidak tahu secara pasti dia jiplak darimana ) pertanyaan klise seperti ini :

" Ada masalah apa.....apa yang bisa aku bantu ????"

Uppsss....pucuk di cinta ulam-pun tiba. Aku benar-benar sedang mau menanyakan sesuatu kepada-nya. Masalah yang sederhana saja yaitu surat pemanggilan....


" Kami perlu surat pemanggilan untuk teman yang akan mengikuti kegiatan di salah satu kantor pemerintahan propinsi sebagai dasar untuk pencairan dana "

Sebenarnya aku berharap dia menjawab "ada" atau mungkin "tidak ada" karena memang secara administrasi dia yang berwenang untuk menerima surat pemanggilan dan mengeluarkan surat penugasan. Dengan dasar atas kedua surat itulah kemudian administrasi keuagan berupa pencairan biaya kegiatan bisa dilakukan.

Ahhaaaayyy.... beberapa saat berikutnya, aku terduduk di bangku yang tidak jauh dari tempatku berdiri sebab kata-kata yang keluar ternyata bukan "ada" dan "tidak ada".

Panjang di kali lebar sama dengan luas dan kalau lebih dari lima menit aku terdiam di bangku itu maka panjang dan lebar jawaban yang diberikannya menjadi tak terhingga. Kalau kemudian ada kedalaman di dalam kata-katanya itu....berarti sudah menyangkut masalah volume.

Aku tidak mengeluhkan diriku yang terpenjara pada jawaban luas tak terhingga yang pada ujungnya toh berakhirkan kata TIDAK ADA ( ciri khas seorang pejabat pula nih ). Aku justru kemudian berpikir.....kenapa pejabat itu memiliki luas dan volume jawaban yang sebenarnya malah menunjukkan betapa ke-pejabatan-nya tidak diiringi dengan pendalaman pengertian dari tugas pokok dan fungsinya  ?

Dengan memahami tugas pokok dan fungsi maka sebenarnya, temanku yang pejabat itu bisa mengontrol hak dan kewajiban yang melekat pada jabatannya untuk memudahkan dirinya sendiri menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dia lontarkan kepadaku pagi itu. Aku tidak ingin menjawab lontaran pertanyaannya karena bagiku pejabat senior semacam temanku itu seharusnya lebih mengerti dari aku yang masih bau kencur ini.....karena bagiku tak baik aku menasehati senior seperti temanku itu.

Selama seminggu aku mengamati dan memikirkan semua itu. Akhirnya aku mengerti akan satu hal. NIAT itu MEMPENGARUHI TUJUAN BEKERJA dan TUJUAN BEKERJA  MEMPENGARUHI POLA PIKIR lalu POLA PIKIR AKAN TERLIHAT PADA PERKATAAN yang BERWUJUD DALAM PERBUATAN.


Semoga aku tidak seperti temanku yang pejabat itu bila menduduki sebuah jabatan. Ahhhh hemmmmmmmmmmmm !!! ( Ngantuk deh )

CATATAN di UJUNG JALAN

Seandainya saya suka  mengeluh, barangkali apa yang saya tuliskan ini akan saya keluhkan sesegeranya setelah peristiwa itu terjadi. Tetapi, saya lebih suka  diam dan seandainya masalah itu tidak dapat saya tangani, saya lebih suka mengungkapkan dalam puisi dan kata-kata tanpa harus menuju pada siapapun kecuali yang merasa. Saya yakin, Allah Ta’ala akan memberi jalan keluar dan keputusan yang terbaik.

Inilah catatan kecil yang selama ini saya simpan.

Sesaat setelah dilantik, ada tekad dalam hati saya untuk mewujudkan dua hal penting atas kedudukan dari jabatan itu yakni pembenahan administrasi dan mewujudkan keinginan atasan saya untuk mengadakan Air Conditioner (AC) di setiap ruangan kantor terutama ruangan tempat saya bekerja. Sebagai orang baru tentu perlu memiliki peganganNamun tempat berpegang pertama yang memberikan banyak input tentang orang-orang di ruangan baru itu ternyata berakhir dengan kekecewaan. Orang itu adalah Nyonya X.

Bermula dari sebuah kepercayaan kepadanya, pengelolaan penginapan saya serahkan secara utuh. Namun kepercayaan itu ternoda karena kebersihannya tidak terjaga dan administrasi disepelekan sedangkan itu adalah point pertama yang disampaikan kepada saya,  tidak lama setelah saya diberi tanggungjawab ketatausahaan. Dengan meledak-ledak Nyonya X melontarkan kata-kata yang tidak saya tanggapi dengan emosional.  Satu kata yang kemudian membuat saya mengambil kesimpulan bahwa Nyonya X tidak dapat dipegang kata-katanya adalah saat dia berucap : SEMUA SUDAH SAYA LAKUKAN, HANYA MENYEMBAH IBU UNIEK SAJA YANG BELUM.

Subhanallah ……pertanyaan yang mendasar saat itu adalah, HAL APA YANG SAYA SURUHKAN ATAS DIRINYA SEOLAH SAYA PENGUASA YANG LALIM SEMACAM FIR’AUN YANG MINTA DISEMBAH ? Astaghfirullah….  saya punya iman dan tahu betul bahwa DOSA BESAR kalau kita menyembah selain Allah Ta’ala dan laknat Allah Ta’ala atas orang yang minta disembah !!!! Sungguh, Nyonya X  tempat saya pegang pertama itu ternyata berani mempermainkan kata-kata tanpa melihat pada IMAN yang diyakininya.

