Rabu, 13 Maret 2019

PELAJARAN

Hanum menepiskan tangannya dari genggamanku. Lalu dia berdiri menatap tajam ke arahku sementara kulihat bibirnya terkantup rapat dan aura kemarahan tidak dia tutupi dari wajahnya. Hanum benar-benar marah !! Nafasnya naik turun. Lalu dengan nada suara yang rendah dia melontar kata-kata yang terus kuingat sampai sekarang

"Untungnya aku tidak bersuamikan orang seperti kamu.......yang tidak bisa menjaga harkat danmartabat perempuan dan bisanya memandang sebelah mata saja pada perempuan kemudian mengabaikan perilaku tidak senonoh dari manusia berjenis kelamin yang sama denganmu. Coba kalau suamiku tahu bahwa isteri-nya sudah dilecehkan melalui kata-kata oleh orang itu......aku yakin, suamiku akan mendatangi orang itu dan menempelengnya sebagai upaya perlindungan atas hak perempuan sepertiku!!!"

Telunjuk Hanum mengarah ke wajahku. Aku tidak menyangka, akan melihat kemarahan Hanum. Sesudah melontar kata-kata yang tidak kuduga itu, Hanum pergi dan berlalu serta tidak pernah lagi menghubungiku.

Hari ini, bayangan Hanum melintas diingatanku. Aku menghela nafas berat. Sungguh, bayangan Hanum yang marah dan menunjuk tepat ke mukaku dengan kata-katanya itu, kembali terulang diingatanku. Dia benar. Dia beruntung tidak bersuamikan aku. Karena saat inipun aku sedang dilanda sebuah perasaan yang tidak dapat aku katakan.

Pagi tadi saat Mimi, isteriku, mandi aku masih berebahan di pembaringan. Kelelahan teramat sangat menjalar ke seluruh tubuh membuat aku enggan bangkit dari kasur. Aku mendengar bunyi handphone milik Mimi berbunyi. Entah kenapa, hari itu tanganku usil dan mengambil handphone isteri-ku itu. Kulihat ada pesan masuk di grup sekolahnya. Ah ya, Mimi tidak satu sekolah denganku sehingga teman-temannya tentu tidak aku kenal. Jemariku lantas membuka pesan masuk itu. Sementara, telingaku mendengar Mimi bersenandung sebuah lagu lama, Love Story. Mimi masih di kamar mandi. Pesan grup itu kubuka dan aku terbelalak membaca isi pesannya. Tertulis dari Sam dengan kalimat Mimi....alangkah eloknya kalau kamu ndak usah memakai apapun sehingga bisa kulihat lekuk tubuhmu dan pantamu yang bahenol itu.....ingin sekali aku menepuknya barang sekali.

Handphone Mimi langsung aku kembalikan ke layar stand by, kuletakkan di kasur seperti semula dan aku memindah posisi tubuhku memunggungi handphonde itu. Dadaku berdegub kencang. Emosi-ku naik ke ubun-ubun dan....... yaaaaaa kata-kata Hanum melintas diingatanku.

Kasusnya hampir sama. Hanum salah satu temanku di salah satu es-em-pe. Karena ayahku seorang pejabat di kantor pengadilan maka aku tidak hanya mengecap pendidikan di satu sekolah. Es-em-pe saja aku sudah pindah 2 SMP. SMA aku pun ada di 4 kota, Banjarmasin, Sampit, Palembang.dan Jakarta. Hanum, temanku di es-em-pe Surabaya. Kami dipertemukan dalam grup WA. Grub yang ramai dengan guyonan, canda dan saling mengolok-olok. Sebenarnya Hanum juga suka becanda. Aku tahu itu dari komentar-komentarnya yang sering bikin tertawa. Terkadang juga judes, itu sangat berasa bila ada anggota grup yang mulai bercanda yang aneh-aneh.

Sampai suatu hari, Jim melontarkan satu banyolan yang bagi Hanum tidak etis dengan kalimat Hanum, boleh dong aku memukul bokongmu......yang saat itu masih ditanggapi dengan sedikit becanda oleh Hanum. Tapi Jim tidak berhenti sampai disitu melainkan melontarkan kata-kata yang semakin membuat marah Hanum. Betul saja.......berakhir dengan kalimat-kalimat Hanum yang menohok siapapun yang membacanya dan Hanum kemudian left dari grup.

