Minggu, 03 November 2013

MENGUBAH DIRI

Aku senang melakukan kontak dengan orang lain. Namun aku tidak ingin menjadi bagian dari kehidupan orang lain, kecuali yang sudah ditaqdirkan Allah Azza Wa Jalla sesuai dengan perjanjian hidupku menjelang aku lahir ke dunia. Jadilah, aku seorang yang terlihat tidak punya teman. Namun aku yakin, di dalam hati mereka aku adalah teman sebab dalam berteman aku tidak menggunakan pangkat dan jabatan, dalam berteman aku tidak memanfaatkan kekayaan dan penampilan.

Ada yang merasa terganggu dengan diriku yang seperti ini ?

Berubahnya Susu dan Nila
 
Ya, sudah pasti. Yang terganggu adalah mereka-mereka yang materialistik, memandang segala sesuatu dari segi fisik, penampilan dan kekayaan. Kalau materialistik diibaratkan cairan maka dia merupakan cairan nila yang bersifat merusak. Namun didalam kumpulan nila, setitik nila akan dengan sendirinya melebur menjadi satu dikarenakan kesamaan sifat dan pembawaan. 

Bagiku, aku bukanlah setitik nila. Aku senantiasa menempatkan diriku agar bisa berguna dan bsia bermanfaat bagi orang lain. Kadangkala orang lain mengambil manfaat berlebihan atas diriku, itu aku sangat tahu dan sangat memakluminya sebab orang-orang seperti aku jumlahnya sangat tidak banyak. Ibaratkan air susu, bukankah setiap tetesnya memberi manfaat dan sangat berguna bagi yang meminumnya ? Sedangkan susu itu sendiri tidak akan serta merta bermanfaat bila dibiarkan begitu saja. Susu itu harus diminum. Baru bermanfaat. Aku rasa, begitulah aku, ibarat susu.

Apakah susu akan bisa dikelompokkan ? Tentu saja bisa bila hanya sekedar disebut susu. Namun susu itu sendiri memiliki manfaat yang berbeda-beda sesuai dengan si penerima manfaat. Sehingga orang banyak mengenal susu untuk anak-anak, susu untuk ibu hamil dan susu untuk lanjut usia. Seharusnya ada susu yang bisa bermanfaat bagi semua kalangan umur sehingga susu tetap bisa membaur dalam satu kumpulan susu. Sayangnya, susu tetap terpilah-pilah.

Susu dan nila sama-sama berbentuk cairan. Hanya saja, ternyata antara nila dan susu memiliki karakteristik yang sangat berbeda. 

Disaat setetes nila dimasukkan ke dalam secawan susu maka dengan serta merta susu itu tidak akan bisa dimanfaatkan lagi sebab susu bercampur nila akan dominan sifat perusaknya daripada manfaatnya. Kenapa ? Karena suspensi nila yang lebih cair sehingga gampang masuk ke molekul-molekul susu yang lebih padat. Oleh karena itu, meskipun volume nila hanya setetes sedangkan volume susu secawan maka nila yang setetas dapat merusak sifat susu yang secawan.

Bagaimana bila nila yang secawan sedangkan susu hanya setetes ? Karena suspensi-nya lebih kental maka susu akan tetap berbentuk susu dan nila hanya saja karena sudah jelas nila-nya yang banyak maka susu setets itu tidak berguna apa-apa dan besar kemungkinan akan rusak dari waktu-waktu.

Sadarkah bahwa di sekitar kita hanya sedikit yang menjadi susu dan lebih banyak yang menjadi nila ? Betapa beratnya susu-susu ini mempertahankan formula agar tetap bisa memberi manfaat sedangkan nila kian hari bertambah tingkat perusakannya. Susu tidak serta merta berubah menjadi nila baik sifat serta warnanya, hanya saja sifat perusak dari nila yang menyebabkan susu tidak lagi memberi manfaat.

Jadi, meskipun ada yang merasa terganggu dengan diriku, sepanjang aku berdiri pada kebenaran hakiki yang kuambil dari aqidah yang kuyakini......maka aku akan tetap menjadi setetes susu meskipun berada di secawan nila.

Berubahnya Batu dan Bunglon

Ada yang merasa terganggu dengan diriku yang seperti ini ?

Sudah pasti ada, bahkan ada yang kemudian melalui berbagai macam cara agar aku berubah. Berubah seperti yang mereka inginkan.

Allah Ta'ala menciptakan bunglon agar kita bisa belajar banyak darinya. Untuk self defenses, seekor bunglon akan berubah-ubah warna sesuai dengan lingkungan dimana dia berada. Adalah sangat bagus menjadi seekor bunglon sebab gampang sekali menyesuaikan diri. Penyesuaian diri-lah yang diperlukan, bukan self defenses-nya. Sebab apabila elsf defenses yang didahulukan maka sifat bunglon tidak jauh beda dengan sifat nila. Bunglon berubah untuk keamanan dirinya sendiri, padahal lingkungan tidak selalu membuat dia mati terbunuh bahkan justru lingkungan akan bingung dengan perubahan yang sering terjadi dalam hitungan detik. Atau mungkinkah bunglon memiliki sifat yang tidak disukai dan sifat merusak sehingga dia harus sesering mungkin berubah warna agar bisa menipu lingkungan yang tidak menyukai dan bisa merusak lingkungan yang sudah menerimanya ? Aku, tidak ingin seperti bunglon.

Tahukah sebuah batu ? Apakah batu bisa berubah ? Batu tidak akan pernah bisa berubah. Dia tetap keras. Dia tetap kaku. Dia tetap pada bentuk dan sifatnya meski direbus, dipanaskan atau dibekukan.  Batu, hanya dihancurkan dia bisa pecah namun sifatnya tidaklah berubah masih keras sebagaimana layaknya batu. Jelas, aku tidak ingin seperti batu. Allah Ta'ala menurunkan batu agar manusia bisa membaca betapa menjengkelkannya sebuah batu, meskipun kecil dan terselip di ujung sepatu.....tetap memberi rasa tidak nyaman. Aku, tidak ingin seperti batu.

Aku hanya akan berubah, sesuai dengan kodratku sebagai bagian dari alam yang ber-evolusi sesuai dengan kebutuhan dan waktu untuk itu. Sepanjang aku melakukan hal yang tidak bertentangan dengan aqidahku......maka aku tidak akan mengubah diri.

Senin, 14 Oktober 2013

CITRA di MALAM TERAKHIR bersama JIE

Aku ingin memperkenalkan namanya yang sangat panjang dan terkesan penuh kharisma itu. Tapi tidak usahlah. Panggil saja dia dengan sebutan Jie. Mudah dan praktis bukan ?
Aku kenal tidak sengaja dengan Jie. Melalui dunia yang tidak jelas......yaitu dunia frekwensi lokal radio 2 meter band. Tetapi, Jie bukanlah makhluk maya sebab kenyataannya, laki-laki itu kakak kelasku. Hahay, di kota yang hanya memilik empat Sekolah Lanjutan Tingkat Atas itu, sudah barang  tentu sekolah negeri tempat kami bersekolah inilah yang terbaik. Tidak heran bila manusia-manusia di dalamnya juga lebih canggih dibanding sekolah lainnya.

Memiliki perangkat radio 2 meter band bukanlah hal yang biasa-biasa saja sebab saat itu hanya dimiliki oleh para pejabat atau orang  yang berada di kelas ekonomi menengah ke atas. Aku tentunya bagian dari itu karena posisi kedua orangtuaku. Cieeeee narsis katanya, di jaman sekarang ini. Dan Jie....salah satu pemilik alat komunikasi yang canggih dijaman itu.

Komunitas radio lokal di kota ini memang dihuni sebagian besar dari sekolahku. Seperti yang menggunakan nama "Yank-qu" sebenarnya kakak kelas yang dijurusan IPS sedangkan yang satu kelas dengan lelaki itu ada Nela, Susi, Maria, Tulus, Roy dan banyak lagi. Teman seangkatan dan sekelasku malah lebih canggih lagi......mereka sering merakit sendiri pesawat radionya dan on air di frekwensi yang mereka sepakati. Dunia maya.....bermula dari sini.

Kembali soal Jie, kakak kelasku yang satu ini cukup antik. Dia tahu, aku yang sering on air dengannya setiap malam. Terkadang, pada malam tertentu dia sedang mengerjakan pekerjaan rumah seperti setrika baju, mengerjakan pe-er dan sebagainya.......dia suruh adiknya memegang mikropon dan mengatur lalu lintas obrolan antara kami berdua. Heiiiiiheeeeyyy......tapi selalu berakhir di udara saja sebab jam sekolah kami berbeda. Aku masuk siang sedangkan Die masuk pagi. Bukan kenapa-kenapa sih.....karena sekolah kami sedang dibangun menjadi sekolah permanen.

Hari itu, dikantin depan sekolah, Jie menguntit dari belakang, saat aku dan teman-teman sekelasku membolos dan membeli jajanan di kantin itu. Jie duduk tidak jauh dariku. Sambil menikmati tahu-tempe goreng terjadilah dialog antara aku dan Jie.

" Bolos lagi ya Yan ?"
" Hemmmmhh....kenapa emangnya ?"
" Enggak.......Nggak takut ditegur Pak Gun?"
" Yaaa kan rame-rame....jadi dimarahinnya juga rame-rame "
" Nanti sore ada jadwal ?"
" Iya....di rumah Bowo tuh....latihan nyanyi"
" Ditunggu ya..."
" Latihan juga ?"
"Iya....karate  hehehe.....mau ikut ?"
" Enggak ah....bukan bidangku"
" Ya udah.....ntar sore tunggu ya ?"
" Apanya ?"
" Di rumah Bowo kan ?"
"Gimana sih....katanya latihan karate koq disuruh nunggu ?"
" Aku karatenya di lapangan kantor bupati....kan satu arah ?"
"Oooooh.....boleh lah....emang mau ngapa ?"

Jie tidak menjawab melainkan berdiri dan mengejar temannya yang sudah keluar dari kantin setelah menyerahkan uang dua ribu rupiah sambil menunjuk ke arahku. Aku menggeleng dan Sahrul temanku sekelas kemudian mengangguk sambil menunjuk dirinya. Jadilah, uang dari Jie yang mestinya buat bayarin tahu-tempe yang kumakan, dibayarkan buat Sahrul. Dasar semprul.....

Sore itu, aku dan Jie emang jalan barengan. Hanya saja, dia sambil menuntun sepeda-nya sedangkan aku memegang payung. Cieeeee kayak di filem-filem romantisan aja kayaknya. Naaah tapi ada temanku yang lain disamping dan dia juga sedang berjalan beriringan dengan kami. Makanya, Jie tidak berani bicara banyak. Sampai di simpang tiga, kami harus berpisah. Sebelum berpisah, Jie meminta agar aku on air malam ini.

Malam minggu ini sudah pukul sembilan. Aku masih bersama Jie di frekwensi dengan angka acak setiap 15 menit dengan kode mengantuk nih. Bagaimana cara mengacaknya ? Hanya aku dan Jie yang tahu. Bila kami on air dari usai shallat Isya tadi maka sudah lima frekwensi kami berpindah. Di frekwensi yang terakhir, Jie memintaku untuk bersabar sedikit.....ada yang dia persiapkan. Aku menuruti apa maunya. Setelah frekwensi hening beberapa saat, aku mendengar suara denting gitar.

" Jie....mau nyanyi ?"
"Kamu suka nyanyi kan Yan ? Aku juga"
"Ini mau nyanyi apa Jie ?"
"Kalo kamu jago nyanyi....ayo tebak, lagu apa ini ?"