Semenjak kejadian itu, staf lain membantu pengelolaan penginapan mendapatkan berbagai tindak intimidasi baik mental maupun fisiknya. Saya memback-up sesuai kemampuan yang saya punya. Tidak sekali dua  kali saya harus mempertanggung jawabkan sesuatu di hadapan atasan saya hal yang sebenarnya tidak saya lakukan dan kalaupun saya lakukan itu didasarkan atas kemauan Nyonya X saat masih saya percayai. YaAllah Ya Rabb…..saya kerap merasa dipojokkan dan hanya di atas sajadah saya mengadukan sebab mengadukan kepada kepala ruangan seringkalii tidak dianggap sebagai masalah. Apalagi, saya paling tidak suka menghadap ke atasan saya untuk menyampaikan masalah sebab atasan saya juga sudah dibebani masalah yang terkait dengan kedinasan maupun pribadi.

Semua hal yang bersifat intimidasi dan fitnahan dari Nyonya X terhadap staf yang lain saya hadapi dengan sekemampuan saya….. sampai akhirnya bisa mewujudkan apa yang sudah menjadi tekad saya. Penginapan, berjalan sesuai dengan adminstrasi yang seharusnya. Hasil pengelolaan penginapan bisa dirasakan oleh seluruh staf bahkan ruangan tempat saya bekerja sudah memasang AC 2 PK. Kepuasan tersendiri karena saya bisa mewujudkan keinginan atassan saya mengenai AC tersebut. Sampai akhirnya tanggal 29 Nopember 2010, saya dihadapkan pada permasalahan yang membuat saya mati rasa.

Hari itu Nyonya X bersama suaminya masuk ke ruangan kepala dengan alasan ada yang mau dibicarakan sehubungan dengan permasalahan Nyonya X yang menyangkut tuduhan staf saya. Staf saya ini yang mengelola penginapan dan maaf dia paling sering diintimidasi berupa kata-kata sampai ancaman mau dipukul oleh suami Nyonya X.  Permasalahan itu saya anggap selesai sebab staf saya mengakui kesalahannya dan saya selaku atasannya memintakan maaf untuk itu walau kepala ruangan berusaha berkilah untuk lari dari tanggungjawab sebagai atasan langsung saya. Namun yang membuat  saya terperangah adalah luapan kata-kata Nyonya X yang sudah saya dengar sebelumnya….. berikut ucapan-ucapan tentang atasan yang melantik saya.

Saya sakit hati yang teramat dalam sebab beliau di kata-katai dengan semaunya sementara kepala ruangan hanya mendengarkan tanpa bereaksi.  Saya saat itu hanya banyak berucap istighfar…..hanya istighfar mendengar orang yang saya hormati, yang keinginannya menjadi tanggungjawab untuk saya penuhi, yang menempatkan tanggungjawab kepemimpinan di pundak saya……begitu rendahnya di mata Nyonya X  hanya karena serantang lauk-pauk yang sering dia antarkan.

Subhanllah, astaghfirullah…..dalam hati saya menangis. Kalaupun saya kemudian jatuh sakit dan opname…… itu memang sudah janji saya kepada Allah Ta’ala untuk jatuh sakit dan beristirahat. Dengan begitu saya tidak perlu berfikir atas perbuatan dan perkataan Nyonya X bersama suaminya.

Seusai operasi…..seusai semua rasa sakit di tubuh ini hilang saya rasakan…..ternyata bathin saya tetap sakit. Seminggu sesudah keluar dari rumah sakit  saya tidak dapat tidur di malam hari. Sesudah menangis di pelukan suami saya dengan menceritakan segala perbuatan dan perkataan Nyonya X atas diri saya dan atas diri atasan yang melantik saya…..suami saya, memberikan kata-kata yang menguatkan hati saya dengan berpegang pada kekuatan yang dimiliki Allah Azza Wa Jalla. Setelah itu baru saya bisa tidur lelap.

Subhanallah, astaghfirullah…..saya yakin,akan ada jalan keluar terbaik untuk atasan saya yang diberikan oleh Allah Azza Wa Jalla sehingga bisa dihentikan dari penistaan oleh Nyonya X. Dan, apa yang sudah didapatkan tanpa sepengetahuan beliau ini….tidak berlanjut pada penggantinya siapapun dan kapanpun. Alhamdulillah, saat ini Allah Ta’ala sudah menarik beliau dari lingkaran Nyonya X dan semoga  Allah Azza Wa Jalla senantiasa memberikan kebaikan kepada beliau sampai kapanpun.