Beberapa hari kemudian aku menemui Hanum. Kebetulan ternyata kami tinggal di kota yang sama. Waktu janji bertemu, Hanum diantarkan suaminya. Karena suaminya harus kembali ke kantor, maka Hanum ditinggal oleh suaminya setelah ngobrol denganku sejenak. Di kafe milik Kay  teman SMA-ku, kami bertemu. Aku berjanji hanya sebentar bicara dengan Hanum dan kepada suaminya aku minta ijin akan mengantar Hanum pulang. Tetapi suaminya menolak, dia akan jemput isteri-nya tepat di jam makan siang di kafe Orange ini.

Aku menyampaikan pada Hanum bahwa dia marah, itu benar. Bahwa dia kemudian memberi teguran keras pada Sam, itu benar. Bahwa dia meninggalkan grup, itu yang tidak benar. Kalau dia sudah memaafkan Sam, seharusnya dia tetap berada di grup dan berbuatlah seperti biasa lagi. AKu melihat wajah Hanum memang agak berubah. Semula dia mempermainkan tissue yang sejak tadi ada di tangannya. Es jeruk di depannya sudah berembun, belum juga dia sentuh karena mendengarkan apa yang kusampaikan. Tetapi begitu sampai pada ujaranku agar dia bisa bersikap biasa-biasa lagi ke Sam, tissue itu dia remas. Hanum kemudian bersidekap, melihat tangan di dadanya bahkan terlihat seperti menekan agar sesuatu tidak terloncat dari apa yang didekapnya.

Melihat perubahan itu, aku sempat terhenti. Namun kemudian Hanum memberi kode dengan jarinya untuk aku meneruskan kata-kataku. Aku bilang
"Ayolah Hanum......kita kan sudah lama tidak bertemu, tidak berkumpul.....jadi anggap biasa saja apa yang dilontarkan oleh Sam.....toh kamu sudah memaafkannya.....kalau sudah memaafkan tentu bisa melupakan dan menganggap itu tidak terjadi kan ?"

Saat itulah Hanum berdiri. Aku meraih tangannya meminta untuk duduk. Tapi dia menepiskan dengan keras dan..................

Airmataku menetes. Aku, lelaki beristeri dan isteriku diperlakukan rendah oleh temannya, apa iya aku akan berdiam diri ? Airmataku menetes, ingat kembali kata-kata Hanum......kalau suamiku tahu bahwa isterinya sudah dilecehkanmelalui kata-kata oleh orang itu......aku yakin, suamiku akan mendatangi orang itu dan menempelengnya sebagai upaya perlindungan atas hak perempuan sepertiku. 

Kudengar pintu kamar mandi berderak, tanda Mimi sudah selesai mandi. Kupejamkan mata setelah menghapus air yang menetes diantaranya. Kuatur nafasku dengan baik. Kudekap tanganku didadak agar yang ada dalam hatiku tidak terlontar. Mimi menyentuh tubuhku. Aku biarkan tangannya yang dingin setelah kena air itu merembes di piyama yang kukenakan.

"Pah.....papah....." suara Mimi terdengar sambil menepuk tubuhku dengan pelan. Kemudian berhenti karena aku tidak menyahut. Semoga, dia berfikir kalau aku kembali tertidur. Tak berapa lama, langkah Mimi menjauh. Kudengar lagi pintu terbuka lalu ditutup. Sesaat kemudian, aku membuka mata. Aku telentang. Kulirik, handphone Mimi sudah tidak ada di atas kasur. Tentu sudah dia bawa. Kebiasaan Mimi bila pagi hari, masak buat sarapan, masak buat bekal Adi, Reina dan Noval serta aku sambil mendengarkan tausyiah da'i yang lagi kondang di era milenial ini. Sayup-sayup aku mendengar suara tausyiah itu. Sesekali terdengar suara Mimi memanggil ketiga anak kami. Rasanya aku enggan untuk bangkit dari tempat tidur. Tetapi, aku harus tetap ke kantor dan mengantarkan ketiga anakku ke sekolahnya masing-masing. Tanganku meraih handphone yang ada i lemari kecil dekat tempat tidurku. Kucari nomor hap Iswandi, lalu aku kirim pesan kepadanya agar menjemput dan mengantar anak-anakku ke sekolah. Iswandi, sopir di kantor, menjawab siap Pak. Rumahnya tidak jauh dari rumahku dan biasanya anak Iswandi akan bersama-sama dengan Reina ke sekolah karena mereka satu sekolah beda kelas.