Jie memainkan gitarnya dengan melodi yang sudah aku hafal. Dari lagu anak-anak sampai lagu dewasa bisa kutebak.

" Ini lagu buat  kamu, Yan..... tebak dulu....nanti kunyanyikan ,"
Jie memetik gitarnya, tanpa melodi dann aku hanya mencoba mengikuti irama yang dia mainkan.
" Punya Bimbo ya Jie ?"
"Iya....apa Yan ?"
"Ntar dulu.....nti nyanyiin buat aku ya ?"
"Kalo tebakannya benar...."
"Citra ya Jie ?"
"Kamu pintar Yan...."

Akhirnya, Jie menyanyikan lagu itu sampai habis.
" Yan.... kamu lebih memilih disayang apa dicintai ?"
"Dua-duanya Jie...."
"Satu aja Yan...."
"Aku nggak milih kalo cuman  satu"
"Kalo aku punyanya cuman satu Yan.....sayang aja"
"Koq nggak cinta ?"
"Karena sayang lebih luas daripada cinta Yan...."
"Saking luasnya kan sayang buat keluarga besar Jie.....buat kekasih apa dong ?"
"Aku belum mau punya kekasih "
"Siapa yang menyuruh kamu punya kekasih ? Sayang sama cinta tadi tu loh"
" Kamu mau enggak nunggu aku sampai selesai kuliah "
"Jie....emang aku disuruh nunggu, mau dijadikan apa ?"
"Pendamping hidupku Yan.....mau enggak ?"
"Jie....bukannya ntar kita belum tahu siapa jodoh kita ?"
"Aku mau....kamulah jodohku Yan"
"Kita nggak bisa memastikannya Jie....siapa tahu kita ketemu jodoh yang berbeda"
"Yan....kalau nanti ternyata kamu dah merried dan aku juga dah punya pasaangan....boleh dong kita cerai dari pasangan dan kemudian kita bedua jadi pasangan ?"

Aku tidak berani menjawab kalimatnya malam itu. Itu bukan pembicaraan terakhir sebab masih ada on air-on air di malam hari. Masih ada lagu Citra dari Jie untukku. Sampai akhirnya Jie mengatakan sesuatu padaku melalui frekwensi itu.

" Yan...besok kita ketemu di kantin ya ? Ada yang  mau aku titipkan sama kamu "
Itu hal terakhir pembicaraan aku dengan Jie. Sebab, aku tidak berani menemuinya di kantin. Bukan karena takut dimarah Pak Gun gara-gara membolos lagi melainkan aku takut tidak bisa menerima apa yang dititipkan Jie kepadaku. Jie mungkin kecewa sebab hingga kelas berakhir aku tidak juga muncul. Sedangkan aku tidak menyangka bahwa itu hari perpisahan antara aku dan Jie sebab beberapa hari kemudian aku tidak mendengar suaranya di radio. Aku tidak mendapatkannya di jam istirahat. Aku tidak ditunggunya sepulang sekolah. Aku tidak lagi melihat senyumnya setiap berjumpa denganku. Ternyata, orangtuany yang hakim itu, dipindah ke Makassar......

Semoga, Jie membaca blogspot-ku ini. Aku hanya ingin menyampaikan kalimat ini padanya :

Jie......sesungguhnya akau pernah menyayangimu.....sesungguhnya aku pernah setia padamu....tetapi ketidak pastian menyudutkan aku pada hidupku......setelah bertahun tak lagi kudengar Citra darimu, aku bersenandung sendiri lagu indah itu......bertahun-tahun lamanya
Saat ini, aku sudah memiliki anak bahkan hampir memiliki cucu.....tidak mungkin aku mengikuti apa maumu meski suatu saatt kita akan bertemu.......
Maaf Jie, aku ternyata memang diciptakan bukan menjadi jodohmu


NINOY dan IYUNG

Datang Tak Diundang

Hari itu, aku melihatnya duduk di teras rumahku. Santai sekali, memandang kesana-kemari seolah menyatakan betapa dia menikmati posisi duduknya. Kudekati, lalu kusapa
"haaaaaiiiiii" ujarku. Dia menoleh dan tentu saja tidak akan menjawab dengan sapaan balik melainkan dengan suaranya yang terdengar ramah......
"miiiyaaaooonggg...."
Kubelai bulunya yang berwarnaa kuning, ekornya yang membentuk huruf S itu mengibas kegirangan.
"Kamu sesat ya ? Lapar ? Sini ikut aku....ada ikan di dapur dan nasi buat kamu" ujarku seraya menghentikan belaian di bulunya. Kucing itu meloncat dari tempat duduknya dan mengikuti aku masuk ke rumah.
 " Kucing siapa Yan ?" tegur bunda ketika melihat aku mengangkat kucing itu dan kubawa ke dapur.
" Entah Bun....ada di depan dan kayaknya lapar nih kucing " sahutku terus meletakkan kucing itu di dekat lemari dapur kemudian menyiapkan makanan untuknya.
Kucing berbulu kuning itu makan dengan lahap. Aku menunggu sampai dia selesai makan. Aneh, aku merasa dekat dengan kucing itu. Sesudah makan, aku berdiri dan kucing itu mengikutiku. Aku melangkah ke kamar kecil terus aku katakan,
" Ini tempat kamu kencing dan buang kotoran.....jangan berak sembarangan apalagi kencing sembarangan sebab nanti kami susah shallat,"

Entah mengerti atau tidak, aku harus menyampaikan kepada makhluk itu mengenai aturan main bila mau tinggal di rumahku. Hehehe padahal aku belum bertanya pada kucing itu, apakah dia mau tinggal di rumahku aku tidak.

Ikuti Aturan Rumah

Sudah sebulan kucing itu tinggal bersamaku. Ayahku sudah memberi pengumuman barangkali ada yang kehilangan kucing.....namun satupun dari tetangga di komplek tempat tinggalku tidak ada yang datang dan mengambilnya. Jadilah kucing itu dalam pemeliharaanku. Barangkali ini kucing agak ajaib sebab sejak dia datang tidak pernah kencing sembarangan bahkan bila dia akan berak mengeong-ngeong minta dibuakan pintu toilet. Padahal jenis kelamin-nya jantan.

Aku, anak tunggal dalam keluargaku jadi di rumah aku sering tinggal sendirian. Kakak- adikku laki-laki jadi mereka punya kehidupan tersendiri. Adanya kucing itu memberikan kehidupan yang berbeda bagiku sebab dia bisa mengajak aku main kejar-kejaran. Kadang kala sepertinya kucing ini mengajak main petak umpet bahkan bisa mengaget-ngagetin bila kita seolah-olah tidak melihatnya. Entahlah, kehadiran kucing ini memang membuat suasana baru saja bagiku. Aku memberi nama : Ninoy

Ninoy naik sepeda motor

Suatu hari, sepulan bepergian aku meliat Ninoy berjalan dilapangan bermain tak jauh dari rumahku. Kuhentikan Honda Astera warna hitam itu dan kupanggil namanya. Kucing itu menjawab terus berhenti dan memandangku.

" Mau naik motor sini ? Ayo jalan-jalan...." kataku sambil menepuk jok bagian belakang. Subhanallah.....kucing itu melompat ke atas jok yang kutepuk dan duduk dengan tenangnya sambil mengibas-ngibaskan ekor.

"Jangan  melompat yaaaa apalagi kalau jalanan sedang ramai...." ujarku yang disahuti dengan suara meong dari mulut Ninoy. Sepeda motor aku jalankan pelan-pelan, takut Ninoy terkejut dan melompat. Tapi tidak....dia tetap santai di tempatnya. Gas motor agak kunaikkan, Ninoy tetap ditempatnya. Akhirnya aku berputar-putar di komplek perumahan dengan membawa Ninoy di belakangku. Jadilah aku tonton-tontonan orang-orang di komplek sebab memboceng seekor kucing di kendaraan roda dua !!!

Jangan Berjanji Padanya

Bunda sempat kelabakan gara-gara sudah dua hari Ninoy tidak mau menyentuh makanan yang disediakan di piringnya. Dikira Bunda karena Ninoy dah bosan dengan piring makannya. Tetapi ternyata tetap saja Ninoy tidak menyentuh makanan meski piringnya sudah diganti.

Karena dua hari tidak makan, kucing itu benar-benar kehilangan gairah. Aku juga panik dibuatnya, sebab dia hanya minum kemudian merebahkan diri di dekat  lemari makan. Entah tidur, entah menahan lapar.....yang pasti matanya selalu terpejam.

Pada hari ketiga, Bunda pulang dari kantor membawa ati ayam yang digoreng kemudian meletakkannya di atas meja. Ninoy bangkit dari posisi berebah dan mengeong panjang lebar meraih-raih kaki Bunda. Saat itulah Bunda tertawa terpingkal-pingkal. Aku tidak mengerti kenapa Bunda tertawa kegelian seperti itu. Sebenarnya, bisa saja Ninoy bertindak liar dengan melompat ke meja dan membawa lari ikan yang diinginkannya apalagi sudah dua hari dia tidak makan. Tapi Ninoy malah mengais-ngais kaki Bunda. Aku pikir itulah yang bikin Bunda tertawa geli.

Ninoy berhenti mengeong setelah Bunda menyiapkan makanan di piringnya dengan lauk ati goreng. Seusai mencuci tangan, Bunda menghampiriku ujarnya.....

" Ninoy itu nggak bisa dijanjiin.....beberapa hari lalu Bunda janji kalau dia bisa menangkap tikus yang lari-lari di atap rumah....akan Bunda belikan ati ayam,"
" Tikusnya dapat Bun ?" tanyaku spontan. Aku tidak tahu hal itu sebab beberapa hari yang lalu aku dapat tugas dari Ketua AMPI untuk ikut kegiatan di tingkat provinsi.
" Iya, tikusnya dapat....dia banting-banting di depan Bunda sampai mati terus dia tinggalkan....dibuang ayah ke tengah belukar sana tikusnya....."
" Terus.....???"
" Bunda lupa membelikan ati ayam......makanya Ninoy nggak mau makan..."
Dan aku terbahak-bahak mendengar cerita Bunda. Ninoy cuma berhenti sebentar, mengangkat wajahnya terus mengeong singkat lalu menghabiskan suguhan di piringnya. Ati ayam yang dijanjikan Bunda !!!

Teman Karibnya

Sebelum Ninoy datang, aku kerap sendirian di rumah. Kehadiran Ninoy menyebabkan aku punya teman. Sebelum Ninoy datang, sebenarnya Bunda punya peliharaan burung tiung yang diberi nama Iyung.

Burung ini bisa menirukan suara siapapun. Yang sudah ada di lidah Iyung adalah ucapan salam, lagu Paris Barantai, suara tawa ngakak, suara ayam berkokok dan paling baru adalah memanggil temannya......Ninoy !! Bunda selalu memberitahu Iyung bahwa ada Ninoy yang menjaga di bawah sangkarnya.

Sesudah aku diterima bekerja, Iyung dan Ninoy-lah yang  kerap ditinggal di rumah sampai sekitar pukul 1 siang. Biasanya, sebelum Bunda berangkat selalu menyuruh Iyung memanggil Ninoy. Maka, Iyung akan berteriak dari suara lembut,

" Ninooooooy......ninooooooy.....ninoooooy"
Kelembutan itu akan menjadi suara bentakan bila Ninoy tidak menjawab seperti

" Ninoy !!!! Ninoy !!" Iyung akan berhenti bila Ninoy sudah mengeong dan berebah di bawah sangkarnya.