Saya ingat saat diminta untuk membantu membenahi kondisi di kantor yang memang banyak tidak sesuai. Saat itu saya berkata 3 bulan dibanding 8 tahun dan 3 orang dibanding puluhan orang sepertinya mustahil untuk bisa mengubah kondisi secepat yang diinginkan. Saya tidak berani berjanji kepada beliau untuk membantu karena takut saya ikut tercemar. Namun saya justru berjanji kepada hati kecil saya, bahwa saya tidak akan tercemar sehingga bisa mewujudkan apa yang beliau inginkan. Hanya sayangnya, terkadang……. di awal jabatan, saya begitu percaya kepada perkataan satu orang yang  kemudian berbalik menjadi orang yang memutar balikkan kebenaran demi dirinya pribadi.
Subhanallah…astaghfirullah, semoga Allah Ta’ala mengampuni kesalahan saya dan bisa memperbaiki apa yang sudah keliru saya jalankan.

Terima kasih Bapak, saya senang mendapat pelajaran hidup berharga selama menjadi bawahan Bapak….meskipun Bapak tidak mengetahuinya. setidaknya saya masih bisa berpegang pada prinsip bahwa DIAM BUKAN BERARTI TIDAK BERANI DAN BODOH tetapi DIAM UNTUK PASRAH KEPADA ILLAHI DAN INI JAUH LEBIH BESAR FAEDAH. Semoga, hari-hari yang Bapak jalani ke depan…..jauh dari fitnah dan ghibah….amiiin.

Rabu, 13 Maret 2019

PELAJARAN

Hanum menepiskan tangannya dari genggamanku. Lalu dia berdiri menatap tajam ke arahku sementara kulihat bibirnya terkantup rapat dan aura kemarahan tidak dia tutupi dari wajahnya. Hanum benar-benar marah !! Nafasnya naik turun. Lalu dengan nada suara yang rendah dia melontar kata-kata yang terus kuingat sampai sekarang

"Untungnya aku tidak bersuamikan orang seperti kamu.......yang tidak bisa menjaga harkat danmartabat perempuan dan bisanya memandang sebelah mata saja pada perempuan kemudian mengabaikan perilaku tidak senonoh dari manusia berjenis kelamin yang sama denganmu. Coba kalau suamiku tahu bahwa isteri-nya sudah dilecehkan melalui kata-kata oleh orang itu......aku yakin, suamiku akan mendatangi orang itu dan menempelengnya sebagai upaya perlindungan atas hak perempuan sepertiku!!!"

Telunjuk Hanum mengarah ke wajahku. Aku tidak menyangka, akan melihat kemarahan Hanum. Sesudah melontar kata-kata yang tidak kuduga itu, Hanum pergi dan berlalu serta tidak pernah lagi menghubungiku.

Hari ini, bayangan Hanum melintas diingatanku. Aku menghela nafas berat. Sungguh, bayangan Hanum yang marah dan menunjuk tepat ke mukaku dengan kata-katanya itu, kembali terulang diingatanku. Dia benar. Dia beruntung tidak bersuamikan aku. Karena saat inipun aku sedang dilanda sebuah perasaan yang tidak dapat aku katakan.

Pagi tadi saat Mimi, isteriku, mandi aku masih berebahan di pembaringan. Kelelahan teramat sangat menjalar ke seluruh tubuh membuat aku enggan bangkit dari kasur. Aku mendengar bunyi handphone milik Mimi berbunyi. Entah kenapa, hari itu tanganku usil dan mengambil handphone isteri-ku itu. Kulihat ada pesan masuk di grup sekolahnya. Ah ya, Mimi tidak satu sekolah denganku sehingga teman-temannya tentu tidak aku kenal. Jemariku lantas membuka pesan masuk itu. Sementara, telingaku mendengar Mimi bersenandung sebuah lagu lama, Love Story. Mimi masih di kamar mandi. Pesan grup itu kubuka dan aku terbelalak membaca isi pesannya. Tertulis dari Sam dengan kalimat Mimi....alangkah eloknya kalau kamu ndak usah memakai apapun sehingga bisa kulihat lekuk tubuhmu dan pantamu yang bahenol itu.....ingin sekali aku menepuknya barang sekali.

Handphone Mimi langsung aku kembalikan ke layar stand by, kuletakkan di kasur seperti semula dan aku memindah posisi tubuhku memunggungi handphonde itu. Dadaku berdegub kencang. Emosi-ku naik ke ubun-ubun dan....... yaaaaaa kata-kata Hanum melintas diingatanku.

Kasusnya hampir sama. Hanum salah satu temanku di salah satu es-em-pe. Karena ayahku seorang pejabat di kantor pengadilan maka aku tidak hanya mengecap pendidikan di satu sekolah. Es-em-pe saja aku sudah pindah 2 SMP. SMA aku pun ada di 4 kota, Banjarmasin, Sampit, Palembang.dan Jakarta. Hanum, temanku di es-em-pe Surabaya. Kami dipertemukan dalam grup WA. Grub yang ramai dengan guyonan, canda dan saling mengolok-olok. Sebenarnya Hanum juga suka becanda. Aku tahu itu dari komentar-komentarnya yang sering bikin tertawa. Terkadang juga judes, itu sangat berasa bila ada anggota grup yang mulai bercanda yang aneh-aneh.

Sampai suatu hari, Jim melontarkan satu banyolan yang bagi Hanum tidak etis dengan kalimat Hanum, boleh dong aku memukul bokongmu......yang saat itu masih ditanggapi dengan sedikit becanda oleh Hanum. Tapi Jim tidak berhenti sampai disitu melainkan melontarkan kata-kata yang semakin membuat marah Hanum. Betul saja.......berakhir dengan kalimat-kalimat Hanum yang menohok siapapun yang membacanya dan Hanum kemudian left dari grup.