Aku masih berebah, ketika Reina masuh dan mendekati aku.
"Papah sakit ya ? Koq ndak bangun-bangun.....kan sudah waktunya sarapan"

Aku melambai ke arahnya, Reina mendekat. Aku angkat tubuhnya, aroma bedak bertebaran di hidungku. Wangi.....

"Papah masuk agak siangan, sebab hari ini Papah ada acara kantor di hotel..... Reina pergi sama Om Iswandi ya ?"
"Sama-sama Mika juga dong" sahutnya sambil tersenyum lebar. Mika itu anak Iswandi. Aku mengangguk, sesudah cium pipi kira-kanan, Reina bergegas menuju pintu.

"Tapi Papah sarapan sama kami kan ?" tanyanya sebelum menutup pintu. Aku kembali mengangguk. Setelah Reina keluar, aku berdiri. Ah.......kepalaku agak berat.

================

Suara Mimi tersendat-sendat dan aku duga dia menagis, yang menyebabkan aku bergegas kembali ke rumah. Tidak, di hotel ini tidak sedang ada pertemuan kantor. Ini pertemuan khusus dan tempatnya di sebuah Kafe, kafe milik Kay. Hanya aku yang tahu. Masih penting isak tangis Mimi daripada wajah merah yang baru saja kena bogem mentah dari tanganku. Oleh karenanya, aku pulang dan kubiarkan lelaki itu mengusap-usap pipinya. Sebelum aku berlalu aku ucapkan satu kalimat sambil menunjuk ke wajahnya dan dengan suara rendah seperti yang dilakukan Hanum padaku.

"Aku suami dari Mimi, perempuan yang kamu lecehkan di grup whats app itu. Silahkan tuntut kalau kamu keberatan dengan pukulanku tadi.......kita lihat, apakah negara akan membiarkan orang seperti kamu bebas melecehkan perempuan"

Mimi akhirnya menangis sesungukkan di pelukanku begitu aku masuk ke dalam kamar. Handphone ditangannya dia perlihatkan ke aku. Aku mengusap airmatanya, mengusap rambutnya....... ternyata bukan hanya Hanum yang punya harga diri......isteriku juga. Kupeluk erat tubuhnya. Kukecup berulang-ulang pelipisnya dan kubisikkan ke telinga-nya

"Keluar saja dari grup itu sayang.......karena tidak satu orangpun membela kamu di grup itu..... mau kan ? Left saja dari grup" 

Aku rasa, Mimi mengangguk. Aku melihat bayangan Hanum tersenyum ke arahku. Terima kasih sahabat, kamu sudah mengajarkan aku untuk menjadi suami yang membela harkat dan martabet perempuan, terutama isteri-ku.




Ada banyak manusia di luar sana yang tidak memahami pentingnya menjaga harkat dan martabat perempuan, kemudian menganggap perempuan sama seperti lelaki. Dan itu.......tidak hanya dilakukan oleh kaum lelaki bahkan perempuanpun masih punya stigma yang tidak berbeda dengan lelaki mengenai harkat dan martabat perempuan.

YANG TERCECER

Ada sebuah tanya yang belum terjawab sampai sekarang.
Mengapa tiba-tiba dia mengambil tempat duduk disampingku ?
Sebelum2nya, dia duduk jauh dariku bahkan mungkin tidak pernah menganggap aku ada dalam ruangan 4x4 meter tempat kami menimba ilmu. Hari itu, dia tiba-tiba duduk disampingku. Aku tidak lantas menjadi senang melainkan timbil tanda tanya.... ada apa ?
Aku tetap seperti aku, mencatata apa yang tertulis di papan tulis dan sesekali menjawab bila Linda yang duduk di sisi kiriku mengajak bicara. Lelaki itu masih tetap duduk disampingku.
Aku mengingat betul gayanya waktu itu. Tetapi karena waktu itu sedang heboh adanya gambling ala pelajar maka aku tidak berani memastikan, lelaki yang tiba-tiba duduk disampingku itu sedang ingin mendekatiku untuk memenangkan sebuah taruhan meluluhkan gunung es. Uppppssss sebegitu dinginnya kah aku di mata mereka... atau itu hanya perasaanku saja ?