Kedekatan Iyung dan Ninoy bukan hanya di siang hari. Biasanya, malam hari aku akan mengeluarkan Iyung dari sangkarnya. Kuberi selimut dan kurebahkan di dekat bantalku. Iyung, sangat patuh....dia akan tidur telentang dalam posisi yang kuaturkan, sampai beberapa lama. 
Ninoy juga, tidur sekamar denganku. Dia tidak kuberi selimut seperti Iyung, melainkan cukup tidur di bantal yang kutempatkan dibagian  kakiku. Setiap kali akan tidur selalu aku bilang ke Ninoy bahwa Iyung itu temanku juga jadi tidak boleh disakiti apalagi dimakan. Bukankah kucing selalu makan burung ?
Namun itu tidak terjadi terhadap dua peliharaan di rumahku. Pagi hari menjelang adzan Subuh, Iyung selalu memanggil Ninoy terlebih dahulu. Padahal kadang Ninoy minta keluar kamar bila tengah malam.

Sungguh, persahabatan antara Iyung dan Ninoy diluar nalar manusia. Aku sendiri kerap kagum dengan pertemanan dua makhluk yang sejatinya diciptakan yang satu memangsa yang lainnya.

Perpisahanku dengan Mereka

Manusia menjalani taqdir kehidupannya. Binatang juga menjalankan taqdir hidupnya. Aku kemudian menikah. Pada proses pernikahan, aku yang harus ikut suami ke tempat tugasnya maka jadilah aku yang mengurus surat menyurat untuk pindah kantor. Aku sedih membayangkan berpisah dengan dua ekor binatang peliharaanku.

Setelah beberapa bulan mengurus kepindahan, maka surat pindahku keluar. Aku benar-benar akan meninggalkan rumah Ayah dan Bunda, hidup jauh bersama suamiku. Kupandang Iyung, Dia sudah bisa memanggil namaku. Ah burung ini andai boleh aku bawa serta. Tapi Bundaku juga sayang sama makhluk berbulu hitam dengan paruh kuning itu. Akhirnya, kubelai Iyung ujarku,

" Aku pergi dulu yaaaa.....nanti aku kembali lagi"

Iyung bertengger di jemariku....cengkeramannya sangat kuat seolah berasa enak dan tidak ingin melepaskan diri dari tanganku. Suaranya memanggil Ninoy. Aku tidak bisa mengatakan senang mendengar suaranya sebab aku memang akan pergi. Walau kepergianku ke kota dimana suamiku tinggal hanya untuk dua minggu, tetapi ada sesuatu yang membuat aku tidak tega melihat Iyung. Toh aku harus pergi. 

Benar saja, ada berita yang membuat aku diam seribu kata setelah seminggu berada di kota suamiku. Iyung......mati.....karena salah makan..... Bunda memberi kabar sedih itu lewat telepon. Ya Allah......itu makna cengkeraman tangan Iyung ?

Ketika aku datang di minggu kedua, Ninoy tidak ada di rumah. Tidak pulang meski aku sudah panggil-panggil namanya. Alangkah kagetnya aku dihari berikutnya ketika melihat tubuh Ninoy yang besar dan kekar itu lunglai di dekat bak penampungan air. Dari perutnya kulihat nafas tersengla-sengal. Kenapa dengan Ninoy ? Hanya bertahan satu hari, besoknya Ninoy juga mati dalam belaianku. Airmataku mengalir deras. Ninoy-ku menyusul sahabat karibnya.

Dua teman tidurku pergi untuk selamanya. Mungkin mereka merasa sudah cukup menemani kesendirianku selama ini. Kembali kepada yang hakiki. Aku bersama suamiku. Sedangkan dua makhluk ciptaan Allah Ta'ala ini kembali kepada penciptanya.

Semoga Iyung dan Ninoy menjadi hewan yang masuk dalam kelompok diridloi Allah Ta'ala kehadirannya didunia selama ini.

Selasa, 01 Oktober 2013

PISAU ITU MENANCAPNYA DI HATI

Aku masih ingat kejadian setahun yang lalu.
Entah kenapa, waktunya disetting oleh Allah Ta'ala sangat bertepatan sekali. Hari itu aku mendapat kabar bahwa saudara ibuku akan datang mengunjungi kami di Kalimantan.  Kabar yang kuterima pada hari Kamis sore itu, menyenangkan sekaligus membingungkan hatiku. Bagaimana aku tidak bingung, saudara ibuku itu akan datang pada hari Jum'at pagi menggunakan Lion Air dan akan kembali pada Sabtu siang dengan pesawat yang sama. Seumur-umur, mereka belum pernah menjejakkan kaki di Kalimantan jadi bagiku, itu sebuah silaturhami yang sangat berharga. Aku ingin melayani saudara ibuku itu sebab karena kesibukannya, satu keluarga itu hanya menginap satu malam saja di rumahku. Ini hal yang menyenangkan bagiku.

Hal yang membuatku bingung adalah bahwa hari itu, ada pelantikan di kantor. Sesungguhnya, aku tidak peduli, siapa yang akan dilantik untuk naik pada kedudukan setingkat lebih tinggi dari aku dan jajaranku. Yang ada di kepalaku bahwa ini bukan waktunya untuk aku naik jabatan sebab ada banyak kekuranganku untuk duduk dalam jabatan yang lebih tinggi lagi. Saat itu, aku belum mengikuti Diklat Kepemimpinan. Saat itu, yang ada di kepalaku hanyalah menyenangkan hati ibuku dengan cara menjamu saudara beliau sebaik-baiknya. Aku memutuskan untuk ijin, agar aku bisa menjemput dan mencarikan mobil sewaan untuk rombongan satu keluarga itu bisa keliling-keliling di kotaku.

Pagi-pagi sekali, dengan pikiran yang hanya tertuju pada rencanaku itu, aku mengirim sms kepada pimpinanku untuk ijin tidak menghadiri pelantikan. Jawaban dari pimpinanku cukup mengejutkan.

"Saya tidak mengijinkan, anda harus datang di pelantikan hari ini"

 Jawabannya tidak hanya sekali. Justru kalimat kedua membuat perasaanku seperti dilukai.

"Kalau anda tidak hadir, akan saya beri sanksi"

Terus terang, jawaban kedua ini membuat aku menangis. Hanya karena ijin untuk tidak hadir untuk menyenangkan hati orangtuaku, aku akan mendapat sanksi dari pimpinan. Bahkan saya diberi sebutan ANDA, bukan MBAK atau BU seperti yang selama ini beliau lakukan bila menjawab sms aku. Saat itu aku hanya berpikiran, pimpinanku ternyata seorang yang otoriter. Maka dengan airmata di pipi, aku menghadiri pelantikan hari itu.

Aku tidak terlambat dan sempat melihat satu demi satu pegawai kantorku. Dari hasil pengamatanku, sebenarnya ada 3 (tiga) orang yang tidak hadir dalam pelantikan tersebut. Aku tidak tahu, apakah mereka "ijin" seperti aku dan kemudian mendapat ancaman seperti aku. Aku tidak tahu. Yang ada di kepalaku saat itu adalah aku ingin hadir dan secepatnya pulang sebab aku mau buru-buru mencari rental mobil.

Pelantikan berjalan lancar. Itu seremonial yang hanya manusia dilantik dan Tuhannya yang tahu nilai sakral dari pelantikan tersebut. Janji dan sumpah itu bagiku bukan main-main. Sebab kalau tidak didunia ditagihnya maka akan ditagih di akhirat kelak. Subhanallah.

Usai pelantikan, biasanya dilanjutkan dengan pengarahan. Kali ini, ada yang luar biasa dari pengarahan pimpinan di kantorku. Pengarahan tidak dengan buku dan pulpen sesuai dengan tingkat jabatan yang dilantik melainkan dengan membawa pisau dapur.
Astaghfirullah.......aku bertanya, ada apa koq ibu ini membawa pisau dapur ke acara pelantikan ?

Setelah menyimak dengan sungguh-sungguh barulah aku sadar bahwa pelantikan kali ini diwarnai dengan perilaku negatif seseorang yakni dengan mengirimkan sms ke pejabat di pusat. Aku tidak tahu isi sms-nya namun yang aku tahu, sms itu terkait dengan dilantiknya pejabat hari ini. Rupanya, ada yang tidak suka. Wah, mbuh-lah.....aku yang penting pelantikan dengan senjata pisau itu selesai dan bisa secepatnya pulang sebab sms dari rumah kuterima bahwa saudara ibuku sudah sampai di rumah. Sebelum pulang, aku sempat bercerita tentang sulitnya aku mencari mobil rentalan ke teman di ruangan. Bahkan aku sempat membacakan bbm teman lainnya yang hari itu tidak hadir tanpa mendapat ancaman. Barangkali karena dia akan berangkat kegiatan tingkat nasional jadi tidak perlu diancam. Selain itu, aku juga membacakan sms lainnya ke temanku sebelum benar-benar pulang ke rumah.

Terus terang, cerita tentang sms gelap dan pisau itu tidak akan berarti apa-apa bagiku, seandainya pimpinanku membiarkan aku berbahagia dengan saudara-saudaraku yang baru tiba. Tapi sepertinya tidak demikian. Pukul empat sore, aku ditelpon langsung oleh pimpinan, diminta ke kantor sebab ibu ini ingin bicara denganku. Sampai duduk dihadapan pimpinan ini, terus terang aku tidak mempunyai pemikiran apapun kecuali memenuhi panggilannya. Aku betul-betul mulai merasa tidak enak ketika pimpinan ini memulai kalimat inti dari tujuannya memanggil aku. Katanya,

" Terkait dengan sms gelap, terus terang Mbak merupakan orang pertama yang saya curigai sudah  mengirim sms itu karena Mbak orangnya kritis dan sukanya mengkritik....."

Ya Allah......Ya Tuhanku....aku, merupakan urutan pertama sebagai tertuduh pengirim sms gelap karena dipandang paling kritis dan dipandang tidak suka dengan pelantikan hari itu.

Demi Allah yang menciptakan langit dan demi Allah yang menciptakan bumi......tuduhan ini sangat tidak bisa aku terima dan sangat tidak dapat dimaafkan. Siapapun yang mengawali ide menunjukkan jarinya ke aku agar menjadi tertuduh sebagai pengirim sms ke kantor pusat itu sudah bukan manusia lagi namanya.

Pembicaraan itu seperti muntahan kotoran kambing yang teramat bau dihidungku dan bagaikan suara keledai yang paling bodoh ditelingaku. Aku mengartikan, pelantikan dengan membawa pisau itu, tidak ditancapkan kemana-mana melainkan ke hatiku. Ini aku ketahui setelah jauh hari kemudian, ternyata 3 orang yang saat tidak hadir dalam pelantikan itu, tidak diancam sebagaimana aku.

Sambil mengetik ini, airmataku kembali mengalir, luka itu kembali menganga dalam bathinku, perih itu masih terasa dalam benakku. Sakit itu......ditinggalkan begitu saja tanpa ada permintaan maaf apalagi memperbaiki nama baikku.

Aku bingung dan selalu tidak mengerti, kenapa ada orang yang bisa menari diatas linangan airmata orang lain? Mengapa ada orang yang bisa bernyanyi diatas luka hati orang lain. 

Aku tidak mengerti, dimana Tuhan yang selama ini disembahnya setiap lima waktu, dimana malaikat yang diyakininya mencatat setiap amal baik dan amal jahat selama hidupnya ? 

Aku tidak dapat berhitung, seberapa kuat orang itu memanggul beban hidup di akhirat kelak, dengan cara berbuat menjijikan semacam itu.

Adakah yang bisa mengobati perasaanku ? Setiap kali orang-orang di kantorku bicara tentang pelantikan, yang terbayang justru pisau dan kata-kata yang tertancap dalam hatiku.