Beberapa hari kemudian aku menemui Hanum. Kebetulan ternyata kami tinggal di kota yang sama. Waktu janji bertemu, Hanum diantarkan suaminya. Karena suaminya harus kembali ke kantor, maka Hanum ditinggal oleh suaminya setelah ngobrol denganku sejenak. Di kafe milik Kay  teman SMA-ku, kami bertemu. Aku berjanji hanya sebentar bicara dengan Hanum dan kepada suaminya aku minta ijin akan mengantar Hanum pulang. Tetapi suaminya menolak, dia akan jemput isteri-nya tepat di jam makan siang di kafe Orange ini.

Aku menyampaikan pada Hanum bahwa dia marah, itu benar. Bahwa dia kemudian memberi teguran keras pada Sam, itu benar. Bahwa dia meninggalkan grup, itu yang tidak benar. Kalau dia sudah memaafkan Sam, seharusnya dia tetap berada di grup dan berbuatlah seperti biasa lagi. AKu melihat wajah Hanum memang agak berubah. Semula dia mempermainkan tissue yang sejak tadi ada di tangannya. Es jeruk di depannya sudah berembun, belum juga dia sentuh karena mendengarkan apa yang kusampaikan. Tetapi begitu sampai pada ujaranku agar dia bisa bersikap biasa-biasa lagi ke Sam, tissue itu dia remas. Hanum kemudian bersidekap, melihat tangan di dadanya bahkan terlihat seperti menekan agar sesuatu tidak terloncat dari apa yang didekapnya.

Melihat perubahan itu, aku sempat terhenti. Namun kemudian Hanum memberi kode dengan jarinya untuk aku meneruskan kata-kataku. Aku bilang
"Ayolah Hanum......kita kan sudah lama tidak bertemu, tidak berkumpul.....jadi anggap biasa saja apa yang dilontarkan oleh Sam.....toh kamu sudah memaafkannya.....kalau sudah memaafkan tentu bisa melupakan dan menganggap itu tidak terjadi kan ?"

Saat itulah Hanum berdiri. Aku meraih tangannya meminta untuk duduk. Tapi dia menepiskan dengan keras dan..................

Airmataku menetes. Aku, lelaki beristeri dan isteriku diperlakukan rendah oleh temannya, apa iya aku akan berdiam diri ? Airmataku menetes, ingat kembali kata-kata Hanum......kalau suamiku tahu bahwa isterinya sudah dilecehkanmelalui kata-kata oleh orang itu......aku yakin, suamiku akan mendatangi orang itu dan menempelengnya sebagai upaya perlindungan atas hak perempuan sepertiku. 

Kudengar pintu kamar mandi berderak, tanda Mimi sudah selesai mandi. Kupejamkan mata setelah menghapus air yang menetes diantaranya. Kuatur nafasku dengan baik. Kudekap tanganku didadak agar yang ada dalam hatiku tidak terlontar. Mimi menyentuh tubuhku. Aku biarkan tangannya yang dingin setelah kena air itu merembes di piyama yang kukenakan.

"Pah.....papah....." suara Mimi terdengar sambil menepuk tubuhku dengan pelan. Kemudian berhenti karena aku tidak menyahut. Semoga, dia berfikir kalau aku kembali tertidur. Tak berapa lama, langkah Mimi menjauh. Kudengar lagi pintu terbuka lalu ditutup. Sesaat kemudian, aku membuka mata. Aku telentang. Kulirik, handphone Mimi sudah tidak ada di atas kasur. Tentu sudah dia bawa. Kebiasaan Mimi bila pagi hari, masak buat sarapan, masak buat bekal Adi, Reina dan Noval serta aku sambil mendengarkan tausyiah da'i yang lagi kondang di era milenial ini. Sayup-sayup aku mendengar suara tausyiah itu. Sesekali terdengar suara Mimi memanggil ketiga anak kami. Rasanya aku enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Tetapi, aku harus tetap ke kantor dan mengantarkan ketiga anakku ke sekolahnya masing-masing. Tanganku meraih handphone yang ada i lemari kecil dekat tempat tidurku. Kucari nomor hap Iswandi, lalu aku kirim pesan kepadanya agar menjemput dan mengantar anak-anakku ke sekolah. Iswandi, sopir di kantor, menjawab siap Pak. Rumahnya tidak jauh dari rumahku dan biasanya anak Iswandi akan bersama-sama dengan Reina ke sekolah karena mereka satu sekolah beda kelas.

Aku masih berebah, ketika Reina masuh dan mendekati aku.
"Papah sakit ya ? Koq ndak bangun-bangun.....kan sudah waktunya sarapan"

Aku melambai ke arahnya, Reina mendekat. Aku angkat tubuhnya, aroma bedak bertebaran di hidungku. Wangi.....

"Papah masuk agak siangan, sebab hari ini Papah ada acara kantor di hotel..... Reina pergi sama Om Iswandi ya ?"
"Sama-sama Mika juga dong" sahutnya sambil tersenyum lebar. Mika itu anak Iswandi. Aku mengangguk, sesudah cium pipi kira-kanan, Reina bergegas menuju pintu.