Pertanyaan itu, kembali terlintas di benakku beberapa saat tadi, ketika sebuah tepukan dibahu, membuyarkan lamunanku.
"Mikirkan apa, Byan" tanya si empunya tangan yang menepul bahuku.
"Tiba-tiba ingat Morgan" jawabku jujur, sambil menggeser tempat duduk.
"Hmmmmm Morgan yang....." Dia menjawab sambil memberi kode ciri fisik orang yang tadi kusebut. Aku mengangguk.
"Iya....Morgan anak Manado yang putih bersih dan rambutnya seperti rambut jagung...  Pirang bikan tapi jelas bukan hitam"
"Kenapa dengan dia ?"
"Dia pernah....tiba-tiba saja duduk di sampingku saat pelajaran Pak Jae. Aku tadi bertanya, kenapa tiba-tiba dia duduk di dekatku waktu itu"
"Dia naksir kau mungkin" ucapnya sambil melingkarkan tangannya di bahuku.
"Aku bukan tipe dialah"
"Atau dia bukan tipe kamu" sambarnya sambil sedikit mengguncang bahuku. Aku tertawa hambar. Aku biarkan tangan kekarnya makin erat merengkuhku.

Senja itu, aku dan Jie sedang duduk di teras sebuah rumah betang. Tempat kami dulu bermain. Jie, sangat tahu teman-teman semasa kuliahku meski dia tidak sekampus denganku. Karena kami dari es-em-a yang sama maka sesama perantauan tentunya akan saling mendukung. Jie, pernah berperan seolah jadi pacarku hanya untuk menutupi aku yang sendiri saja diantara anak kost-kost an yang rata-rata punya pacar sungguhan. Hanya saja, aku tidak menduga ternya selesai kuliah, orangtua Jie sungguh-sungguh melamar aku. Yaaaa yang merengkuhku itu Jie, suamiki, teman sekolahku. Sedangkan yang kami bicarakan adalah Morgan, teman kuliahku yang sampai sekarang aku belim tahu jawabnya, mengaoa tiba-tiba dia duduk di sampingku.