Setiap mengingat tuduhan itu, airmata ini mengalir tidak bisa dibendung.
DEMI ALLAH TUHAN YANG AKU SEMBAH, AKU MEMANG SUKA MENULIS DAN MENG-KRITISI APAPUN YANG BAGIKU TIDAK TEPAT NAMUN AKU BUKANLAH ORANG HINA YANG TIDAK PUNYA IMAN SEHINGGA HARUS PROTES DENGAN CARA PICISAN DAN KAMPUNGAN YANG JUSTRU MENUNJUKKAN SEBAGAI ORANG IDIOT YAKNI MENGIRIM SMS GELAP !!!

Kepada ibu, yang sudah jelas-jelas menempatkan aku sebagai tertuduh pertama aku mengucapkan terima kasih dan semoga tuduhan itu menjadi cemeti bagiku untuk menjadi orang baik bukan untuk jabatanku melainkan untuk keluargaku. Sebab aku bekerja untuk membantu suamiku mencari nafkah yang menjadi darah daging anak-anakku. Tidak akan aku memberi makan anak-anakku dari airmata siapapun, tidak akan kuberi makan anak-anakku dari caci maki siapapun.

Kepada siapapun yang tega bertindak idiot dan tidak beriman sehingga aku menjadi tertuduh utama, aku mengucapkan terima kasih dan semoga apa yang kalian lakukan mendapat balasan yang terbaik dari Allah Azza Wa Jalla. Yang perlu kalian tahu adalah bodoh kalau tidak berusaha menjadi yang terbaik dalam hal apapun sebab bila hari ini sama dengan kemarin itu sama artinya merugi dalam hidup......itu sebabnya aku selalu berusaha menjadi yang terbaik karena aku tidak ingin menjadi yang bodoh. Adalah tolol kalau menganggap bahwa Allah itu buta,  Allah itu tuli dan  Allah itu bisa ditipu makanya aku tidak akan berbuat tolol dengan meniadakan Allah Ta'ala dalam segala tindakanku.

Tulisan ini, ungkapan yang terpendam dalam hatiku dan hanya Allah Ta'ala dokter dan penguat jiwaku sehingga aku masih bisa bertahan menjadi yang terbaik dalam hidupku bagi keluargaku sampai saat ini. Biar, hanya aku yang menangis lagi setiap mengingat pisau dan tuduhan itu.

Senin, 19 Agustus 2013

TEMAN FACEBOOK AKU ITU.....

Aku tidak mengenal dia dengan pasti, namun namanya ada dalam daftar temanku. Entah, bermula darimana koq dia menjadi salah seorang yang bisa melihat profil-ku di facebook. Namanya, Raisa Damayanti beralamat di Kuala Kurun, Kalimantan Tengah. Aku yakin, itu namanya yang asli sebab setiap postingan status darinya selalu mendapat tanggapan dari teman-temannya dengan menyebut Rae...atau mamah-nya Sita. Aku lihat di profil-nya dia punya anak perempuan satu orang sekitar kelas lima es-de dan mungkin nama anaknya Sita. Sedangkan anak lelaki-nya masih Balita. Aku jarang melihat dia berfokot sama suaminya. Namun pada informasi umum tentang dirinya aku ketahui dia sudah menikah dan sepertinya sangat bahagia dengan kehidupan rumah tangganya. Buktinya, pada kata-kata yang dia ungkap di profil, suamiku adalah imam bagi imanku dan bagi diriku.

Aiiiihhhhh aku jadi suka membuka profil Raisa Damayanti. Postingan statusnya sederhana namun penuh makna dan kerap mendapat puluhan acungan jempol dari temannya disertai komentar-komentar yang enak dibaca. Sangat berbeda dengan status-statusku di facebook yang teramat sederhana namun jarang diberi jempol apalagi diberi komentar. Entahlah, aku merasakan sesuatu saja saat melihat nama itu ternyata berteman dengan Mas Hamdy sebulan yang lalu. Kata Mas Hamdy sebenarnya dia sudah lama bahkan lebih dahulu berteman dengan perempuan bernama Raisa itu dibandingkan denganku. Artinya, Raisa menemani Mas Hamdy dan juga menemani aku.

"Sungguh Fit....aku cuma memenuhi permintaan pertemanan darinya....emang kenapa sih ?"

Begitu jawaban Mas Handy waktu kutanya tentang Raisa beberapa waktu yang sudah lama berlalu. Aku waktu itu tidak menjawab sebab aku sendiri tidak tahu, ada apa dengan nama itu. Padahal komunikasi antara suamiku dengan Raisa tidak pernah terjadi. Kalaupun ada, itu pasti di status teman mereka berdua. Bukan di status Mas Hamdy apalagi di status Raisa. Kupikir, gaya bahasa Raisa tidak bisa diikuti oleh Mas Handy makanya dia tidak pernah memberi komentar. Aku saja juga segan mengomentari status-nya yang selalu berbobot. Tetapi entah mengapa, nama itu terus berada dalam ingatanku dan kemudian menjadi perhatianku. Terlebih, aku merasakan perubahan sikap Mas Hamdy terhadapku. Aku merasakan hal itu sejak beberapa bulan ini.

Aku menelusuri obrolan di facebook terakhir antara Raisa dan Mas Hamdy di status teman mereka berdua yang bernama Haikal. Tidak ada yang istimewa kecuali ungkapan-ungkapan nostalgia antara mereka bertiga plus seseorang bernama Tania dan Moldi saat masih SMA di Kuala Kurun. Mas Hamdy memang berasal dari Kuala Kurun dan bertemu denganku saat kami kuliah di Malang. Sebenarnya, dari obrolan itu aku yakin Raisa bukanlah type perempuan yang mendua-kan suaminya. Bukan pula tipikal ibu yang akan menyakiti hati anak-anaknya. Tetapi aku merasa, teman di facebook aku itulah yang mempengaruhi perubahan sikap Mas Hamdy.

Sampai suatu hari aku memutuskan melakukan sesuatu dan aku agak terlonjak senang saat permintaan pertemananku dengan Marni diterima. Aku lihat, Raisa dan Marni intens sekali berdialog di facebook. Sepertinya, Marni adalah sahabat karibnya. Kulihat, mereka mempunyai teman yang sama yakni Moldi. Hanya saja, Marni tidak berteman dengan suamiku, tetapi Moldi berteman dengan suamiku di facebook.

Aku agak ragu menekan keypad laptopku untuk memulai obrolan dengan Marni. Namun desakan rasa jengkel karena pagi tadi Mas Hamdy tidak menjamah sarapan pagi yang kubikinkan, membuat aku tetap menekan "enter" dan mengirimkan sapaan ke Marni.

"Assalamu'alaikum...."
" Wa'alaikum salam, dan salam kenal Fitria......"
" Salam kenal kembali, di Banjarmasin ya ?"
"Bukan.....aku di Kuala Kurun...."
"Oooooh.....dimana itu ?" pertanyaan itu sangat konyol sebab aku tahu persis dimana itu Kuala Kurun. Namun Marni tetap menjawabnya. Pembicaraan itu berlangsung cukup lama sampai akhirnya Marni menuliskan sesuatu sebagai balasan atas pertanyaanku tentang Raisa. Tulis Marni,
" Ooooh Raisa itu....aku juga cemburu koq dengan kebahagiaan rumah tangganya. Beruntung sekali Raisa mendapatkan suami yang baik walau dia telat menikah karena dikhianati orang yang sebenarnya dia harap menjadi suaminya....."
Mataku terbeliak membaca nama yang dituliskan oleh Marni..... Nurhamidy.  Woooowwww.....tidak salah perasaanku. Baiklah.  Aku harus melakukan sesuatu agar rumah tanggaku tidak semakin panas.

Aku lihat Mas Hamdy melotot sambil meletakkan koran yang tadi dibacanya, ke atas meja dengan sekali hentakan. Aku terkejut. Diluar dugaanku, kalimat yang sudah kutata sejak siang tadi berujung pada kemarahan Mas Hamdy. Tuhan.....aku tidak ingin membuatnya marah. Aku hanya bertanya, apakah benar Raisa itu kekasih sebelum bertemu denganku dan sekarang membuat Mas Hamdy bertingkah tidak seperti dulu padaku. Tuhan......apakah pertanyaanku itu salah ? Airmataku mulai mengalir namun itu tidak mengurungkan langkah Mas Hamdy menjauh dariku, kulihat dia menuju kamar. Aku mengejarnya ke kamar. Kulihat Mas Hamdy duduk di tepi tempat tidur. Melihat aku masuk kamar, lelaki yang aku cintai setengah mati itu melengos dan berdiri mau keluar. Tapi tangannya aku rengkuh. Aku cium dan kukatakan,

" Maafkan aku.....maaf kalau pertanyaan itu menyinggung....tetapi aku hanya ingin kepastian bahwa perasaanku terhadapnya salah.....aku hanya ingin kepastian bahwa aku tetap satu-satunya dalam hati Mas...."

Mendengar ucapanku, Mas Hamdy yang semula hendak melepaskan pegangan tanganku tidak jadi melakukannya. Perlahan dia duduk kembali di tepi ranjang.

" Dengar Fit.....aku capek setiap saat kamu tanyakan tentang Raisa. Kalau kamu mau tahu jawabanku, dengarkan baik-baik"

Aku diam menunggu Mas Hamdy menarik nafas dalam-dalam. Aku berusaha siap sekuat-kuatnya apapun yang akan aku dengar nantinya dari bibir Mas Hamdy.

" Betul, dulunya Raisa perempuan yang aku harapkan menjadi pendamping hidupku. Tetapi, aku yang kemudian mengacuhkannya karena ada kamu. Kalau sekarang kamu merasa tersakiti maka begitu pula dengan dia waktu aku sakiti dengan apa yang sudah kita lakukan sehingga kita harus menikah sebelum selesai kuliah. Beda-nya....dia tersakiti namun tidak dapat berbuat apa-apa karena aku bukan apa-apanya sedangkan kamu tersakiti tetapi kamu masih bisa mempertahankan diri karena aku suami kamu....." Mas Hamdy kembali menarik nafas ," Raisa sudah bersuami dengan anak-anak yang begitu dia banggakan. Kalau aku berselingkuh dengannya bahkan kalau kamu mencurigai dia menggoda aku maka itu merupakan kesalahan kedua dari kita untuknya...."

Suamiku menutupkan jarinya ke bibir pertanda dia tidak ingin mendengar bantahanku. Tetapi memang aku tidak punya bagian untuk dibantah walau aku bingung, apa yang menyebabkan Mas Hamdy berubah terhadapku akhir-akhir ini.
" Aku capek dengan kecemburuanmu Fit.....sedangkan kamu tidak pernah mencoba memahami apa yang aku inginkan. Ijinkan aku menjauh sejenak dari kamu agar kamu punya banyak waktu untuk memikirkan yang terjadi diantara kita selama beberapa waktu ini. Percayalah, aku tidak akan menceraikan kamu namun aku tidak akan kembali padamu sebelum kamu menyadari dimana letak kekeliruan kamu selama ini...."