"Tapi Papah sarapan sama kami kan ?" tanyanya sebelum menutup pintu. Aku kembali mengangguk. Setelah Reina keluar, aku berdiri. Ah.......kepalaku agak berat.

================

Suara Mimi tersendat-sendat dan aku duga dia menagis, yang menyebabkan aku bergegas kembali ke rumah. Tidak, di hotel ini tidak sedang ada pertemuan kantor. Ini pertemuan khusus dan tempatnya di sebuah Kafe, kafe milik Kay. Hanya aku yang tahu. Masih penting isak tangis Mimi daripada wajah merah yang baru saja kena bogem mentah dari tanganku. Oleh karenanya, aku pulang dan kubiarkan lelaki itu mengusap-usap pipinya. Sebelum aku berlalu aku ucapkan satu kalimat sambil menunjuk ke wajahnya dan dengan suara rendah seperti yang dilakukan Hanum padaku.

"Aku suami dari Mimi, perempuan yang kamu lecehkan di grup whats app itu. Silahkan tuntut kalau kamu keberatan dengan pukulanku tadi.......kita lihat, apakah negara akan membiarkan orang seperti kamu bebas melecehkan perempuan"

Mimi akhirnya menangis sesungukkan di pelukanku begitu aku masuk ke dalam kamar. Handphone ditangannya dia perlihatkan ke aku. Aku mengusap airmatanya, mengusap rambutnya....... ternyata bukan hanya Hanum yang punya harga diri......isteriku juga. Kupeluk erat tubuhnya. Kukecup berulang-ulang pelipisnya dan kubisikkan ke telinga-nya

"Keluar saja dari grup itu sayang.......karena tidak satu orangpun membela kamu di grup itu..... mau kan ? Left saja dari grup" 

Aku rasa, Mimi mengangguk. Aku melihat bayangan Hanum tersenyum ke arahku. Terima kasih sahabat, kamu sudah mengajarkan aku untuk menjadi suami yang membela harkat dan martabet perempuan, terutama isteri-ku.




Ada banyak manusia di luar sana yang tidak memahami pentingnya menjaga harkat dan martabat perempuan, kemudian menganggap perempuan sama seperti lelaki. Dan itu.......tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki bahkan perempuanpun masih punya stigma yang tidak berbeda dengan lelaki mengenai harkat dan martabat perempuan.

YANG TERCECER

Ada sebuah tanya yang belum terjawab sampai sekarang.
Mengapa tiba-tiba dia mengambil tempat duduk disampingku ?
Sebelum2nya, dia duduk jauh dariku bahkan mungkin tidak pernah menganggap aku ada dalam ruangan 4x4 meter tempat kami menimba ilmu. Hari itu, dia tiba-tiba duduk disampingku. Aku tidak lantas menjadi senang melainkan timbil tanda tanya.... ada apa ?
Aku tetap seperti aku, mencatata apa yang tertulis di papan tulis dan sesekali menjawab bila Linda yang duduk di sisi kiriku mengajak bicara. Lelaki itu masih tetap duduk disampingku.
Aku mengingat betul gayanya waktu itu. Tetapi karena waktu itu sedang heboh adanya gambling ala pelajar maka aku tidak berani memastikan, lelaki yang tiba-tiba duduk disampingku itu sedang ingin mendekatiku untuk memenangkan sebuah taruhan meluluhkan gunung es. Uppppssss sebegitu dinginnya kah aku di mata mereka... atau itu hanya perasaanku saja ?

Pertanyaan itu, kembali terlintas di benakku beberapa saat tadi, ketika sebuah tepukan dibahu, membuyarkan lamunanku.
"Mikirkan apa, Byan" tanya si empunya tangan yang menepul bahuku.
"Tiba-tiba ingat Morgan" jawabku jujur, sambil menggeser tempat duduk.
"Hmmmmm Morgan yang....." Dia menjawab sambil memberi kode ciri fisik orang yang tadi kusebut. Aku mengangguk.
"Iya....Morgan anak Manado yang putih bersih dan rambutnya seperti rambut jagung...  Pirang bikan tapi jelas bukan hitam"
"Kenapa dengan dia ?"
"Dia pernah....tiba-tiba saja duduk di sampingku saat pelajaran Pak Jae. Aku tadi bertanya, kenapa tiba-tiba dia duduk di dekatku waktu itu"
"Dia naksir kau mungkin" ucapnya sambil melingkarkan tangannya di bahuku.
"Aku bukan tipe dialah"
"Atau dia bukan tipe kamu" sambarnya sambil sedikit mengguncang bahuku. Aku tertawa hambar. Aku biarkan tangan kekarnya makin erat merengkuhku.

Senja itu, aku dan Jie sedang duduk di teras sebuah rumah betang. Tempat kami dulu bermain. Jie, sangat tahu teman-teman semasa kuliahku meski dia tidak sekampus denganku. Karena kami dari es-em-a yang sama maka sesama perantauan tentunya akan saling mendukung. Jie, pernah berperan seolah jadi pacarku hanya untuk menutupi aku yang sendiri saja diantara anak kost-kost an yang rata-rata punya pacar sungguhan. Hanya saja, aku tidak menduga ternya selesai kuliah, orangtua Jie sungguh-sungguh melamar aku. Yaaaa yang merengkuhku itu Jie, suamiki, teman sekolahku. Sedangkan yang kami bicarakan adalah Morgan, teman kuliahku yang sampai sekarang aku belim tahu jawabnya, mengaoa tiba-tiba dia duduk di sampingku.