"Kenapa tiba-tiba kamu ingat Morgan, Byan ?"  Jie melontarkan pertanyaan sesaat pikiranku mengingat Morgan barusan. Aku melepaskan rengkuhan Jie dan mengambil sesuatu dalam tas yang dari tadi aku peluk. Jie memperhatikanku. Aku menyodorkan selembar kertas ke arah suamiku itu yang terus diambil oleh Jie kemudian dia baca.
"Ya ampun Byan....baru menikah ?" sontak Jie bertanya begitu selesai membaca. Ya, itu undangan dari Morgan. Dia baru menikah. Pertanyaan Jie itulah yang kemudian mengembalikan ingatanku pada Morgan.
"Kenapa baru sekarang ya menikahnya ?"
Yaaaa kenapa baru sekarang ? Ada hubungannya juga dengan pertanyaanku, mengapa tiba-tina Morgan duduk disampingku saat mata kuliah Pak Jae ?
"Kasihan....mungkin dia patah hati Byan ya sehingga baru sekarang dia menikah....coba hitung berapa umurnya sekarang.....ck...ck...padahal kurang apa dia.... Ganteng, cakep, mudah bergaul, anak keren di jamannya....anak orang kaya pula...." Ujar Jie sambil berdiri.
Aku terdiam mendengar semua ucapan Jie. Itu benar. Tapi......aku mendongak memandang ke arah Jie dan dia justru menatapku dengan pandangan tajam. Ciri Jie bila ada emosi dalam kepalanya. Aku berdiri.
"Tahu darimana semua tentang Morgan, Jie ?" tanyaku pelan. Jie memang tahu hampir semua temanku, tapi tidak dengan Morgan. Karena dia tidak pernah masuk dalam kehidupanku selama kuliah makanya aku tidak pernah bercerita tentang Morgan. Tapi Jie tahu semuanya ?
Jie membuang muka dari tatapanku. Lelaki yang sudah menemaniku selama sepuluh tahun dengan status suami ini, akan begitu bila sedang menahan marah. Berarti, Jie marah padaku. 
"Undangan ini, dari siapa ?" tanya Jie  kemudian masih tetap berpaling dariku.
"Linda yang mengirimkannya. Nih resi tanda terimanya pagi tadi kuterima"
Jie kemudian memandangku. Tuhan...  Mata Jie tajam dan membuat getaran tersendiri dalam hatiku. Getaran yang justru membuat aku mendekat dan memeluknya....  Jie agak gelagapan namun tangan kekarnya kemudian membalas pelukanku. Aku merasa nafas Jie berhembus di ubun-ubunku. Tubuhnya yang lebih tinggi dari aku, memungkinkan dia mencium ubin-ubunku. Dan itu akan dilakukan Jie bila ingin mengatakan sayang dan cintanya untukku.
"Byanca Saraswati...." Jie menyebut namaku. Lalu mengendurkan pelukannya memegang bahuku.
"Terima kasih sudah mencintai aku sungguh-sungguh meskipun sewaktu kuliah dulu kita berpura-pura sebagai kekasih....." mata Jie masih tajan menatap ke arahku.
"Sepuluh tahun kita hidup sebagai suami-isteri, aku tidak pernah meragukan setia dan cintamu padaku" ujarnya kemudian. Aku menatap bola matanya.
"Apakah sekarang meragukanku ?" aku bertanya seolah seperti pada diriku sendiri. Jie memelukku lagi. Tidak lama.....kemudian mengecup keningku.
"Ketika kamu menyebut nama Morgan, hatiku sempat tersayat....ketika kamu bertanya mengapa tiba-tiba Morgan duduk disampingmu, ada cemburuku disana" kata-kata Jie membuat dahiku mengernyit. Dia mencemburui Morgan ?
Jie mengajak aku duduk lagi. Dan kali ini, aku menyandarkan tubuhku sepenuhnya ke Jie. Aku memang tidak ingin menyisakan satu ruang untuk membatasi dekatku dengan Jie karena aku menyerahkan seluruh hati, jiwa dan cintaku untuknya sejak akad nikah terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Dari mulut Jie kemudian meluncur cerita tentang pertemuannya dengan Morgan. Ternyata Morgan bekerja di perusahaan perbankan yang sama dengan Jie hanya saja Morgan bertugas di wilayah Sumatera sedangkan suamiku bertugas di wilayah Kalimantan. Pertemuan terjadi di Jakarta tahun lalu. Disitulah kemudian rahasia Morgan yang disimpannya bertahun-tahun terbongkar. Morgan membongkarnya dihadapan Jie yang saat itu mengatakan "mengenal Byanca Saraswati" dan tidak mengatakan sebagai "suami Byanca Saraswati". Kemudian, dari Jie jugalah Morgan mendapat kepastian bahwa tidak mungkin lelaki dari Manado itu bisa meraih cinta Byanca lagi. Byanxa sudah menikah dan hidup bahagia. Kata Jie, mata Morgan berkaca-kaca waktu mendengar penuturan Jie. Aku pun membayangkan perasaan Jie saat mendengar ada laki-laki lain bernama Morgan yang ternyata memendam cinta untukku sedangkan aku begitu acuh dan asyik dengan duniaku waktu itu sehingga dia tidak mendapat peluang untuk menyatakan cintanya padaku. Morgan memendamnya sampai dia bertemu dengan Jie.

Aku bergeser, bagai anak kecil yang ingin mendapat rasa puas disayangi. Aku duduk di pangkuan Jie. Menyandarkan tubuhku ke dadanya.
Aku mendengar dengan jelas detak jantung Jie. Teratur.....menandakan emosinya sudah tidak lagi mempengaruhi hati dan pikirannya.
"Jie, aku mencintaimu dari pura-pura menjadi cinta yang sebenarnya..... Aku tidak ingin menggantikan dengan apapun cintamu untukku. Tetaplah berdo'a agar kita tetap bersama-sama hingga kehidupan sesudah mati kelak" ujarku yang disambut dengan pelukan erat, lelaki yang kukenal dimasa sekolah dulu.

Undangan Morgan.... terbang tertiup angin. Kami memutuskan tidak menghadiri undangan itu.

Senin, 04 Maret 2019

HATIKU-HATINYA

Aku berdiri di jalan setapak yang sunyi. Sudah tiga puluh menit berada di tempat ini. AKu memang datang terlalu cepat dibanding janji bertemu pagi ini. Seharusnya, aku tiba pukul 08.00 tetapi saking bersemangatnya, aku mendahului waktu janji dan sudah tiba pukul 07.00 setengah jam yang lalu. Semula, aku duduk di bangku itu, tak jauh dari tempat aku berdiri ini. Sekarang, bangku itu sudah diduduko sepasang kekasih yang asyik bercengkrama berdua.