Mas Hamdy berdiri dari tempat duduknya dan kemudian memasukkan satu demi satu pakaian dari lemari ke dalam tas yang rupanya sudah dia siapkan. Aku hanya mampu memandangi sebab benar-benar tidak menyangka bahwa perubahan sikap Mas Hamdy justru karena diriku sendiri. Mas Hamdy menghampiriku, mengecup keningku lalu berujar,
" Aku ada di galeri....datang dan jemputlah aku kalau kamu sudah mengerti dimana letak permasalahan kita Fit.... "

Tuhan, aku kembali sesungukan. Airmataku kembali menetes. Aku tidak menyangka juga begitu santunnya cara lelaki itu memperlakukan aku padahal aku sudah melakukan kesalahan dimatanya. Apa itu ? Apa itu ?
Sudah lebih dua minggu Mas Hamdy berada di galeri-nya. Selama itu juga aku belum berani menemuinya sebab aku belum tahu dimana letak permasalahan diantara kami. Namun, kalau aku telepon sekedar menanyakan kabar, suamiku masih menerima dan mau menjawab. Dari Anggi atau dari Sofia, anakku yang kerap singgah ke galeri, aku tahu, suamiku memang tidak berselingkuh dariku.

Raisa, kembali menjadi pusat perhatianku sebab saran-saran yang dia berikan sungguh menyejukkan hatiku dan mendinginkan pikiranku. Sudah beberapa hari ini aku aktif ngobrol dengan mantan pacar suamiku itu di facebook dan kemudian secara tidak sengaja mendapatkan satu pemikiran tentang kemungkinan hal yang salah yang sudah aku lakukan. Secara tidak langsung, Raisa membukakan pikiranku saat dia mengakhiri obrolan denganku sore itu, katanya

" Maaf Fitria, suamiku sebentar lagi pulang dari kantor dan aku akan menyediakan kopi untuknya, shallat Ashar berjama'ah dengannya kemudian menemaninya minum kopi di teras.....asyik lho bisa bertukar cerita dengan suami dan terkadang kami bisa kehabisan waktu karenanya...."

Belum sempat kujawab, tanda online pada nama Raisa sudah hilang. Padahal Raisa itu, super sibuk karena dia punya butik yang langganannya ibu-ibu pejabat di tempat tinggalnya. Tetapi masih punya waktu untuk suaminya. Aku benar-benar seperti terbangun dari mimpi panjang. Selama ini aku hanya meminta perhatian dari Mas Hamdy atas nama isteri yang mengurus anak. Selama ini, aku lah yang banyak mengumbar kata-kata atas nama perempuan yang capek mengurus rumah tangga.

Bergegas aku matikan laptop, tanpa berganti pakaian dan dengan secepat kilat aku kendarai Mio milik Anggi menuju ke galeri. Mas Hamdy melihatku agak terkejut namun saat aku mendekat, kulihat sinar dimatanya. Sinar kerinduan.....entah berapa lama aku mengabaikan kerinduan dalam hati suamiku itu. Aku raih tangannya, aku cium dan kukatakan,

"Maaf Mas.....terlalu lama aku mengabaikanmu...." Aku menangis sesungukan dan tidak tahu malu sebab aku yakin aku menggerung-gerung karenanya. Mas Hamdy memeluk tubuhku, mengecup keningku dan menyandarkan kepalaku di dadanya.....aku dengar detak jantungnya..... Tuhan.....ternyata dia hanya mencintaiku.

Sabtu, 10 Agustus 2013

AKU BUKANLAH SEORANG YANG SEMPURNA

Aku bukanlah orang yang sempurna. Banyak sekali kekurangan yang ada pada diriku sehingga wajar sekali kalau aku harus banyak belajar tentang berbagai hal. Yang aku rasakan kurang dari diriku adalah perbedaan pandangan dalam hidup. Ini disebabkan aku lebih banyak belajar tentang pengetahuan agama sehingga sendi-sendi hidupku Insya Allah tidak terlepas dari aturan tersebut.

Adalah seorang wanita di tempat kerjaku yang saat aku berkenalan dengannya, masih berstatus isteri dari seorang laki-laki. Aku tidak akrab dengannya namun tampak akrab karena dia suka mencariku untuk minta diajari satu aplikasi yang ada di komputer. Selama kami dekat, aku mengetahui dia ternyata selingkuh dari suaminya dengan alasan yang sangat klasik bagaikan telenovela. Dia tidak mencintai suami dan menikah karena terpaksa. Ternyata alasan itu bukan hanya dikatakan padaku melainkan pada semua orang. Dan selingkuhannya adalah suami seseorang yang mantan pacarnya ketika SMA.

Aku cuma agak heran, tidak cinta sama suami tetapi memiliki tiga orang anak dari lelaki yang tidak dicintainya itu. Kasihan jiwa anak-anak yang lahir bukan karena cinta itu. Aku sempat menasehatinya agar berhenti selingkuh dan kembali pada suaminya sebab kasihan, tiga orang anak perempuannya mendapat pendidikan yang tidak layak dari selingkuhannya itu. Aku hanya memandang dari sudut pandang agamaku saja saat memberi nasehat padanya. Di luar dugaanku, sejak aku beri nasehat itu dia menjauh dari aku.

Nasehat orangtua dulu "ojo cedhak kebo gupak" sebab kita akan kecipratan lumpurnya. Maka sejujurnya, aku bersyukur dengan menjauhnya dia dariku maka aku terbebas dari kerbau yang sedang berkubang dengan lumpur. Akan tetapi diluar perhitunganku, dia justru berbalik menceritakan hal negatif tentang aku yang sebenarnya tidak pernah aku lakukan bahkan yang bukan diriku sebenarnya.

Aku tidak dapat menyebutkan satu persatu dari perbuatannya yang merugikan diriku sebab terlalu banyak. Itulah yang menyebabkan aku tidak ingin dekat dan menyapanya walau kemudian dengan itu aku diberi cap orang yang tidak ramah. Cap itu, dia tempelkan ke namaku dan disodorkan kepada siapapun yang tidak mengenalku. Berulang kali aku dipanggil atasan baru hanya untuk dinasehati agar lebih ramah kepada orang lain. Lucu saja, dari sekian puluh pegawai yang ada di kantorku, aku hanya tidak menyapa dia seorang tetapi atasanku lebih percaya pada statemen-nya bahwa aku tidak ramah kepada siapapun.

Seandainya saja kantor tempatku bekerja itu mengadakan survey di kalangan staf atau level honorer mengenai siapa orang yang paling tidak menyenangkan, aku yakin ada tiga nama yang muncul selain namaku. Tetapi sayangnya, yang dimintai pendapat hanya kalangan pejabat tertentu saja termasuk dirinya jadi sangat wajar kalau dihadapan atasan tetap namaku yang mendapat urutan nomor satu.

Aku bukanlah orang yang sempurna. Kekuranganku sangat banyak. Salah satunya adalah aku tidak pernah mau mengkonfirmasi kebenaran dari cerita negatif tentang aku sebab bagiku itu sama saja menggantang asap sedangkan baranya tidak jelas kapan menyala. Walau begitu, aku punya keyakinan......Allah Azza Wa Jalla tidak akan pernah tidur dan selalu melihat apa yang kita lakukan. Termasuk yang dilakukan orang yang pernah aku kenal itu. Saat ini, segala hal yang disangkanya baik masih berpihak kepadanya walau dia melakukan dengan cara yang tidak benar dari sudut pandang agamaku. Namun suatu saat, Allah Subhannahu Wa Ta'ala akan membukakan tabir kebenaran. Kalau tidak saat masih hidup di dunia, tentunya ketika naza' menjelang akhir kehidupan. Kapanpun itu terjadi, aku yakin dia akan tahu bahwa aku memiliki maaf yang berlapis-lapis untuknya dan tidak akan habis walau dia terlalu sering melukai bathinku.

Banjarmasin, 11 Agustus 2013.

Senin, 10 Juni 2013

TEMAN KU

Teman Dekat

Pengalaman adalah guru yang terbaik. Aku pikir, kalimat itu banyak benarnya. Namun, tidak semua orang bisa menjadikan pengalaman sebagai guru yang memberi pelajaran. Utamanya, pengalaman yang memberi dampak tidak bagus. Bahkan ada yang dengan santainya mengulang kembali pengalaman yang tidak bagus itu dari tahun ke tahun tanpa ada penyesalan.

Sewaktu kecil, aku punya teman baik. Bapaknya seorang perwira tinggi yang bertugas satu kesatuan dengan bapakku. Walaupun bapakku hanya seorang perwira menengah, tetapi Novi tidak melihat perbedaan pangkat itu dalam pertemanan kami. Kebetulan, aku dan Novi sama-sama aktif di Pramuka yang dikelola oleh kesatuan tempat orangtua kami bertugas.

Kadang-kadang Novi diantar sopir-nya untuk bermain di rumahku. Tetapi, aku tidak mungkin main ke rumahnya sebab aku tidak punya mobil seperti Novi. Tetapi, Novi tidak melihat ketidak berpunyaan-ku, kami tetap akrab hingga tamat sekolah dasar. Novi tamat dari SD Rajawali sedangkan aku tamat dari SDN Telaga Ilmu.

Temanku yang lain, namanya Heri, sudah memperingatkan agar aku tidak terlalu dekat dengan seseorang. Katanya, ibarat telur kalau berdekatan terus bisa retak dan mudah pecah. Aku mengabaikan kata-kata Heri dan kuanggap dianya saja yang tidak suka atas pertemananku dengan Novi. Aku dan Novi diterima di SMP yang sama, SMP Negeri Seroja. Hanya sayangnya, kami beda kelas. Novi diterima di kelas A adalah anak-anak yang lulus SD dengan predikat ranking 1 sedangkan aku diterima di kelas B yang diperuntukkan bagi mereka yang lulus dengan predikat ranking 2 dan 3.

Perbedaan kelas ini ternyata menjauhkan aku dengan Novi. Dia bertemu dengan Fia dan akrab dengan anak baru yang satu kelas dengannya. Aku, semula berharap tetap bisa akrab dengannya, ternyata kerap tidak bisa bergabung saat Novi dan Fia bercengkerama. Setelah sekian lama, aku akhirnya benar-benar terpisah dari Novi. Ini sangat menyakitkan buat aku. Bukannya aku tidak punya teman selain Novi, tetapi aku hanya berharap kami tetap bisa dekat dan akrab walaupun memiliki teman yang lain.

Aku benar-benar kecewa dengan pertemanan kami, tatkala mengetahui Novi tidak pamit padaku saat pindah ke Sumatera mengikuti orangtuanya. Aku justru tahu dari Fia, kalau Novi sudah pindah ke Sumatera. Aku berpikir, ternyata pertemanan bisa juga menimbulkan rasa sakit. Oleh karenanya, aku tidak lagi ingin dekat hanya dengan satu orang melainkan dekat dengan banyak orang. Hingga sekarang, aku tidak punya teman dekat namun aku punya banyak teman.

Teman Bermainku

Pengalaman benar-benar menjadi guru terbaik sepanjang kita menarik hikmah dan pelajaran di dalamnya. Aku mencoba menarik pelajaran dari pertemananku dengan Novi sehingga aku melebarkan sayap untuk memiliki banyak teman. Aku tidak lagi punya teman dekat. Aku punya teman Endang, Selamet, Aris, Debora, Rini, Eli, Husin, Ujang, Rahmat, Isye, Madi, Nurul dan lain-lain. Bukan cuma di asrama tempatku tinggal melainkan juga di sekolah, di Pramuka, di kegiatan ekstra kurikuler lainnya seperti vocal group dan menari.

Diantara sekian banyak temanku, ada yang bernama Nunung. Sebagai anak tentara, kami tinggal di asrama yang sama namun barak yang berbeda. Orangtua Nunung adalah sipil yang bertugas sebagai sopir jadi dia berada di barak yang diperuntukkan bagi sipil. Nunung, bertetangga dengan Eli dan bapaknya Eli itu satu kantor dengan bapakku, dengan pekerjaan yang sama dengan bapaknya Eli yakni sopir kantor. Saat itu, bapakku sudah menjadi perwira tinggi jadi aku tinggal di barak yang diperuntukkan bagi perwira.