"Kenapa tiba-tiba kamu ingat Morgan, Byan ?"  Jie melontarkan pertanyaan sesaat pikiranku mengingat Morgan barusan. Aku melepaskan rengkuhan Jie dan mengambil sesuatu dalam tas yang dari tadi aku peluk. Jie memperhatikanku. Aku menyodorkan selembar kertas ke arah suamiku itu yang terus diambil oleh Jie kemudian dia baca.
"Ya ampun Byan....baru menikah ?" sontak Jie bertanya begitu selesai membaca. Ya, itu undangan dari Morgan. Dia baru menikah. Pertanyaan Jie itulah yang kemudian mengembalikan ingatanku pada Morgan.
"Kenapa baru sekarang ya menikahnya ?"
Yaaaa kenapa baru sekarang ? Ada hubungannya juga dengan pertanyaanku, mengapa tiba-tina Morgan duduk disampingku saat mata kuliah Pak Jae ?
"Kasihan....mungkin dia patah hati Byan ya sehingga baru sekarang dia menikah....coba hitung berapa umurnya sekarang.....ck...ck...padahal kurang apa dia.... Ganteng, cakep, mudah bergaul, anak keren di jamannya....anak orang kaya pula...." Ujar Jie sambil berdiri.
Aku terdiam mendengar semua ucapan Jie. Itu benar. Tapi......aku mendongak memandang ke arah Jie dan dia justru menatapku dengan pandangan tajam. Ciri Jie bila ada emosi dalam kepalanya. Aku berdiri.
"Tahu darimana semua tentang Morgan, Jie ?" tanyaku pelan. Jie memang tahu hampir semua temanku, tapi tidak dengan Morgan. Karena dia tidak pernah masuk dalam kehidupanku selama kuliah makanya aku tidak pernah bercerita tentang Morgan. Tapi Jie tahu semuanya ?
Jie membuang muka dari tatapanku. Lelaki yang sudah menemaniku selama sepuluh tahun dengan status suami ini, akan begitu bila sedang menahan marah. Berarti, Jie marah padaku. 
"Undangan ini, dari siapa ?" tanya Jie  kemudian masih tetap berpaling dariku.
"Linda yang mengirimkannya. Nih resi tanda terimanya pagi tadi kuterima"
Jie kemudian memandangku. Tuhan...  Mata Jie tajam dan membuat getaran tersendiri dalam hatiku. Getaran yang justru membuat aku mendekat dan memeluknya....  Jie agak gelagapan namun tangan kekarnya kemudian membalas pelukanku. Aku merasa nafas Jie berhembus di ubun-ubunku. Tubuhnya yang lebih tinggi dari aku, memungkinkan dia mencium ubin-ubunku. Dan itu akan dilakukan Jie bila ingin mengatakan sayang dan cintanya untukku.
"Byanca Saraswati...." Jie menyebut namaku. Lalu mengendurkan pelukannya memegang bahuku.
"Terima kasih sudah mencintai aku sungguh-sungguh meskipun sewaktu kuliah dulu kita berpura-pura sebagai kekasih....." mata Jie masih tajan menatap ke arahku.
"Sepuluh tahun kita hidup sebagai suami-isteri, aku tidak pernah meragukan setia dan cintamu padaku" ujarnya kemudian. Aku menatap bola matanya.
"Apakah sekarang meragukanku ?" aku bertanya seolah seperti pada diriku sendiri. Jie memelukku lagi. Tidak lama.....kemudian mengecup keningku.
"Ketika kamu menyebut nama Morgan, hatiku sempat tersayat....ketika kamu bertanya mengapa tiba-tiba Morgan duduk disampingmu, ada cemburuku disana" kata-kata Jie membuat dahiku mengernyit. Dia mencemburui Morgan ?
Jie mengajak aku duduk lagi. Dan kali ini, aku menyandarkan tubuhku sepenuhnya ke Jie. Aku memang tidak ingin menyisakan satu ruang untuk membatasi dekatku dengan Jie karena aku menyerahkan seluruh hati, jiwa dan cintaku untuknya sejak akad nikah terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Dari mulut Jie kemudian meluncur cerita tentang pertemuannya dengan Morgan. Ternyata Morgan bekerja di perusahaan perbankan yang sama dengan Jie hanya saja Morgan bertugas di wilayah Sumatera sedangkan suamiku bertugas di wilayah Kalimantan. Pertemuan terjadi di Jakarta tahun lalu. Disitulah kemudian rahasia Morgan yang disimpannya bertahun-tahun terbongkar. Morgan membongkarnya dihadapan Jie yang saat itu mengatakan "mengenal Byanca Saraswati" dan tidak mengatakan sebagai "suami Byanca Saraswati". Kemudian, dari Jie jugalah Morgan mendapat kepastian bahwa tidak mungkin lelaki dari Manado itu bisa meraih cinta Byanca lagi. Byanxa sudah menikah dan hidup bahagia. Kata Jie, mata Morgan berkaca-kaca waktu mendengar penuturan Jie. Aku pun membayangkan perasaan Jie saat mendengar ada laki-laki lain bernama Morgan yang ternyata memendam cinta untukku sedangkan aku begitu acuh dan asyik dengan duniaku waktu itu sehingga dia tidak mendapat peluang untuk menyatakan cintanya padaku. Morgan memendamnya sampai dia bertemu dengan Jie.