Ah.....apakah mereka sama seperti aku, sedang merasakan gejolak hati dan begitu bungahnya sehingga tidak sabar untuk bisa berjumpa lagi dengannya.....tanyaku membathin, sambil sekilas melihat ke arah pasangan yang saat ini sedang duduk saling memanjakan. Yang lelaki merangkul pundak,perempuan sedangkan si perempuan bersandar manja di tubuh lelaki. Mereka tampak mesra. Mereka tampak bahagia.

Aku kemudian menggerakkan kaki perlahan. Kami tidak berjanji bertemu disini. Melainkan berjanji bertemu di salah satu sudu taman ini, dimana ada tumbuh pohon saga. Pohon berbatang besar dengan daun kecil-kecil dan bunga berwarna merah saga. Pastinya bukan di bagian ini, karena disni hanya banyak perdu dan pohon-pohon ketapang yang berdaun lebar dengan dahannya yang membentang. Langkah perlahanku menarik perhatian beberapa orang dan mereka menyapaku dengan ramah.

Huuuuueeeeh.....mereka mungkin berfikir, aku sedang mencari udara segar setelah seharian berkurung saja di dalam rumah..... Mereka keliru. Tempat ini hampir setiap sore aku kunjungi. Tidak pernah lepas dalam sehari, kecuali bila aku tidak berada di sini atau sedang hujan..... Bahkan terkadang bila hujan gerimis sekalipun, aku masih bisa membawa payung untuk berada di taman ini.

Tamannya tidak jauh dari rumahku......

Langkah kakiku sampai di tempat aku berjanji untuk bertemu. Perasaan bungahku kian membuat jantungku berdetak keras. Detak itu, semakin berasa keras, manakala tatap mataku tertuju pada sosok yang duduk membelakangiku. Ya....kursi taman di dekat pohon saga ini memang arahnya ke Timur sedangkan jalan setapak dari Utara ke Selatan. Aku melihatnya.

Aku melihat dia duduk, sesuai dengan apa yang dikatakannya saat membuat janji tadi. Dia mengenakan jaket bulu berwarna cream. Warna kesukaannya. Meskipun tubuhnya terbalut busana yang menutup hampir seluruh tubuhnya, aku melihat kemolekan pada dirinya. Rambutnya yang tertutup kerudung cokelat tua seperti katanya malam tadi, tentu masih ikal. Aku mendengar dia bersenandung mengikuti lagu yang dia putar di alat yang ada di tangannya. Seperti janjinya malam tadi. Dia bersenandung lagu kesenangan kami berdua.

Bunga anggrek mulai timbul.......aku ingat padamu....waktu pertama bertemu....kau duduk disampingku.....

Aku tersenyum sendiri sambil mempercepat langkahku menuju ke arahnya.

"Se.....se....selamat....pagi.....Anita" sapaku terbata-bata seperti tidak yakin bahwa dia adalah perempuan yang sama yang berjanji denganku malam tadi.

Perempuan itu menoleh. Aku melihat wajahnya !!!! Aku melihat wajahnya !!!! Ya Tuhan.....dia benar-benar Anita. Senyumnya.....senyum milik Anita.

"Selamat pagi.....Hans" jawabnya. 

Aku tercekat. Suaranya memang suara Anita. Aku belum pernah mendengarnya lagi sejak.......... AH, aku menghapus bayanganku itu karena aku harus segera duduk di samping Anita dan mengatakan sesuatu yang selama ini aku pendam.

"Aku turut berduka atas berita itu" ujarku yang disambut dengan senyum milik Anita. Tadi Anita membantuku duduk di sampingnya, karena dia tahu, tongkat yang membantuku berjalan tidak dapat membuat langkah kakiku kian cepat. Anita duduk kembali di sampingku.

"itu sudah bertahun-tahun lalu Hans......Aku sekarang disini....di depanmu....ada apa ?"

Aku kembali tercekat. Ya Tuhan......mampukah aku berterus terang padanya setelah kejadian itu ?

"Hans.....that's not your fault that you left me cause your parent decision" ujar Anita kemudian sambil memperbaiki posisi duduknya.

"But.... I still love you my dear.... I try to find you every where..... Try to explain what happened after we discuss about my family's decision"

"I thinks......it's finished.....you have to married with her.....your parent's friend daughter"

Ucapan Anita itu aku hentikan dengan sekali tutupan telapak tanganku.