Ada satu kejadian yang tidak aku lupakan seumur hidupku. Saat itu aku dan Nunung bertengkar gara-gara aku tidak mengijinkan dia masuk ke mobil dinas yang parkir di halaman rumahku. Aku melarangnya sebab aku dilarang bapakku dengan alasan mobil dinas itu masih kotor dan belum dicuci bapaknya Eli pagi tadi. Pertengkaran itu, kemudian menjadi catatan penting dalam hidupku sebab aku kemudian dipanggil oleh ibu-nya Eli dan dia maki habis-habisan aku. Aku dikatakan oleh ibunya Eli sebagai anak yang lancang karena mencampuri urusan orangtua dan  menceritakan kepada orang lain bahwa bapaknya Eli nggak bisa jadi sopir yang baik sebab mobil dinasnya selalu kotor.

Saat itu aku tidak bisa menggambarkan perasaanku bagaimana dimaki oleh ibunya Eli. Aku hanya bisa mengingat posisiku saat itu, duduk memeluk lututku dan mendengarkan ibunya Eli dibantu ibunya Nunung memaki-maki aku. Laripun sudah tidak mungkin lagi dan sepertinya itu juga bukan hal terbaik yang bisa kulakukan. Aku bingung dengan makiaan tersebut sebab aku tidak tahu, dimana letak kesalahanku ? 

Namun satu hal yang kucatat dalam pikiranku bahwa temab juga bisa mendatangkan kesulitan. Contohnya seorang Nunung sudah berkata bohong sehingga ibunya Eli marah padaku. Andaikata perkataan Nunung bukanlah kebohongan maka seharusnyalah aku tidak melarang Nunung masuk ke mobil dinas itu sehingga tidak perlu dia mendengar penjelasan dariku bahwa mobil itu kotor karena belum dicuci bapaknya Eli. Artinya, karena perkataan kepada orang yang dianggap teman ketika berbalik menjadi musuh maka itu akan menjadi senjata yang melukai hati kita sendiri.

Sejak saat itu, aku menuntup diriku untuk hati-hati dalam bercakap-cakap. Walaupun aku berteman dengan siapapun dan dimanapun, aku tidak lagi pernah mengumbar cerita tentang siapapun kepada siapapun. Justru dengan sikapku itu, aku menjadi tempat bercerita teman-temanku sebab mereka yakin aku tidak akan membuka mulutku untuk memperpanjang cerita.

Temanku Buku

Aku jera bicara kepada teman. Walau temanku tetap banyak, aku sangat terbatas dalam berkata-kata. Kecuali penting dan benar-benar sesuatu yang bermanfaat baru aku bisa berucap.

Temanku untuk mencurahkan perasaan dan pikiran akhirnya buku harian. Semua hal aku tulis di buku harianku. Kesedihan, kesenangan, kesulitan, kebahagiaan, airmata dan tawa-tawa aku ceritakan pada buku harianku. 

Temanku berbicara untuk menambah pengetahuan adalah buku-buku. Buku sastra, buku fiksi, buku ilmiah, majalah remaja, majalah ilmiah, buku agama dan sebagainya menjadi temanku sehari-hari. Sepertinya aku tumbuh dengan aman bersama buku-bukuku. Aku bisa menceritakan banyak hal melalui tulisanku. Aku bisa mendapat banyak pengetahuan melalui buku-bukuku.

Aku tidak meninggalkan teman sebab hidup tanpa teman juga tidak ada gunanya. Tidak ada yang bisa aku ceritakan dalam perjalanan hidupku tanpa teman. Namun hingga sekarang aku berpegang pada ketetapanku sendiri......tidak ada teman akrab dan tetap menjadi pendengar yang baik untuk orang yang bercerita serta tidak akan menjadi corong atas bala bencana.

Semoga Allah Ta'ala memberika barokah NYA
Aamiiin
(Kuambil dari memori-ku dengan nama-nama yang disamarkan, semoga tetap menjadi diriku sendiri kapanpun dan dimanapun.....Insya Allah)

Jumat, 31 Mei 2013

Namanya Untung

Anak itu, anak pertama dari tiga saudara. Kedua adiknya, perempuan. Ayahnya berprofesi sebagai tukang ojek sedangkan ibunya pembantu rumah tangga saudagar emas di Banjarmasin. Dia, lulusan sekolah kejuruan elektro. Tubuhnya kurus, kalau berbicara, khas sekali orang Banjar. Namanya, tidak seperti nama orang Banjar kebanyakan yakni Sa'adillah Untung. Kami memanggilnya, Untung.

Anak itu, Untung, bekerja sebagai tenaga honor di kantorku. Pekerjaan utamanya adalah mengurus mesin Genset yang kerap dipergunakan bila ada pemadaman listrik. Utamanya di ruang yang menjadi tanggung jawabku. Akan tetapi, dia juga akan dengan senang hati membantu memfotocopy kan surat-surat yang kami perlukan ke kios fotocopy yang jaraknya lumayan jauh dari kantor. Bukan hanya itu, Untung juga ringan tangan kalau diminta bantuan untuk keperluan pribadi.

Dari sekian banyak pegawai yang menjadi stafku, sepertinya justru aku yang tidak pernah meminta tolong untuk urusan pribadi ke Untung. Hampir dua tahun Untung menjadi honorer di kantorku, baru sore itu aku memintanya mengantar sesuatu ke rumah. Dahinya berkerut ketika aku menyuruh dia mengantar selembar surat ke rumah. Hehehe, dia benar-benar merasa heran sebab aku kan bisa saja membawa surat itu sendiri ?

Ketika tiba di rumahku, Untung langsung merebahkan diri di teras rumah yang memang asri sebab di tumbuhi banyak pohon. Aku segera menemuinya, sesaat setelah Minah pembantuku memberitahu keadatangan Untung dan mengambil surat yang diletakkan Untung di meja teras. Untung mengeluh capek karena ternyata rumahku jauh. Aku tidak aneh dengan keluhannya sebab dia harus mengayuh sepeda angin dari rumahnya ke rumahku. Sesaat kemudian aku menanyakan beberapa hal ke anak laki-laki itu yang dijawabnya sambil tetap berebah. Barangkali, kalau hal itu dilihat oleh staf lainnya di kantor, Untung bakal kena omel. Tetapi bagiku itu tidak masalah sebab aku menganggap pegawai yang seumuran dengan Untung adalah anak-anakku yang harus dibimbing hingga berhasil menjadi seperti yang dia harapkan. Perbincanganku dengan Untung cukup lama, hingga dia kemudian tiba-tiba bangkit dari berebahnya dan duduk  begitu mendengar kalimatterkahir yang aku ucapkan.

" Bujurkah Bu ? (Betulkah Bu ?)" katanya dengan mata terbelalak. Aku manggut.
"Umai Bu lah.....ulun nih saumur-umur kada biasa menjajak bandara Bu aeee....apalagi naik pesawat.... pian jangan maulah ulun bamimpi" ujarnya dengan bahasa Banjar secepat kilat dan mempermainkan kedua tanggannya, menandakan dia serius saat mengatakan bahwa seumur hidupnya dia tidak pernah menginjakkan kaki di bandara, apalagi bermimpi naik pesawat.
"Iya.....asalkan dengan syarat, selama kamu bekerja sampingan di kantor, kamu tidak menerima bayaran melainkan disimpan untuk keperluan naik pesawat, toooh ini bukan honor rutin yang diterima dari kantor melainkan honor kegiatan di ruangan kita saja" ujarku lagi.

Untung yang kemudian manggut-manggut dan menyetujui syarat yang aku ajukan. Sejak itu, apapun yang dikerjakan oleh, tidak lagi dibayar melainkan ditabung. Yang mendapat tugas menabung adalah Bu Mar, staf yang khusus mengelola keuangan di ruanganku.  Dari semua staf dan tenaga honorer yang ada di ruangan, hanya Untung yang mau menyimpan. Semangatnya untuk menyimpan cukup tinggi bahkan dia bekerja lebih giat lagi mengelola apa yang menjadi tanggung jawabnya.

Sampailah pada hari yang dinantikan. Tabungan Untung di tempat Bu Mar mencapai sejuta lima ratus sedangkan yang harus disetor ke panitia agar dapat mengikuti Hari Keluarga Tingkat Nasional di Bandung sebesar sejuta tujuh ratus sembilan puluh ribu rupiah. Untung dengan bangga menyetorkan uang simpanannya ke panitia dan menyatakan diri ikut. Aku hanya menambah dua ratus ribu agar Untung bisa punya seragam yang sama dengan peserta lainnya.

Anak laki-laki itu, ayahnya hanya tukang ojek, ibunya hanya pembantu rumah tangga namun akhirnya bukan hanya menginjakkan kaki di airport melainkan juga naik pesawat terbang. Sekali barang Bu ae seumur hidup membiasa-i naik pesawat (Sekali saja Bu, seumur hidup merasakan naik pesawat......) Dan Untung tidak tahu....keberuntungannya berdampak aku dicaci orang.....Hal yang diluar perhitungannya.

Tahukah...... sesaat sebelum Untung benar-benar berangkat ke Bandung, terjadi kehebohan di kantor sebab aku dikatakan membuat kebijakan yang salah yakni memberangkatkan tenaga honor di event berskala nasional dengan dana dari kantor. Heheheeee.....dan aku, tidak memperdulikan komentar-komentar miring tersebut sebab aku tahu yang kulakukan tidak merugikan siapapun juga apalagi merugikan negara. Aku hanya ingin berbuat baik, sebab sebagai staf mungkin aku hanya sebentar saja menjadi atasan bagi orang-orang semacam Untung. Kesempatan ini harus aku manfaatkan.

Akhirnya,Untung naik pesawat. Mendengar kicau Untung selama perjalanan dan melihat keceriaannya dalam perjalanan menimbulkan kebahagiaan tersendiri untukku.  Lucunya, yang memanfaatkan tenaga Untung selama perjalanan itu bukanlah aku, melainkan temanku di ruangan lain seolah-olah Untung berangkat atas bantuannya.

Untung namanya bila membuat orang yang statusnya dibawah kita menjadi senang dan bahagia bukan ? Untung namanya kalau kebaikan kemudian mendapat caci maki dari orang-orang yang sebenarnya tidak tahu apa-apa, ya kan ? Dan....Untung namanya, anak tidak berpunya itu bisa naik pesawat sebagaimana yang dia idamkan.

Aku menceritakan ini, bukannya ingin mengambil keuntungan dari Untung melainkan karena senang ada lagi yang sebahagia Untung sebab selama perjalanan kubebaskan stafku dari beban mengangkat barang2 pribadiku.


Jumat, 01 Maret 2013

Cemburu

Aku akhirnya ngakak juga mendengar bagian akhir dari cerita Juned. Membayangkan lelaki di hadapanku yang kurus ceking ini dimaki sama banci pemilik motor. Gara-gara motornya sama naik merk, jenis maupun warnanya. Yang membuat aku tertawa geli justru gayanya Juned mengikuti kata-kata si banci....

" Eh....mas bro....eike kremes tubuhmu patah jadi dua....enak adjeee yeey mau bawa-bawa motor eike...."

Sahabatku ini juga akhirnya tertawa geli. Mungkin membayangkan di kremes sama si banci. Sesaat berikutnya tawa kami terhenti ketika Hanifah masuk dengan muka cemberut, melempar map plastik ke atas meja dan menghempaskan tubuhnya ke kursi. Untung saja, kursi yang didudukinya empuk jadi pantatnya yang bahenol itu tidak bakal kesakitan.

" Kesel deh kalo begini terus...." ujar gadis berambut lurus ini. Aku dan Juned saling berpandangan sejenak. Serempak kami mendekati Hanifah.