Aku bergeser, bagai anak kecil yang ingin mendapat rasa puas disayangi. Aku duduk di pangkuan Jie. Menyandarkan tubuhku ke dadanya.
Aku mendengar dengan jelas detak jantung Jie. Teratur.....menandakan emosinya sudah tidak lagi mempengaruhi hati dan pikirannya.
"Jie, aku mencintaimu dari pura-pura menjadi cinta yang sebenarnya..... Aku tidak ingin menggantikan dengan apapun cintamu untukku. Tetaplah berdo'a agar kita tetap bersama-sama hingga kehidupan sesudah mati kelak" ujarku yang disambut dengan pelukan erat, lelaki yang kukenal dimasa sekolah dulu.

Undangan Morgan.... terbang tertiup angin. Kami memutuskan tidak menghadiri undangan itu.

Senin, 04 Maret 2019

HATIKU-HATINYA

Aku berdiri di jalan setapak yang sunyi. Sudah tiga puluh menit berada di tempat ini. AKu memang datang terlalu cepat dibanding janji bertemu pagi ini. Seharusnya, aku tiba pukul 08.00 tetapi saking bersemangatnya, aku mendahului waktu janji dan sudah tiba pukul 07.00 setengah jam yang lalu. Semula, aku duduk di bangku itu, tak jauh dari tempat aku berdiri ini. Sekarang, bangku itu sudah diduduko sepasang kekasih yang asyik bercengkrama berdua.

Ah.....apakah mereka sama seperti aku, sedang merasakan gejolak hati dan begitu bungahnya sehingga tidak sabar untuk bisa berjumpa lagi dengannya.....tanyaku membathin, sambil sekilas melihat ke arah pasangan yang saat ini sedang duduk saling memanjakan. Yang lelaki merangkul pundak,perempuan sedangkan si perempuan bersandar manja di tubuh lelaki. Mereka tampak mesra. Mereka tampak bahagia.

Aku kemudian menggerakkan kaki perlahan. Kami tidak berjanji bertemu disini. Melainkan berjanji bertemu di salah satu sudu taman ini, dimana ada tumbuh pohon saga. Pohon berbatang besar dengan daun kecil-kecil dan bunga berwarna merah saga. Pastinya bukan di bagian ini, karena disni hanya banyak perdu dan pohon-pohon ketapang yang berdaun lebar dengan dahannya yang membentang. Langkah perlahanku menarik perhatian beberapa orang dan mereka menyapaku dengan ramah.

Huuuuueeeeh.....mereka mungkin berfikir, aku sedang mencari udara segar setelah seharian berkurung saja di dalam rumah..... Mereka keliru. Tempat ini hampir setiap sore aku kunjungi. Tidak pernah lepas dalam sehari, kecuali bila aku tidak berada di sini atau sedang hujan..... Bahkan terkadang bila hujan gerimis sekalipun, aku masih bisa membawa payung untuk berada di taman ini.

Tamannya tidak jauh dari rumahku......

Langkah kakiku sampai di tempat aku berjanji untuk bertemu. Perasaan bungahku kian membuat jantungku berdetak keras. Detak itu, semakin berasa keras, manakala tatap mataku tertuju pada sosok yang duduk membelakangiku. Ya....kursi taman di dekat pohon saga ini memang arahnya ke Timur sedangkan jalan setapak dari Utara ke Selatan. Aku melihatnya.

Aku melihat dia duduk, sesuai dengan apa yang dikatakannya saat membuat janji tadi. Dia mengenakan jaket bulu berwarna cream. Warna kesukaannya. Meskipun tubuhnya terbalut busana yang menutup hampir seluruh tubuhnya, aku melihat kemolekan pada dirinya. Rambutnya yang tertutup kerudung cokelat tua seperti katanya malam tadi, tentu masih ikal. Aku mendengar dia bersenandung mengikuti lagu yang dia putar di alat yang ada di tangannya. Seperti janjinya malam tadi. Dia bersenandung lagu kesenangan kami berdua.

Bunga anggrek mulai timbul.......aku ingat padamu....waktu pertama bertemu....kau duduk disampingku.....

Aku tersenyum sendiri sambil mempercepat langkahku menuju ke arahnya.

"Se.....se....selamat....pagi.....Anita" sapaku terbata-bata seperti tidak yakin bahwa dia adalah perempuan yang sama yang berjanji denganku malam tadi.

Perempuan itu menoleh. Aku melihat wajahnya !!!! Aku melihat wajahnya !!!! Ya Tuhan.....dia benar-benar Anita. Senyumnya.....senyum milik Anita.

"Selamat pagi.....Hans" jawabnya. 

Aku tercekat. Suaranya memang suara Anita. Aku belum pernah mendengarnya lagi sejak.......... AH, aku menghapus bayanganku itu karena aku harus segera duduk di samping Anita dan mengatakan sesuatu yang selama ini aku pendam.