"No....it's not happened my dear...... I love you so much and there's no one can changes my love to you.....where have you been after that day ?"

Anita menatap ke arahku dengan mulut sedikit ternganga.

"So....so....you....you...." kata-kata yang kemudian keluar dari bibirnya terdengar terputus-putus sambil jemarinya menunjuk ke arahku. Aku memahami keterbata-batannya itu sambil melebarkan senyum.

"Yeah..... I've never get married until now because I've waited for my true love....." aku memberi isyarat dengan daguku, menunjuk ke arahnya. Anita seperti tidak percaya kemudian menunjuk ke dirinya sendiri.

"Me......????" ujarnya setengah berbisik lalu dia memalingkan wajahnya dan beberapa saat kemudian aku mendengar isak tangisnya.....
"Why you are crying ? Please....please don't do that....pelase stop crying my love.....please..." aku berusaha menarik bahunya dan ingin mengusap airmata yang keluar dari kedua bola mata Anita. Tetapi tangan Anita mencegah aku melakukan keinginanku.

"You hear the wrong information about me" suara Anita sedikit rendah. Dia usap sendiri airmatanya.
"It's a foolish decision, I thinks.....why we at this game..... Hans....why ?" lanjutnya
"Sorry.....Anita....what do you mean ?" tanyaku tanpa menyembunyikan kebingunganku.

Anita menatap ke arahku. Mejamah tangan kiriku setengah takut namun setengahnya ingin sekali. Aku sendiri tidak dapat menahan hati, tangan Anita langsung aku raih dan aku genggam. Kuletakkan ke dadaku sehingga tubuh Anita dengan sendirinya tersandar di tubuhku. Seperti sepasang kekasih yang tadi aku lihat.

"Hans.....the man who you think about....he's not my husband...... I've never get married yet...like you"

Genggaman tanganku terlepas dan aku tatap Anita dengan sepenuh bola mataku.

"What ??????"  Aku tidak dapat menyembunyikan keterkejutanku. Kulihat Anita mengangguk berulang-ulang. Seolah ingin meyakinkan aku bahwa kata-katanya benar. Aku baru menyadari sesuatu...... Jari Anita ada cincinnya !! Bergegas kuangkat tangan kanan Anita dan aku terkesiap. Itu cincin.......kecubung ungu yang pernah kuberikan padanya. Memperhatikan apa yang aku aku lakukan, Anta tersenyum simpul.

"I love...you.....it's never died.....my love.....so....why didn't we met long-long time ago Hans ?"

Ucapan Anita seolah menyesali apa yang sudah terjadi. Aku sendiri takjub atas apa yang kudengar. Berarti ini yang Anita maksudkan betapa kebodohan dan permainan hidup yang menyebabkan kami begini.

"Can we......start it by now.....and try to happiness together, right now ?" tanyaku setengah berharap. Anita tertawa sejenak lalu berucap

"Now...??? Like this ?" Anita berdiri dan menunjukkan wajahnya, kedua tangannya bahkan kakinya juga yang semula tadi kukira lebih tegak dari aku ternyata disampingnya pun ada penyangga, sebuah tongkat...... Aku tergelakj.

"Never mind !! It's our moment....it's our day.....now..." ujarku bersemangat.....
"Please....please.....don't make the new mistakes......will you marry me Anita ? I beg you"

Anita menatap ke arahku. Matanya bulat, berbinar. Tangan kami menyatu dan kami saling pandang. Senyum kami sama-sama mengembang. Mentari terasa mulai menghangati kami berdua. Anita mengangguk, aku bahagia sekali dan sekali rengkuh aku peluk perempuan yang sangat aku cintaii ini.

Untuknya.....rentang waktu penantian yang begitu lama tetap aku jalani dengan hanya satu do'a. Sebelum nyawaku kembali kepada sang pemilik hidup, aku ingin bertemu dengan separuh hatiku..... Beruntung sekali, aku dapat mengenali wanita yang kucintai ini melalui akun fesbuk. Meskipun..... aku sudah.....

Ah, sebuah bola membuyarkan pelukan kami.....seorang bocah berlari ke arah kursi kami dan mengambil bola yang tadi mengenai sandaran kursi taman, dimana aku dan Anita duduk. Anak lelaki itu tersenyum lebar, sembari melambai dia menjauh

"Be happy grand-ma ... grand pha....."
Aku tersenyum simpul sambil menatap Anita......Hatiku.

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...