" Ada apa sih Fah ? Koq kayaknya kuesel seperti itu ?" tanyaku sambil merapikan mejanya sebab kertas-kertas dari map itu berhamburan di mejanya. Juned mengambil yang berserakan di lantai.

" Kena skak mat lagi sama si Bahrun ya Pah ?!" kata Juned sambil memasukkan kertas kembali ke dalam map setelah tersusun sesuai lembarannya.

"Aku heran deh sama Bahrun itu.....maunya apa sih ? Sudah ngerecokin pekerjaan orang, nyalah-nyalahin orang di depan yang lainnya.....kesel tahu enggak Ned !"

Hihihi....tebakan Juned ternyata tepat sekali. Bahrun. Aku juga heran dengan lelaki itu. Selalu saja memberi penilaiaan negatif tentang Hanifah. Dimata Bahrun, Hanifah tidak pernah ada benarnya dalam menyelesaikan pekerjaan. Gadis itu hampir patah semangat dan meminta pendapatku untuk mengajukan berhenti kerja dengan alasan tidak tahan atas perlakuan Bahrun. Andaikata Bahrun itu bukan siapa-siapa, mungkin tidak jadi soal. Persoalannya, Bahrun itu supervisor kami. 

"Kamu jangan lagi menyuruh agar aku bersabar Ti.....sudah hilang kesabaranku..." Ujar Hanifah sambil mengusap wajah dengan selembar tissue yang ada di mejanya.

Hanifah sepertinya sudah bisa menebak apa yang akan aku katakan kepadanya. Hehehe...memang kata "sabar" yang paling sering kuucapkan bila Hanifah sudah begini. Aku sendiri tidak memiliki keberanian untuk memprotes perlakuan Bahrun pada Hanifah karena khawatir akan berpengaruh terhadap pekerjaanku.

Aku menatap mata Hanifah yang mulai berkaca-kaca. Beberapa saat kemudian, air pun mengalir dari kedua bola matanya. Juned langsung beringsut dari meja tapi langsung kutarik tangannya sebab aku tahu, dia akan protes ke Bahrun yang berujung keduanya adu mulut dengan melontarkan kata-kata yang tidak enak didengar. Tarikanku mendapat perhatian Juned dan dia melihat aku menggeleng. Juned bersikeras dan aku menariknya kian keras.

" Jangan....." ujarku meminta. Juned menatap ke arahku. Lalu dia menarik nafas kemudian menghembuskannya dengan keras. Aku tahu, ini sudah kesekian kalinya Hanifah menangis. Bahrun kerap menolak apapun usulan Hanifah. Kalau dikatakan dia menghambat Hanifah, sepertinya tidak......sebab seringkali setelah mendapat pembahasan dari kami bertiga, usulan itu diterima dengan banyak catatan. Terus terang, Hanifah belum menceritakan, apa yang sedang direncanakannya kali ini. Sepertinya rencana itu ditolak oleh Bahrun hingga membuatnya menangis. Akupun tidak tertarik mengetahui hal itu padahal jawabannya pasti ada di kertas-kertas yang berhamburan keluar dari map yang tadi dia lempar.

Aku biarkan Hanifah menangis. Kutarik tangan Juned untuk beralih ke meja dimana kami berdua tadi berada. Di meja itu berhamburan karti undangan untuk dimasukkan ke dalam sampul undangan. Juned sepertinya mengerti maksudku melarang dia menemui Bahrun dan bertengkar lagi dengan lelaki itu hanya karena airmata Hanifah. Lelaki itu menepuk lembut bahuku dan kemudian duduk di kursi tempatnya tadi duduk dan kembali pada pekerjaannya memasukkan undangan. Hanya saja, kali ini tanpa ada canda diantara kami berdua.

Kulihat, Hanifah mulai tenang. Tidak lagi mengusap-usap airmatanya. Juned menyenggol kakiku dan ketika aku menoleh ke arahnya, dia memberi kode agar aku mendekati Hanifah.

" Aku mengajukan permohonan berhenti Ti....." tanpa kuminta, Hanifah memulai bicara. Suaranya masih serak. Keserakan suaranya biasa-biasa saja, tetapi kata-katanya membuatku terkejut.

" Kenapa Fah ?"
" Aku nggak bisa bayangkan kalau bekerja tanpa kamu...."
" Maksud kamu....? Kamu mau berhenti hanya karena aku akan menikah ?"
" Bukan pernikahan kamu yang menjadi alasanku berhenti, tetapi aku bisa membayangkan kalau tidak ada kamu tentunya sikap Bahrun ke aku makin semena-mena Ti.....sekarang saja aku sudah tidak tahan....." Hanifah menarik nafas sejenak.
" Belum lagi aku sampaikan maksudku untuk mengajukan berhenti, eeeeh Bahrun nanya, mau mengajukan usulan perjalanan dinas lagi buat kalian bertiga ya....biar bisa mesra-mesraan dan itu si Nastiti koq mau ya jadi obat nyamuk kamu sama Juned...." Hanifah mulai lancar bercerita. Akhir dari kalimatnya, dia memandang ke arahku kemudian ke arah Juned. Aku dan Juned sempat saling pandang  mendengar bagian akhir dari cerita Hanifah kemudian tertawa ngakak. Melihat aku dan Juned tertawa, Hanifah pun tersipu-sipu kemudian ikut tertawa.

" Harusnya kamu bilang Fah...." ujar Juned disela-sela tawanya. Aku menggeleng mendengar kata-kata Juned. Hanifah memandang ke arahku. Kemudian, aku bisikan sesuatu ke telinga Hanifah hingga dia tersenyum lebar dan kemudian tertawa sendiri.

----------------------------------------

Akad nikah-nya sudah usai. Tinggal menunggu seminggu lagi untuk bersanding. Hanifah tersenyum lebar, melihat ke arahku. Juned yang tak jauh dari situ juga tersenyum-senyum.

" Siapa yang akan mengantarkan undangan ini ?" Hanifah mengangkat undangan merah jambu.
"Biar, aku saja....." jawabku kemudian mengambil undangan di tangan Hanifah.

Juned mengangkat bahu. Dia sudah tahu apa yang aku rencanakan.

Pagi-pagi sekali, aku sudah berada di ruangan Bahrun. Lelaki bertubuh atletis itu duduk sambil memainkan undangan merah jambu di tangannya. Sesaat kemudian, dia memandang ke arahku.

" Jadi selama ini......" kalimat itu terputus, dia kembali membaca undangan walimatul ursy yang ada ditangannya.

" Aku sengaja mengantar undangan ini sendiri, Bahrun. Maaf, aku tidak ingin  terlalu formil karena kedudukan kamu sebagai supervisor diantara kami. Walau kamu sudah melupakan pertemanan diantara kamu dan aku karena kita berbeda posisi, tetapi aku tetap menganggap kamu temanku," 

Bahrun manggut-manggut. Sebenarnya, dia temanku ketika di SMP bahkan ayah kami dinas di kesatuan militer yang sama. Hanya karena perjalanan hidup saja yang menyebabkan dia berada posisi sebagai supervisor dan aku dalam pengawasannya.

"Aku cuma titip satu hal ke kamu, Bahrun.....sesuai dengan peraturan di Bank ini, aku akan mengundurkan diri dari pekerjaan dan mungkin pindah ke Bank lain....jadi...berhenti-lah membuat Hanifah menangis...."

Bahrun tersentak.

"Hanifah menangis ? Kenapa ?"
"Lhooooo....bukannya kamu sering berkata kasar dan menolak proposalnya ? Bahkan beberapa waktu lalu kamu menuduh Hanifah sengaja mengajukan usulan survey, perjalanan dinas dan lain sebagainya untuk bisa berdua-dua dengan Juned....."
" Stop Nastiti......aku salah sangka selama ini....aku minta maaf ,"
" Sudah seharusnya Bahrun......" ujarku menyahut ," Kamu terlalu sibuk dengan jabatan kamu sehingga tidak memperhatikan lingkunganmu......tidak memperhatikan orang-orang di sekelilingmu. Sudah seharusnya, kamu meminta maaf kepada Juned atas salah sangkamu selama ini...."  lanjutku.
" Aku akan menemui Juned secara khusus.....dan aku sungguh-sungguh minta maaf... Insya Allah, aku akan datang ke undangan ini ," ujar Bahrun kemudian.

Sepertinya, Bahrun benar-benar menyesal atas apa yang selama ini terjadi. Dia berubah total dan Bahrun sang supervisor menjadi Bahrun temanku semasa kecil dulu. Cerita-cerita masa kecil kami mengalir begitu saja hingga menghabiskan waktu satu jam lebih. Akhirnya aku pamit dari ruangan Bahrun untuk kembali ke rumah karena aku masih dalam masa cuti.

-------------------------------

Seminggu berlalu, hari ini waktunya untuk bersanding. Tamu-tamu yang hadir cukup banyak. Aula yang disewa untuk acara walimatul'ursy sepertinya dipenuhi laki-laki dan perempuan, tua, muda dan anak-anak. Mereka tamu dari pihak mempelai pria dan wanita.  Waktu sudah menunjukkan pukul dua belas artinya tinggal satu jam lagi persandingan ini akan berakhir. Hidangan memang sudah mulai berkurang. Tetapi bukan itu yang membuat aku tengak-tengok diantara tamu, melainkan sampai saat ini aku tidak melihat Bahrun, padahal dia sudah berjanji akan datang. Bahkan dia mengatakan sendiri dihadapan aku dan Juned, akan datang pada undangan yang kemarin aku serahkan langsung ketangannya. Bukan hanya itu, Hanifah juga belum hadir.

" Mungkin mereka sama-sama menimbang waktu yang tepat untuk datang....takut kalau ketemu lantas saling lontar kata-kata yang tidak menyenangkan," Juned berbisik ke telingaku, seolah-olah bisa membaca pikiranku.

" Tapi kan mereka bukan anak-anak untuk berbuat semacam itu di tengah orang banyak ," aku membalas bisikan Juned " Seharusnya mereka mempertimbangkan pertemanan diantara kita," lanjutku tidak bisa menutupi perasaanku. Juned menyenggol bahuku. Aku menoleh ke arahnya dan dia menunjuk ke satu arah dengan dagunya. Aku mengikuti tunjukkan Juned. Aku tidak menemukan siapa-siapa diarah yang Juned maksudkan kecuali undangan yang baru masuk. Upayaku mencari, tidak terpenuhi karena ada beberapa orang tamu yang minta bersalamanan denganku.

Jumlah tamu kian menipis dan aku semakin yakin baik Bahrun maupun Hanifah, tidak datang ke acara persandinganku dengan Juned. Sampai kemudian Juned mengajakku duduk. Aku sudah malas memperhatikan tamu-tamu yang tersisa. Biarlah sudah, mungkin mereka berdua memang saling jaga diri sebab besar kemungkinan kalau bertemu akan ribut. Aku berdiri mendekati Bunda dan Ayah yang duduk di sisi kiriku. Juned merasakan kekesalanku, membiarkan aku saja aku mendekati orangtuaku.

Aula kian sepi dan aku rasa sudah waktunya untuk pulang. Ketika aku berpaling, kulihat Hanifah berdiri di depanku. Mengenakan gaun warnah merah jambu, senada undanganku. Gadis itu nampak anggun. Dia melebarkan tangan, kusambut dengan rengkuhan.....

