Jumat, 31 Mei 2013

Namanya Untung

Anak itu, anak pertama dari tiga saudara. Kedua adiknya, perempuan. Ayahnya berprofesi sebagai tukang ojek sedangkan ibunya pembantu rumah tangga saudagar emas di Banjarmasin. Dia, lulusan sekolah kejuruan elektro. Tubuhnya kurus, kalau berbicara, khas sekali orang Banjar. Namanya, tidak seperti nama orang Banjar kebanyakan yakni Sa'adillah Untung. Kami memanggilnya, Untung.

Anak itu, Untung, bekerja sebagai tenaga honor di kantorku. Pekerjaan utamanya adalah mengurus mesin Genset yang kerap dipergunakan bila ada pemadaman listrik. Utamanya di ruang yang menjadi tanggung jawabku. Akan tetapi, dia juga akan dengan senang hati membantu memfotocopy kan surat-surat yang kami perlukan ke kios fotocopy yang jaraknya lumayan jauh dari kantor. Bukan hanya itu, Untung juga ringan tangan kalau diminta bantuan untuk keperluan pribadi.

Dari sekian banyak pegawai yang menjadi stafku, sepertinya justru aku yang tidak pernah meminta tolong untuk urusan pribadi ke Untung. Hampir dua tahun Untung menjadi honorer di kantorku, baru sore itu aku memintanya mengantar sesuatu ke rumah. Dahinya berkerut ketika aku menyuruh dia mengantar selembar surat ke rumah. Hehehe, dia benar-benar merasa heran sebab aku kan bisa saja membawa surat itu sendiri ?

Ketika tiba di rumahku, Untung langsung merebahkan diri di teras rumah yang memang asri sebab di tumbuhi banyak pohon. Aku segera menemuinya, sesaat setelah Minah pembantuku memberitahu keadatangan Untung dan mengambil surat yang diletakkan Untung di meja teras. Untung mengeluh capek karena ternyata rumahku jauh. Aku tidak aneh dengan keluhannya sebab dia harus mengayuh sepeda angin dari rumahnya ke rumahku. Sesaat kemudian aku menanyakan beberapa hal ke anak laki-laki itu yang dijawabnya sambil tetap berebah. Barangkali, kalau hal itu dilihat oleh staf lainnya di kantor, Untung bakal kena omel. Tetapi bagiku itu tidak masalah sebab aku menganggap pegawai yang seumuran dengan Untung adalah anak-anakku yang harus dibimbing hingga berhasil menjadi seperti yang dia harapkan. Perbincanganku dengan Untung cukup lama, hingga dia kemudian tiba-tiba bangkit dari berebahnya dan duduk  begitu mendengar kalimatterkahir yang aku ucapkan.

" Bujurkah Bu ? (Betulkah Bu ?)" katanya dengan mata terbelalak. Aku manggut.
"Umai Bu lah.....ulun nih saumur-umur kada biasa menjajak bandara Bu aeee....apalagi naik pesawat.... pian jangan maulah ulun bamimpi" ujarnya dengan bahasa Banjar secepat kilat dan mempermainkan kedua tanggannya, menandakan dia serius saat mengatakan bahwa seumur hidupnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di bandara, apalagi bermimpi naik pesawat.
"Iya.....asalkan dengan syarat, selama kamu bekerja sampingan di kantor, kamu tidak menerima bayaran melainkan disimpan untuk keperluan naik pesawat, toooh ini bukan honor rutin yang diterima dari kantor melainkan honor kegiatan di ruangan kita saja" ujarku lagi.

Untung yang kemudian manggut-manggut dan menyetujui syarat yang aku ajukan. Sejak itu, apapun yang dikerjakan oleh, tidak lagi dibayar melainkan ditabung. Yang mendapat tugas menabung adalah Bu Mar, staf yang khusus mengelola keuangan di ruanganku.  Dari semua staf dan tenaga honorer yang ada di ruangan, hanya Untung yang mau menyimpan. Semangatnya untuk menyimpan cukup tinggi bahkan dia bekerja lebih giat lagi mengelola apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Sampailah pada hari yang dinantikan. Tabungan Untung di tempat Bu Mar mencapai sejuta lima ratus sedangkan yang harus disetor ke panitia agar dapat mengikuti Hari Keluarga Tingkat Nasional di Bandung sebesar sejuta tujuh ratus sembilan puluh ribu rupiah. Untung dengan bangga menyetorkan uang simpanannya ke panitia dan menyatakan diri ikut. Aku hanya menambah dua ratus ribu agar Untung bisa punya seragam yang sama dengan peserta lainnya.

Anak laki-laki itu, ayahnya hanya tukang ojek, ibunya hanya pembantu rumah tangga namun akhirnya bukan hanya menginjakkan kaki di airport melainkan juga naik pesawat terbang. Sekali barang Bu ae seumur hidup membiasa-i naik pesawat (Sekali saja Bu, seumur hidup merasakan naik pesawat......) Dan Untung tidak tahu....keberuntungannya berdampak aku dicaci orang.....Hal yang diluar perhitungannya.

Tahukah...... sesaat sebelum Untung benar-benar berangkat ke Bandung, terjadi kehebohan di kantor sebab aku dikatakan membuat kebijakan yang salah yakni memberangkatkan tenaga honor di event berskala nasional dengan dana dari kantor. Heheheeee.....dan aku, tidak memperdulikan komentar-komentar miring tersebut sebab aku tahu yang kulakukan tidak merugikan siapapun juga apalagi merugikan negara. Aku hanya ingin berbuat baik, sebab sebagai staf mungkin aku hanya sebentar saja menjadi atasan bagi orang-orang semacam Untung. Kesempatan ini harus aku manfaatkan.

Akhirnya,Untung naik pesawat. Mendengar kicau Untung selama perjalanan dan melihat keceriaannya dalam perjalanan menimbulkan kebahagiaan tersendiri untukku.  Lucunya, yang memanfaatkan tenaga Untung selama perjalanan itu bukanlah aku, melainkan temanku di ruangan lain seolah-olah Untung berangkat atas bantuannya.

Untung namanya bila membuat orang yang statusnya dibawah kita menjadi senang dan bahagia bukan ? Untung namanya kalau kebaikan kemudian mendapat caci maki dari orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, ya kan ? Dan....Untung namanya, anak tidak berpunya itu bisa naik pesawat sebagaimana yang dia idamkan.

Aku menceritakan ini, bukannya ingin mengambil keuntungan dari Untung melainkan karena senang ada lagi yang sebahagia Untung sebab selama perjalanan kubebaskan stafku dari beban mengangkat barang2 pribadiku.


MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...