"Aku turut berduka atas berita itu" ujarku yang disambut dengan senyum milik Anita. Tadi Anita membantuku duduk di sampingnya, karena dia tahu, tongkat yang membantuku berjalan tidak dapat membuat langkah kakiku kian cepat. Anita duduk kembali di sampingku.

"itu sudah bertahun-tahun lalu Hans......Aku sekarang disini....di depanmu....ada apa ?"

Aku kembali tercekat. Ya Tuhan......mampukah aku berterus terang padanya setelah kejadian itu ?

"Hans.....that's not your fault that you left me cause your parent decision" ujar Anita kemudian sambil memperbaiki posisi duduknya.

"But.... I still love you my dear.... I try to find you every where..... Try to explain what happened after we discuss about my family's decision"

"I thinks......it's finished.....you have to married with her.....your parent's friend daughter"

Ucapan Anita itu aku hentikan dengan sekali tutupan telapak tanganku.

"No....it's not happened my dear...... I love you so much and there's no one can changes my love to you.....where have you been after that day ?"

Anita menatap ke arahku dengan mulut sedikit ternganga.

"So....so....you....you...." kata-kata yang kemudian keluar dari bibirnya terdengar terputus-putus sambil jemarinya menunjuk ke arahku. Aku memahami keterbata-batannya itu sambil melebarkan senyum.

"Yeah..... I've never get married until now because I've waited for my true love....." aku memberi isyarat dengan daguku, menunjuk ke arahnya. Anita seperti tidak percaya kemudian menunjuk ke dirinya sendiri.

"Me......????" ujarnya setengah berbisik lalu dia memalingkan wajahnya dan beberapa saat kemudian aku mendengar isak tangisnya.....
"Why you are crying ? Please....please don't do that....pelase stop crying my love.....please..." aku berusaha menarik bahunya dan ingin mengusap airmata yang keluar dari kedua bola mata Anita. Tetapi tangan Anita mencegah aku melakukan keinginanku.

"You hear the wrong information about me" suara Anita sedikit rendah. Dia usap sendiri airmatanya.
"It's a foolish decision, I thinks.....why we at this game..... Hans....why ?" lanjutnya
"Sorry.....Anita....what do you mean ?" tanyaku tanpa menyembunyikan kebingunganku.

Anita menatap ke arahku. Mejamah tangan kiriku setengah takut namun setengahnya ingin sekali. Aku sendiri tidak dapat menahan hati, tangan Anita langsung aku raih dan aku genggam. Kuletakkan ke dadaku sehingga tubuh Anita dengan sendirinya tersandar di tubuhku. Seperti sepasang kekasih yang tadi aku lihat.

"Hans.....the man who you think about....he's not my husband...... I've never get married yet...like you"

Genggaman tanganku terlepas dan aku tatap Anita dengan sepenuh bola mataku.

"What ??????"  Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Kulihat Anita mengangguk berulang-ulang. Seolah ingin meyakinkan aku bahwa kata-katanya benar. Aku baru menyadari sesuatu...... Jari Anita ada cincinnya !! Bergegas kuangkat tangan kanan Anita dan aku terkesiap. Itu cincin.......kecubung ungu yang pernah kuberikan padanya. Memperhatikan apa yang aku aku lakukan, Anta tersenyum simpul.

"I love...you.....it's never died.....my love.....so....why didn't we met long-long time ago Hans ?"

Ucapan Anita seolah menyesali apa yang sudah terjadi. Aku sendiri takjub atas apa yang kudengar. Berarti ini yang Anita maksudkan betapa kebodohan dan permainan hidup yang menyebabkan kami begini.

"Can we......start it by now.....and try to happiness together, right now ?" tanyaku setengah berharap. Anita tertawa sejenak lalu berucap

"Now...??? Like this ?" Anita berdiri dan menunjukkan wajahnya, kedua tangannya bahkan kakinya juga yang semula tadi kukira lebih tegak dari aku ternyata disampingnya pun ada penyangga, sebuah tongkat...... Aku tergelakj.

"Never mind !! It's our moment....it's our day.....now..." ujarku bersemangat.....
"Please....please.....don't make the new mistakes......will you marry me Anita ? I beg you"

Anita menatap ke arahku. Matanya bulat, berbinar. Tangan kami menyatu dan kami saling pandang. Senyum kami sama-sama mengembang. Mentari terasa mulai menghangati kami berdua. Anita mengangguk, aku bahagia sekali dan sekali rengkuh aku peluk perempuan yang sangat aku cintaii ini.

Untuknya.....rentang waktu penantian yang begitu lama tetap aku jalani dengan hanya satu do'a. Sebelum nyawaku kembali kepada sang pemilik hidup, aku ingin bertemu dengan separuh hatiku..... Beruntung sekali, aku dapat mengenali wanita yang kucintai ini melalui akun fesbuk. Meskipun..... aku sudah.....

Ah, sebuah bola membuyarkan pelukan kami.....seorang bocah berlari ke arah kursi kami dan mengambil bola yang tadi mengenai sandaran kursi taman, dimana aku dan Anita duduk. Anak lelaki itu tersenyum lebar, sembari melambai dia menjauh

"Be happy grand-ma ... grand pha....."
Aku tersenyum simpul sambil menatap Anita......Hatiku.

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...