" Selamat atas pernikahanmu, Nastiti....jadilah isteri Juned yang baik karena dia orang baik," ujarnya setengah berbisik di telingaku. Disaat dalam pelukan Hanifah itulah aku melihat sosok atletis berdiri didekat Juned. Dia tersenyum menganggukkan kepala. Juned disampingnya juga memandang ke arahku sambil mengembangkan senyum. Aku melepaskan pelukan Hanifah. Sambil sedikit bengong, kudekati lelaki itu dan Hanifah, tidak dapat menahan tawanya lalu berucap,

"Nastiti....kenalkan, ini calon suamiku....dia cemburu lantaran kedekatan kita terutama dengan Juned dan baru kemarin berani menyadari kesalahannya kemudian menyatakan cintanya padaku bahkan langsung melamarku.....namanya...."

"Bahruuuuuuuunnnn !!!!"

Aku setengah berteriak menyebutkan nama itu.

Jumat, 22 Februari 2013

INGKAR JANJI

Tidak disangka, aku berjumpa dengannya setelah puluhan tahun berpisah. Ada yang berubah dari dirinya. Penampilannya, tidak seperti semasa SMA dulu. Lebih elegan dan berwibawa namun tetap anggun. Hatiku berdesir ketika menatap dirinya. Entahlah, apakah desiran ini sama dengan ketika aku mendekatinya semasa SMA dulu.
" Sendiri saja Her ?!"pertanyaannya membuyarkan kekagumanku saat memandangnya. Aku sedikit tergagap.
" I...i...iya....kebetulan ada undangan kemari ," jawabku sekenanya. Aku benar-benar tidak menyangka bertemu Kinanti. Gadis yang pernah aku incar semasa SMA. Kerap bila berangkat di pagi hari, aku akan duduk di muara gang Bambu Kuning agar bisa barengan dengan adik kelasku itu menuju ke sekolah kami yang tidak terlalu jauh dari gang tersebut. Ada saja alasanku untuk bisa menggodanya. Terkadang aku berdiri tepat di arah pandangnya saat di dalam kelas sedangkan aku sudah istirahat dari pelajaran atau harus ke laboratorium yang tidak jauh dari kelasnya. Aku hanya melambaikan tangan, saat dia melihat ke arahku. Seulas senyumnya itu, membuat aku merasa damai. Bila usai sekolah, aku selalu menunggu tak jauh dari kelasnya, hanya untuk bisa berjalan disisinya. Itu kulakukan dari hari ke hari.

Aku tahu, dia suka latihan paduan suara setiap sore hari di rumah temannya yang tidak jauh dari rumahku. Kerap aku mengiring dia pulang sampai ke perempatan jalan menuju rumahnya. Dia selalu menolak bila mau kuantar dengan motor bebek-ku sebab tidak ingin meninggalkan teman seperjalanannya. Ah, Kinanti.

" Apa kabarnya Her ? Dari tadi melongo aja ,"ujarnya lagi.
" Aku....baik-baik saja Kinan... kamu juga baik saja kan ?" tanyaku bak orang bodoh. Ya jelas-lah perempuan dihadapanku inibaik-baik saja. Bahkan jauh lebih baik hingga bisa membuatku seperti lelaki kehilangan akal pikiran !
" Aku mendapat undangan dari kantorku untuk menghadiri acara di hotel ini, Her...dan kamu, sedang apa di sini ?" Kinanti memandang ke arahku. sambil memainkan kunci kamar yang baru saja dia terima dari resepsionis. Sayang, aku tidak dapat melihat nomor kamarnya. Andaikata tahu, aku kan bisa..... upsssss, hampir kutepuk jidatku sendiri untuk mengusir pikiran konyol itu, walaupun sekedar mengajaknya ngobrol melalui telpon.
" Workshop kan Kinan ? Aku juga ditugaskan kantorku untuk menghadiri workshop ini," jawabku kemudian. Itu berarti, posisi Kinanti sangat bagus sebab yang diundang hadir di kegiatan yang akan membedah pembangunan di daerah pasca reformasi bukanlah pegawai dari kalangan low manager. Kulihat Kinanti tersenyum tipis.

" Oke deh Her, sampai ketemu di kegiatan ya....pembukaannya ntar malam kan ? Aku agak capek, maklum penerbangan agak jauh...." Kinanti berpamitan, tapi ketika dia melihat aku mengernyitkan dahi, perempuan itu batal melangkah.

" Perjalanan dari Manado ke Jakarta, tidak sama dengan dari Bandung ke Jakarta kan Her ?" ucapnya seolah menjawab kernyitan dahiku. Olalaaaa....dia tahu aku tinggal di Bandung sedangkan aku tidak tahu dia tinggal dimana. 

-------------------------

Workshop itu hanya berlangsung selama dua hari. Tetapi selama dua hari itu, aku tidak bisa mendekati Kinanti sebab ternyata dia selalu duduk di lapisan pertama, golongan high manager. Aku tidak bisa berbuat banyak. Melepas kangen juga tidak mungkin lagi, walau sekedar bercerita. Sampai penutupan workshop, aku tidak punya kesempatan untuk satu meja dengannya. Ini malam terakhir di hotel tempat kegiatan berlangsung. Tentu besok dia akan kembali ke Manado dan sepertinya, Kinanti juga tidak berusaha untuk menemui aku. Apakah dia menaruh dendam terhadapku ? 

Aku ingat, menjelang aku meninggalkan Banjarmasin untuk kuliah ke Bandung, aku pernah menemuinya di suatu tempat di sekolah. Saat berdua itu, aku meminta Kinanti untuk berjanji, bersedia menunggu sampai aku selesai kuliah di Bandung kemudian mempersuntingnya menjadi pendamping hidupku.

Saat itu, Kinanti mengatakan bahwa untuk menyayangi aku dan setia kepadaku itu bisa dipastikan sebab itu keluar dari hatinya. Tetapi untuk memastikan bahwa aku akan menjadi pendamping hidupnya, itu mustahil untuk dipastikan sebab hanya Tuhan yang tahu apa yang terjadi di masa depan.

Sebenarnya, jawaban Kinanti cukup tegas dan benar. Tetapi, ego-nya aku meminta kepastian dari dia bahwa jawaban yang kuharapkan adalah "iya". Kinanti tetap dengan jawaban itu. Sesudah tamat SMA, aku berangkat ke Bandung. Tidak ada kontak diantara kami. Aku pernah sekali menerima surat dari Kinanti yang menanyakan kabarku. Tetapi, karena kesibukan di awal-awal kuliah, surat itu tidak aku balas. Bahkan, menjelang ujiannya di kelas 3, Kinanti juga menulis surat yang meminta pendapatku sebaiknya dimana dia kuliah. Aku tahu, Kinanti banyak peluang untuk melanjutkan pendidikan. Selain orangtuanya yang mampu, otak gadis itu juga lumayan cerdas. Aku tidak juga membalas suratnya. Dari Reres adikki, aku tahu Kinanti setamat SMA melanjutkan kuliah di Surabaya.

Sebenarnya, pernah sekali aku bertemu Kinanti di Banjarmasin ketika kami sama-sama libur kuliah. Aku sempat ke rumahnya untuk bertemu, tetapi terlambat sebab Kinanti hanya mengambil liburan beberapa hari saja. Sejak itu, aku tidak pernah lagi bertemu dengannya. Sampai saat ini.

Aku agak kaget ketika bahuku ditepuk dari belakang.

" Melamun Her ? Aku perhatikan dari tadi, rokok kamu ngepul terus nggak da berhentinya ," suara Kinanti memecahkan gelembung-gelembung lamunanku. Aku tersenyum dan mempersilahkannya duduk satu meja dengan ku. Ruangan lobby hotel ini memiliki banyak sofa yang bisa dijadikan tempat santa-santai. Aku duduk agak di pojok. Tetapi bisa melihat ke segala arah.

"Aku tadi ada di belakang kamu....asyik ngobrol sama Wendy, teman satu kuliah yang tinggal di Banajrmasin sekarang.....kapan kembali ke Bandung Her ?" 

" Besok sore, kamu kapan ke Manado-nya Kinan ?"
" Besok subuh. Aku nggak bisa lama-lama di Jakarta sebab Mas Wid akan berangkat ke daerah dan kami bergantian menjaga anak-anak," jawaban Kinanti sebenarnya mengecewakanku. Aku sebenarnya bisa saja pulang pagi, tengah hari atau malam ini sekalipun. Tetapi sengaja kukatakan sore dengan harapan Kinanti juga sore hari sehingga kami punya waktu buat ngobrol.

"Suaminya kerja dimana Kinan ?" jiaaaaahhh pertanyaanku konyol sekali sebab jelas ada cemburuku di situ.
" Suamiku cuma manager marketing di perusahaan kecil Her. Tapi alhamdulillah, dia pengertian banget terhadap karierku jadi aku bisa seperti ini," ucapan Kinanti sebenarnya biasa-biasa saja. Tetapi entah kenapa, aku sedikit merasa tersodok mendengar pujiannya terhadap lelaki yang disebutnya "suamiku" itu. Apakah kalau aku menjadi suaminya seperti janjiku dulu, tidak akan melakukan hal yang sama dengan lelaki itu ?

" Kamu tahu Her, aku dan Mas Wid menikah baru berjalan sembilan tahun. Anak kami yang tertua baru kelas tiga es de dan yang kecil masih te ka.....aku emang telat menikah sebab aku kira seseorang yang pernah meminta kesetiaanku benar-benar mengharapkan kesetiaan dari aku. Ternyata, dia sudah menikah dan punya anak dari teman sekampusnya. Dan aku baru tahu setelah aku menyelesaikan kuliah di Surabaya......tetapi aku sangat beruntung lelaki itu ingkar dengan janjinya.... walau aku rugi waktu karena sia-sia menjalankan kesetiaan....ternyata Tuhan memberikan aku suami yang sangat pengertian, begitu melindungi dan pemberi semangat bagi diriku.....jadi, kesia-siaan itu sudah terbayar Her...." ucapan Kinanti tidak lagi menyodok hatiku melainkan mencincangnya menjadi berkeping-keping. Aku tidak dapat mengatakan satu patah katapun.

"Maaf Her, barangkali kamu baru menyadari sekarang bahwa aku tetap setia dengan janjiku tetapi aku tidak bisa setia pada orang yang sudah mengikat janji setia dengan perempuan lain. Terus terang, pertemuan seperti ini sangat aku harapkan sebab aku hanya ingin mengucapkan, terima kasih karena kamu sudah ingkar janji sehingga aku bertemu dengan seorang yang kesetiaannya tidak kuragukan......salamku untuk isteri dan anakmu Her....semoga selalu bahagia," kali ini aku tercekat sebab Kinanti mengucapkan semua kalimat itu dengan santainya, kemudian berdiri dan menepuk pundakku lalu berjalan menjauh. 

Aku tercenung.
Semuanya kemudian tersibak kembali. Bagaimana sampai akhirnya aku menikah dengan Yulia, anak Kepala Kantor tempat aku bekerja. Karierku di kantor ini, bukan karena usahaku sendiri melainkan ada peran besar mertuaku. Rumah tanggaku tampaknya memang bahagia, namun orang-orang tertentu akan tahu betapa rapuhnya kebahagiaan yang kubangun.

Kinanti begitu bersyukurnya sebab aku ingkar janji terhadapnya. Itu berarti, dia sudah menemukan jalan hidup yang terbaik untuk dirinya. Sedangkan aku ? Sampai beberapa saat lalu masih berharap bisa meluangkan waktu bersama seseorang yang pernah menjadi bagian dari masa remajaku dan melupakan Yulia isteriku, melupakan Rizqy puteraku.

-------------------------------------------

MENGEJAR.....JABATAN ???

Dadaku mendesir saat submit surat permohonan mengikuti lelang jabatan eselon II. Sungguhkah aku sedang mengejar jabatan ?????? Untuk menjawa...